Menimbang
Penyertaan Modal Negara ke BUMN
Akhmad Syakhroza ; Komisaris PT
Jasa Marga (Persero) Tbk;
Guru Besar Fakultas Ekonomi UI
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Februari 2015
KEINGINAN
pemerintah, dalam hal ini Kementerian Badan Usaha Milik Negara untuk
memberikan tambahan modal kepada BUMN, memantik pro dan kontra. Dalam era
demokrasi, silang pendapat dalam rangka memberikan masukkan yang konstruktif
kepada pemerintah merupakan proses pematangan. Sebelum mengupas terlalu jauh,
hal yang perlu dikedepankan dalam kaitannya dengan BUMN ialah kesamaan
persepsi dalam menilai penyertaan modal negara di BUMN.
Ada dua
kunci utama untuk menyamakan persepsi itu.
Pertama,
selama ini kita menyadari bahwa negeri ini belum cukup memadai, apalagi
memiliki kehandalan dalam infrastruktur. Tidak meng-herankan jika kondisi
tersebut berpengaruh terhadap iklim investasi di Indonesia. Kita membutuhkan
lebih banyak pabrik-pabrik untuk mengelola sumber daya alam, membangun
industri penghiliran sumber daya alam, seperti energi dan mineral, pertanian,
serta perikanan. Itu semua dapat segera diwujudkan apabila ketersediaan dan
kesiapan daya saing terhadap infrastruktur, sumber daya manusia, energi, dan
pangan ditingkatkan. Pelaksanaan atas hal itu dapat diserahkan kepada BUMN dengan
tetap melibatkan perusahaan-perusahaan swasta nasional.
Kunci
kedua, kita juga menyadari bahwa BUMN belum bisa unggul dari segi aset,
omzet, dan pasar, serta kapasitas keuangan. BUMN kita belum seperti BUMN
milik Singapura dan Malaysia, mungkin juga dengan Thailand. Padahal, negara
kita memiliki kekayaan alam berlimpah, pasar yang sangat besar, dan ditunjang
oleh manusia cerdas yang sangat banyak. Pertanyaannya, bagaimana membangun
BUMN yang unggul?
Penulis
berpendapat, untuk membangun BUMN yang unggul dapat dilakukan melalui dua hal
utama, yaitu menambah kapasitas engine
organisasi dan kapasitas engine keuangan. Kedua faktor tersebut harus
dilakukan secara bersamaan (two in one)
tidak boleh hanya satu faktor. Dengan menambah engine organisasi berarti
memperbesar kapasitas `pabrik' organisasi untuk memproduksi barang dan jasa.
Sebagai konsekuensinya, efektivitas organisasi dan SDM, manajemen bisnis dan
teknologi, serta perangkat penunjang engine juga harus ditingkatkan
kehandalannya, sedangkan menambah engine
keuangan berarti tersedianya dana untuk membiayai bergeraknya engine organisasi.
Dalam
kaitannya dengan menambah kapasitas engine organisasi, pemerintah harus
memberikan kesempatan bagi BUMN untuk memimpin dan dilibatkan dalam
pelaksanaan kebijakan penghiliran industri nasional. Kebijakan penghiliran
industri atas sumber daya alam Indonesia tersebut haruslah merupakan sebuah
kebijakan nasional yang memiliki payung hukum kuat dan menjadi konsensus
politik. Negara wajib melarang ekspor sumber daya alam mentah ataupun
setengah proses. Dengan demikian, para investor, pengusaha nasional, dan BUMN
mempunyai waktu untuk membangun atau memindahkan pabriknya di Indonesia.
Dalam
konteks menambah kapasitas engine
keuangan, kita kerap mendengar bahwa perusahaan BUMN menghadapi kendala
ketersediaan dana untuk menggerakkan engine organisasinya serta kesulitan
melakukan ekspansi usaha. Pada umumnya, BUMN masih berkutat dengan manajemen
keuangan perusahaan (corporate finance)
tradisional melalui pembiayaan dengan cara melakukan pinjaman ke bank,
menjual saham, dan mengeluarkan obligasi, serta pemanfaatan dana internal
perusahaan. Sistem corporate finance seperti
itu sangat menekankan utak-atik utang perusahaan. Pertanyaannya, apakah corporate finance tradisional seperti
itu sudah memberikan nilai tambah yang optimal bagi perusahaan? apakah dengan
sistem keuangan perusahaan seperti itu, direksi BUMN mampu menambah dan
menggerakkan engine organisasi secara maksimal sehingga menjadi BUMN unggul
di Asia Tenggara? Tentu saja jawabnya tidak. Itu sangat tidak memadai.
Potensi
instrumen keuangan
Bagi
BUMN, peluang untuk memperbesar kapasitas engine keuangan perusahaan sangat
terbuka. Selama puluhan tahun berinter aksi dengan perusahaan BUMN, penulis
mencermati ada beberapa peluang untuk menambah kapasitas engine keuangan perusahaan,
tetapi tidak dimanfaatkan secara baik oleh direksi BUMN mau pun pemerintah.
Peluang
tersebut antara lain ABPN yang digunakan untuk membangun infrastruktur BUMN;
perpan jangan kontrak migas dan minerba; serta pembayaran dividen.
Pemerintah
secara rutin membangun infrastruktur dan menyerahkan pengelolaan serta
pemeliharaannya kepada BUMN. Namun, alokasi APBN tahunan yang nilainya sangat
besar ini (puluhan bahkan ratusan triliun rupiah) tidak diperlakukan sebagai
penyertaan modal negara (PMN).Sebagai contoh, alokasi APBN untuk membangun
transmisi listrik PLN serta membangun Jembatan Suramadu yang dikelola PT Jasa
Marga (persero) Tbk. Alokasi APBN untuk membangun transmisi dalam lima tahun
terakhir jika diperlakukan sebagai PMN di PLN membuat struktur keuangan PLN
serta kemampuan leverage PLN yang tecermin dari rasio utang dengan modal akan
sangat sehat. PT PLN akan dapat memperoleh tambahan biaya ratusan triliun
rupiah dengan cara mengeluarkan obligasi dan atau menjual saham.
Secara
otomatis, total aset PT PLN akan meningkat secara deret ukur, kemampuan
memperbesar engine organisasinya terbuka lebar. Begitu juga dengan PT Jasa
Marga (persero) Tbk, apabila Jembatan Suramadu dijadikan PMN, membuat porsi
saham publik akan terdistorsi dari 30% mungkin menjadi tinggal 10% saja.
Dengan demikian, terbuka peluang PT Jasa Marga untuk melakukan penjualan
saham lanjutan minimal 20% untuk mendapatkan dana segar guna membangun jalan
tol baru.
Potensi
instrumen keuangan lainnya ialah dividen BUMN. Pemerintah bisa saja
mengonversi dividen menjadi PMN. Misalnya, dividen yang dibagikan 40% dari
laba. Pemerintah hanya mengambil 20%, sisanya ditanamkan kembali dalam bentuk
PMN. Akibatnya, kapasitas leverage
keuangan perusahaan akan bertambah.
Nilai
strategis PMN
Untuk
menilai PMN bagi BUMN strategis atau tidak, kita harus bertanya dahulu,
apakah PMN dibutuhkan? Lalu, mana yang lebih memberikan nilai lebih baik
untuk disuntik PMN, BUMN terbuka atau BUMN belum terbuka?
Pertanyaan
pertama tidak begitu sulit menjawabnya.Alokasi APBN/P untuk membangun
infrastruktur sudah ada, misalnya pemerintah mengalokasikan dana Rp10 triliun
untuk membangun 250 km jalan tol. Apabila Rp10 triliun tersebut menjadi PMN,
jelas BUMN akan dapat membangun jalan tol lebih dari 250 km. Katakanlah 500
km karena dana Rp10 triliun itu bakal menjadi tambahan modal perusahaan yang
akan menggerakkan perusahaan untuk mencari tambahan sumber dana eksternal
tiga kali lipat.
Mengenai
apakah PMN diserahkan kepada BUMN tertutup atau terbuka, bagi penulis, pilihan
kedua lebih menjanjikan.Apabila BUMN terbuka diberikan PMN, akan lebih
menguntungkan jika dibandingkan dengan BUMN tertutup. BUMN terbuka berpotensi
memperoleh tambahan dana lebih banyak jika dibandingkan dengan BUMN tertutup.
BUMN terbuka dapat melakukan penjualan saham lagi tanpa mengganggu posisi
mayoritas pemegang saham, yakni pemerintah. Hak kontrol pemerintah sebagai
pemegang saham mayoritas menjadi bertambah kuat. Proporsi saham pemerintah
bertambah, sedangkan proporsi saham publik menurun (terdilusi).
BUMN
terbuka juga memiliki risiko keuangan atas pengelolaan dana PMN lebih kecil
jika dibandingkan dengan BUMN tertutup karena akan diawasi publik dan
investor saham. Penulis beranggapan, saat inilah momentum yang tepat jika
kita ingin melakukan akselerasi pembangunan infrastruktur dan menciptakan
BUMN unggul. Asupan-asupan dari temuan audit BPK yang belum ditindaklanjuti
sebagai faktor untuk mempertimbangkan pemberian PMN ialah penting. Kita
sebaiknya perlu mencermati keandalan engine organisasi BUMN, sebelum
ditetapkan untuk menerima atau tidak menerima PMN.Tanpa engine organisasi
yang sehat, PMN yang diberikan tidak akan mencapai tujuan yang diinginkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar