Menyelamatkan
KPK
Saldi Isra ; Guru
Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi,
Fakultas Hukum Universitas Andalas
|
KOMPAS,
18 Februari 2015
Sepanjang hampir 12 tahun kehadiran KPK, dapat dipastikan
peristiwa tragis empat minggu terakhir menjadi periode paling sulit yang
pernah dialami lembaga anti korupsi ini. Kalau tak hadir langkah besar yang
berpihak pada agenda pemberantasan korupsi, lembaga ini sangat mungkin
mengalami nasib serupa dengan lembaga anti korupsi yang pernah ada. Bahkan,
boleh jadi, ujung kisruh antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
kepolisian akan menyajikan potret paling tragis perjuangan melawan korupsi di
tengah minimnya dukungan politik.
Oleh karena itu, masuk akal jika mayoritas pihak yang peduli
terhadap praktik korupsi yang membalut negeri ini meragukan masa depan KPK.
Bagaimanapun, lumpuhnya KPK sekaligus sinyal matinya agenda pemberantasan
korupsi.
Titik kulminasi
Sebagai lembaga yang memiliki mandat khusus dalam
memberantas korupsi, serangan terhadap KPK mendera sejak awal. Bahkan
serangan mematikan itu telah dilakukan kepada hampir semua penjuru mata
angin. Lihat saja, misalnya, ketika KPK menunjukkan tajinya dalam menyentuh
episentrum praktik korupsi, acap kali dilakukan upaya pembonsaian melalui
proses pengujian alas hukum eksistensinya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketika serangan menggunakan langkah hukum ke MK tak
mempan, lembaga-lembaga politik yang seharusnya memberikan dukungan justru
mengambil posisi berseberangan. Dalam hal ini, misalnya, dukungan dari
mayoritas kuasa politik di Senayan termasuk yang paling sulit diraih KPK.
Bahkan, banyak bentangan fakta membuktikan, sebagian kekuatan politik
berupaya memilih jalan legislasi untuk memangkas kewenangan KPK.
Padahal, dalam batas penalaran yang wajar, melihat praktik
korupsi yang begitu sistemik, dukungan politik menjadi kunci dalam menentukan
berhasil-tidaknya agenda pemberantasan korupsi. Sebagaimana diingatkan Jon ST
Quah (2013), lemahnya dukungan politik menyebabkan pemberantasan korupsi
sulit meraih hasil. Tanpa dukungan politik, jangan pernah berpikir untuk
mempercepat pemberantasan korupsi. Fakta yang dihadapi negeri ini,
pemberantasan korupsi hampir selalu diganggu sejumlah kepentingan politik.
Beruntung, sejauh ini pilihan mengganggu melalui jalan
legislasi untuk mengubah sejumlah wewenang KPK tak pernah berujung pada tahap
persetujuan bersama DPR dan Presiden. Selama ini, penolakan mayoritas publik
selalu menghentikan jalan legislasi membonsai dan membunuh KPK. Bahkan, diskursus
sistematis memosisikan KPK sebagai lembaga ad hoc yang sewaktu-waktu dapat dibubarkan tak pernah mendapat
dukungan yang memadai.
Apabila upaya-upaya di atas menemui jalan buntu,
ketegangan hubungan antara KPK dan kepolisian benar-benar menjadi semacam
serangan yang menimbulkan guncangan mahahebat. Celakanya, ketegangan di
antara kedua institusi penegak hukum merupakan peristiwa berulang. Sebut
saja, misalnya, bagaimana dahsyatnya dampak peristiwa kriminalisasi terhadap
unsur pimpinan KPK, Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah. Peristiwa yang
dikenal dengan ”Cicak vs Buaya Jilid I” ini mengakibatkan KPK mengalami
semacam kelumpuhan mendadak. Kalau tak ada langkah darurat saat itu, kita
tinggal menyaksikan batu nisan KPK saat ini.
Belum habis puing-puing yang ditinggalkan dari kekisruhan
kriminalisasi terhadap kedua pemimpin KPK tersebut, penolakan kepolisian
terhadap penyidikan kasus dugaan korupsi simulator berkendara berujung pada
serangan terbuka berikutnya. Selain berupaya menarik penyidik KPK yang
berasal dari polisi, tindakan tak senonoh juga dilakukan dengan cara
kriminalisasi penyidik KPK. Barangkali, upaya penangkapan terhadap salah
seorang penyidik KPK, Novel Baswedan, menjelaskan serangan terbuka tersebut.
Dari rangkaian peristiwa berulang yang pernah terjadi di
antara kedua lembaga ini, kriminalisasi terhadap pimpinan KPK sebagai ujung
dari penetapan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka dapat
dikatakan paling sadis. Kalau pada peristiwa ”Cicak vs Buaya Jilid I” hanya
kedua pemimpin KPK yang dikriminalisasi, peristiwa saat ini seluruh pimpinan
berpeluang jadi tersangka. Selain Bambang Widjojanto yang telah dijadikan
tersangka (23/1), Abraham Samad pun telah pula mendapat status tersangka dari
Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat. Artinya, kedua pemimpin yang
lain hanya tinggal menunggu waktu.
Secara hukum, dalam posisi sebagai institusi, persoalan
yang dihadapi KPK tak sebatas menunggu waktu seluruh pimpinan jadi tersangka,
tetapi juga terkait dampak putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan (16/2). Tak terbantahkan, ketukan palu hakim Sarpin Rizaldi
menimbulkan guncangan mahahebat. Boleh jadi peristiwa itu salah satu titik
kulminasi dari berbagai upaya melumpuhkan KPK. Bahkan, melacak perkembangan
setelah putusan praperadilan, sangat mungkin ketukan palu sang hakim kian
memuluskan jalan untuk merobohkan KPK.
Penyelamatan
Di tengah situasi yang makin tak memihak KPK, lembaga anti
korupsi ini hanya mungkin diselamatkan dengan keberanian melakukan langkah darurat.
Bila perlu tidak tunggal. Bagaimanapun, langkah darurat perlu sebagai bagian
dari penyelamatan agenda pemberantasan korupsi.
Upaya penyelamatan yang dapat dilakukan: KPK harus segera
mengambil langkah hukum untuk mengoreksi putusan praperadilan. Secara hukum,
pilihan yang tersedia dapat dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Pilihan tentunya akan menimbulkan pro-kontra. Namun, perlu dicatat, jika
hakim berani menerobos ketatnya pengaturan praperadilan dalam KUHAP, tak
salah pula KPK mencoba menerobos batasan sempitnya ruang untuk kasasi. Selain
itu, KPK sangat mungkin memilih jalur kedua: mengajukan upaya hukum luar
biasa berupa peninjauan kembali. Pilihan ini akan lebih menarik jika Joko
Widodo konsisten dengan tidak melantik BG sebagai Kepala Polri.
Pilihan pada kedua upaya tersebut tidak sekadar koreksi
atas pendirian hakim yang menerobos batasan pengajuan praperadilan. Tak juga
karena putusan itu akan membuka kemungkinan setiap orang yang dijadikan
terdakwa akan memilih langkah praperadilan. Lebih dari itu, putusan
praperadilan telah mempersempit wewenang KPK dalam menyidik penyelenggara
negara atau penegak hukum yang terindikasi melakukan korupsi. Karena itu,
mengajukan kasasi atau peninjauan kembali harus dimaknai sebagai upaya
memulihkan kembali salah satu mahkota KPK dalam menyidik kasus korupsi.
Selain itu, KPK harus mampu memberi keyakinan kepada
publik bahwa kisruh dan segala ancaman yang mendera mereka tidak mengendurkan
semangat dalam memberantas korupsi. Paling tidak, Bambang Widjojanto telah
menunjukkan bagaimana harusnya bersikap dan bertindak di tengah ancaman.
Bagaimanapun, dukungan publik tetap akan menggelora selama semangat di
internal KPK tidak ciut karena tekanan dan ancaman yang ada.
Namun, jauh lebih penting, keberlanjutan dan masa depan
KPK bergantung juga pada dukungan Jokowi. Dalam situasi seperti sekarang,
Jokowi harus menyampaikan dukungan terbuka kepada KPK. Caranya: perintahkan
secara terbuka kepada kepolisian untuk menghentikan kriminalisasi terhadap
semua elemen di KPK. Bersamaan dengan itu, umumkan calon Kepala Polri baru
yang merupakan figur yang dapat menjadikan KPK dan polisi berjalan bergandeng
tangan.
Demi penyelamatan agenda pemberantasan korupsi, semua
langkah itu harus dilakukan secara simultan. Bagaimanapun, banyak pihak
percaya, kemampuan dan keberanian mengambil langkah dalam situasi darurat ini
akan amat menentukan masa depan KPK. Memilih diam dan tidak tegas sama saja
membiarkan KPK menuju liang kematian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar