Menyikapi
Dinamika Rupiah
Ari Kuncoro ; Guru
Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
06 Februari 2015
DALAM dua dekade terakhir ini terjadi peningkatan saling
ketergantungan antarnegara di dunia. Tidak hanya arus perdagangan, arus
aliran modal internasional juga semakin meningkat.
Yang juga menarik, perkembangan ini disertai dengan
kecenderungan negara- negara di dunia untuk membiarkan mata uangnya lebih
mengambang. Hal ini tidak berarti bahwa penentuan nilai tukar diserahkan
sepenuhnya kepada pasar. Perkembangan ini menimbulkan beberapa pertanyaan:
bagaimana sistem nilai tukar ini memengaruhi fluktuasi nilai tukar rupiah.
Nilai tukar bagi suatu negara merupakan suatu sinyal akan
memengaruhi insentif semua kegiatan dalam perekonomian. Selain dipengaruhi
oleh permintaan dan penawaran terhadap mata uang asing relatif terhadap
rupiah, nilai rupiah juga dipengaruhi oleh dinamika faktor-faktor eksternal
yang berada di luar kontrol pemerintah ataupun otoritas moneter di Indonesia.
Suka tidak suka, mata uang dollar AS masih menjadi tolok ukur bagi mata uang
lainnya, baik karena fungsinya sebagai alat likuid internasional maupun
sebagai tempat berlabuh (safe haven)
bagi investor dunia.
Faktor-faktor eksternal
Pelemahan nilai mata uang rupiah yang terjadi belakangan
ini, yang sempat menyentuh kisaran Rp 13.000 per dollar AS, sebagian
merupakan konsekuensi dinamika faktor-faktor eksternal. Pasar keuangan
internasional diwarnai penguatan dollar AS secara global setelah berakhirnya
stimulus perekonomian AS pasca krisis keuangan global 2008 (quantitative easing) oleh bank sentral
AS (Federal Reserve atau The
Fed) dan munculnya ekspektasi kenaikan fed fund rate. Pada saat
bersamaan, pelambatan ekonomi terjadi secara merata pada negara industri
utama negara kawasan Eropa, Jepang, Tiongkok, dan India.
Pelambatan ekonomi mendorong harga komoditas, termasuk
minyak, terus mengalami penurunan. Penurunan permintaan terhadap minyak tidak
saja dari pelambatan ekonomi dunia, tetapi juga datang dari substitusi
penggunaan minyak serpih (shale oil)
oleh AS.
Faktor lain penyebab turunnya harga minyak adalah
kombinasi antara sanksi ekonomi negara-negara barat terhadap Rusia sebagai
pengekspor minyak bumi terbesar kedua di dunia akibat konflik di Ukraina dan
usaha Arab Saudi melalui OPEC untuk membuat produksi minyak dari shale oil
menjadi tidak ekonomis lagi dengan membuat harga minyak di bawah 60 dollar AS
per barrel.
Penurunan harga minyak dan komoditas berlanjut mendorong
pengalihan dana dari komoditas ke mata uang dollar AS sebagai mata uang safe haven currency. Penguatan dollar
AS terjadi secara seragam terhadap hampir semua mata uang beberapa negara.
Secara umum, mata uang kuat dunia (hard
currency) melemah lebih besar dibandingkan dengan negara berkembang
mengingat pelambatan ekonomi lebih dalam terjadi pada negara industri utama.
Perekonomian domestik
Perekonomian domestik ditandai dengan defisit neraca
berjalan yang mendorong rupiah terus melemah. Defisit neraca berjalan tersebut menggambarkan
pemenuhan kebutuhan dollar AS yang besar untuk pemenuhan pembayaran impor
barang dan jasa yang tidak dicukupi oleh ekspor barang dan jasa serta arus masuk pasar keuangan yang bersifat
jangka pendek. Defisit neraca berjalan tersebut sebagai potret kondisi
struktural ekonomi dalam negeri yang masih memerlukan banyak pembenahan ke
depan.
Dari sisi produksi, perekonomian domestik mengalami
permasalahan struktural berupa tingginya biaya produksi di dalam negeri,
seperti biaya logistik, tata niaga tidak efisien, serta birokrasi yang mahal,
membebani sektor bisnis. Ekonomi biaya tinggi juga menghambat keterlibatan
industri dalam negeri pada jaringan distribusi internasional. Sebagai
konsekuensinya, harga barang domestik menjadi relatif mahal sehingga tidak
kompetitif, baik di pasar ekspor maupun bersaing dengan produk-produk sejenis
yang berasal dari impor. Industri manufaktur dalam negeri mempunyai
ketergantungan impor yang tinggi karena bagi pengusaha, mengimpor bahan baku
dan setengah jadi lebih murah dan tidak memusingkan dibandingkan dengan
mengembangkan industri pendukung.
Neraca perdagangan
migas yang sebelumnya mencatat surplus sebenarnya hanya merupakan
refleksi dari kenaikan harga komoditas di pasar internasional yang memberikan
gambaran semu daya saing perekonomian domestik yang cenderung mengandalkan
ekspor komoditas primer dan meninggalkan barang-barang manufaktur padat karya
yang daya saingnya semakin tergerus dengan ekonomi biaya tinggi.
Ketergantungan ekspor komoditas primer menjadikan neraca nonmigas rentan
terhadap penurunan harga komoditas pasar internasional hingga ekspor
mengalami penurunan.
Ketika boom komoditas primer berhenti, surplus berubah
menjadi defisit akibat impor yang terus meningkat. Berkembangnya masyarakat
kelas menengah dalam negeri dengan daya beli yang cukup telah mengubah
permintaan dalam negeri menuju arah permintaan barang-barang tahan lama yang
dapat dinikmati dan dipamerkan kepada orang lain, seperti telepon genggam, TV
layar datar, dan kendaraan bermotor.
Di negara-negara Barat, kebangkitan kelas menengah ini
yang dimanfaatkan industri merupakan sumber pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Di Indonesia, karena struktur industri yang dangkal, permintaan masyarakat
kelas menengah bermuara pada impor sehingga potensi pertumbuhan tidak dapat
dimanfaatkan sebaiknya-baiknya. Beberapa produk impor seperti barang modal,
barang setengah jadi dan bahan baku memang vital. Namun, masih banyak produk
yang dapat dihasilkan di dalam negeri dan tidak perlu diimpor, seperti
makanan, barang sandang, bahkan beberapa jenis alat transportasi, seandainya
iklim usaha di dalam negeri termasuk logistik lebih kondusif.
Sebagian impor juga berasal dari impor BBM yang melalui
subsidi digunakan untuk memberikan ilusi energi murah bagi penduduk urban (urban biased) yang berperan penting
dalam pembentukan persepsi politik untuk transportasi perseorangan yang
notabene tidak efisien, rawan kemacetan, dan tidak ramah lingkungan.
Sementara itu, bagi penduduk yang tinggal di pelosok daerah, terutama di luar
Jawa, harga BBM dengan berbagai alasan tetap mahal.
Pelemahan rupiah terjadi sejak 2012, ketika neraca
berjalan berubah dari surplus menjadi defisit dalam jumlah cukup besar
mencapai 2,8 persen terhadap PDB pada 2012 dan kembali meningkat menjadi 4,4
persen terhadap PDB pada triwulan II-2013. Konsekuensinya, pelemahan rupiah
berlanjut tahun 2013 karena defisit neraca berjalan yang terakumulasi. Sebuah
konsekuensi logis bahwa ketidakmampuan produk domestik dibandingkan negara
pesaing mendorong tereskalasinya impor hingga ekses permintaan dollar AS ikut
terakumulasi.
Pelemahan rupiah tahun 2012 dan 2013 berjalan seiring
dengan pelemahan mata uang negara BRICS (Brasil, Rusia, dan Afrika Selatan)
mengingat adanya pembalikan dana (capital reversal) yang cukup besar dari
negara tersebut setelah menjadi incaran investor. Untuk keseluruhan tahun
2014, rupiah bergerak pada kisaran Rp 11.500 sampai Rp 12.500-an per dollar
AS. Penguatan terjadi pada awal dan pertengahan tahun, didorong optimisme
bahwa pemilu legislatif berjalan lancar dan hadirnya pimpinan nasional yang
dapat memberikan perbaikan ekonomi secara struktural.
Jika kita melihat negara-negara lain, untuk tahun 2014,
pelemahan cukup dalam dialami mata uang negara industri utama seperti euro
dan yen Jepang yang melemah masing-masing 12 persen. Pelemahan mata uang
negara berkembang (emerging market)
terutama terjadi pada kawasan Amerika Latin dan pinggiran Eropa. Peso
Kolombia melemah 18,8 persen dan forint Hongaria melemah 17,4 persen. Pada
periode yang sama, rupiah melemah jauh lebih moderat sebesar 1,8 persen.
Perbaikan produktivitas
Dalam konsep NATREX (Natural
Real Exchange Rate) yang berorientasi pertumbuhan dalam jangka panjang, penentu utama dari
nilai tukar riil (yang akan menjelma menjadi nilai tukar nominal) adalah
produktivitas perekonomian. Produktivitas tenaga kerja, sistem pendidikan,
infrastruktur dan logistik, serta kemampuan inovasi dan tata kelola
pemerintahan akan menentukan produktivitas. Dalam jangka panjang, peningkatan
produktivitas nasional hanya dapat dilakukan dengan perbaikan struktural.
Langkah berani telah dimulai dari hal mendasar untuk terlepas dari ketergantungan
pada subsidi BBM yang bersifat konsumtif dan mengalihkan pada perbaikan
infrastruktur untuk menopang ekonomi. Langkah berikutnya bertumpu pada
penguatan ekspor serta penyiapan industri substitusi impor untuk mengurangi
risiko semakin membengkaknya defisit neraca berjalan.
Untuk manajemen makro jangka pendek dan menengah, Bank
Indonesia dapat melakukan moderasi pelemahan rupiah yang merupakan upaya
stabilitas nilai tukar oleh bank sentral dengan mendorong mengalirnya potensi
pasokan valas terutama dari eksportir. Bank sentral juga terus mendorong
kesadaran korporasi guna melakukan kegiatan lindung nilai untuk melindungi
kewajiban dari risiko pergerakan nilai tukar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar