Menggugat
Dikotomi Sekolah
Nanang Martono ; Dosen
Sosiologi Pendidikan
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
|
HALUAN,
14 Februari 2015
Meski UN (Ujian Nasional) belum dilaksanakan dan status kelulusan
siswa belum diumumkan, namun beberapa sekolah telah membuka kesempatan bagi
siswa SD dan SMP untuk mendaftar ke sekolah jenjang berikutnya. Upaya ini
dilakukan banyak sekolah swasta bonafit (baca: favorit) yang seolah tidak
ingin kehilangan banyak siswa potensial.
Liberalisasi
Sudah bukan rahasia lagi bahwa
di kalangan masyarakat umum telah muncul pandangan yang mendikotomi status
sekolah: sekolah favorit dan tidak favorit. Sekolah yang menyandang gelar
sekolah favorit akan diminati banyak siswa. Orang tua pun berlomba-lomba
untuk memasukkan anaknya ke sekolah favorit. Bahkan tidak sedikit dari
mereka yang masuk melalui “jalur belakang”: dengan “membayar lebih tinggi”
atau “menggunakan surat sakti dari pejabat berpengaruh”.
Bersekolah di sekolah favorit
adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Siswa memiliki “status” yang dapat
dibanggakan, sementara orang tua juga memiliki prestise yang dapat
dibanggakan mana kala putra putri mereka berhasil masuk ke sekolah favorit
yang (tentu saja) berbiaya mahal.
Beberapa sekolah favorit bahkan
membuka banyak kelas paralel. Bahkan ada yang membuka kelas pagi dan siang
untuk mengatasi keterbatasan ruang kelas. Mereka “terpaksa” membuka banyak
kelas karena permintaan masyarakat yang tinggi untuk menyekolahkan anaknya
ke sekolah tersebut.
Ini adalah bentuk liberalisasi
pendidikan yang berlangsung secara terus menerus. Pemerintah seolah tidak
berdaya menghentikan praktik liberalisasi semacam ini. Padahal ini adalah
liberalisasi nyata yang selalu berulang setiap tahun ajaran baru, dan
lagi-lagi, siswa dari kelas bawah selalu menjadi korban.
Mereka tidak mampu menikmati
pendidikan berkualitas di sekolah favorit karena ketiadaan biaya. Meskipun
ada beasiswa, namun jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah siswa dari
keluarga miskin, dan di banyak tempat, beasiswa tersebut ternyata salah
sasaran.
Dikotomi ini selain merugikan
sebagian siswa juga merugikan sebagian guru. Guru yang mengajar di sekolah
favorit lebih nyaman karena mereka hampir tidak mengalami kesulitan selama
melakukan proses pembelajaran di kelas.
Mereka mengajar siswa-siswa
unggul yang telah melalui seleksi ketat. Siswa mereka juga mampu secara ekonomi
sehingga mereka dapat “memaksakan” untuk memberikan pelajaran tambahan
dengan biaya tambahan pula. Mereka juga memiliki status yang lebih tinggi.
Sementara, guru-guru di sekolah
tidak favorit harus bekerja lebih keras untuk mencerdaskan siswa-siswa
dengan kualitas pas-pasan. Beberapa di antaranya adalah siswa yang tidak
memiliki motivasi belajar yang tinggi. Lalu, apa yang dapat diharapkan dari
kondisi seperti ini?
Ini adalah dua kondisi yang
sangat kontras yang dapat dijumpai dengan mudah di setiap daerah di Tanah
Air. Dan sekali lagi, pemerintah terkesan melakukan pembiaran terhadap
dikotomi ini.
Anehnya, pemerintah justru
sering menggunakan sekolah favorit sebagai proyek percontohan dengan memberikan
dana yang tidak sedikit, seperti pada kasus proyek RSBI beberapa tahun yang
lalu. Sementara pengembangan sekolah-sekolah kelas dua (sekolah tidak
favorit) dikesampingkan.
Menjadikan sekolah favorit
sebagai percontohan adalah sebuah pembodohan publik karena proyek tersebut
tidak mencerminkan kondisi sebagian besar sekolah. Jumlah sekolah favorit
lebih sedikit daripada jumlah sekolah kelas dua dan kelas tiga yang berada di
pinggiran yang jauh dari pusat kota dengan kondisi yang serba minim. Ini
jelas tidak adil.
Langkah Strategis
Dikotomi sekolah merupakan
wujud nyata kegagalan pemerintah dalam menyelenggarakan sistem pendidikan
yang berkualitas dan merata di setiap daerah. Ada beberapa langkah strategis
yang dapat dilakukan dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Pertama, pemerintah dapat
melakukan rotasi guru secara rutin setiap lima sampai sepuluh tahun sekali.
Selain untuk meningkatkan pengalaman mengajar, ini juga untuk menghentikan
“kemapanan” bagi guru di sekolah favorit.
Mereka harus dapat membuktikan
bahwa dirinya mampu mengajar siswa dengan kualitas yang beragam. Selain itu,
dengan mengganti kondisi siswa, guru akan termotivasi untuk meningkatkan
kualitas diri dan saling berbagi pengalaman sesama guru. Jadi di sini ada
proses belajar.
Kedua, mengatur mekanisme
penerimaan siswa baru. Dalam penerimaan siswa baru, sekolah harus memberikan
kuota 50% siswa dengan nilai atau kemampuan di atas rata-rata dan 50% siswa
di bawah rata-rata.
Sekolah dilarang hanya menerima
siswa cerdas saja sementara siswa yang memiliki kemampuan rendah terpaksa
mendaftar di sekolah-sekolah pinggiran kelas dua atau tiga.
Ini untuk menghentikan arogansi
beberapa sekolah dalam proses penerimaan siswa baru yang merugikan banyak
sekolah di pinggiran. Mereka menerima siswa sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan
kemampuan dan kapasitas sarana pembelajaran. Aturan ini tentu saja
hanya diberlakukan bagi sekolah negeri yang berada di bawah kontrol
pemerintah.
Ketiga, regionalisasi atau
lokalisasi. Ini merupakan regulasi yang mengatur bahwa siswa harus
bersekolah di sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya. Ini dapat
dilakukan dalam jangka panjang ketika pemerintah telah mampu menjamin
pemerataan kualitas sekolah, sehingga sekolah negeri di manapun memiliki
standar kualitas yang sama.
Dengan regulasi ini, pemerintah
juga tidak perlu lagi menyelenggarakan ujian nasional karena kualitas setiap
sekolah dijamin sama. Sekolah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk menilai
dan menentukan kelulusan siswanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar