Masukan
untuk Kabareskrim Baru
Adrianus Meliala ; Kriminolog FISIP UI; Komisioner
Kompolnas
|
KOMPAS,
10 Februari 2015
Fungsi reserse pada dasarnya memperlihatkan wajah represif
kepolisian. Fungsi ini diaktifkan saat ada individu yang diduga (guna
kemudian disangka) melakukan tindak pidana.
Karena manusia pada dasarnya selalu berupaya menghindari
sanksi, fungsi ini dilengkapi sejumlah kewenangan yang bersifat inkapasitatif
(seperti menangkap, menahan, dan melumpuhkan). Karena kewenangannya itulah
polisi reserse pada umumnya ditakuti.
Untuk konteks Polri, selain ditakuti, ada yang menjadikan
kewenangan itu sebagai komoditas. Karena tak mau ditersangkakan, tak mau
ditangkap, tak mau ditahan, atau tak mau harta-benda disita, upaya damai pun
terjadi. Upaya damai itu pada dasarnya kegiatan transaksional terkait tidak
dilakukannya upaya paksa oleh penyidik.
Bukan hanya itu kelemahan fungsi reserse. Merekayasa kasus
(dari yang tidak ada pelanggaran menjadi ada), goreng-menggoreng pasal
(pengubahan pasal dengan sanksi berat menjadi pasal bersanksi ringan), dan
melakukan praktik yang menyimpang dalam rangka mengorek keterangan (misalnya,
mempergunakan kekerasan) adalah beberapa contoh yang sering kita dengar.
Tidak hanya terjadi di polsek atau polres yang jauh di sana, bahkan di Badan
Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri sekalipun aura kolusi konon kuat tercium.
Jangan ”buka warung”
Ketika beberapa waktu lalu terjadi pergantian Kabareskrim
dari Komjen Suhardi Alius ke Irjen Budi Waseso, harapan dapat kembali
dicetuskan. Jika tidak demikian, kegiatan utama reserse, yakni penyidikan,
akan tetap dinodai oleh stigma bahwa polisi memang kotor dan mudah
diintervensi.
Dengan semangat itulah bersama ini diajukan delapan hal
yang seyogianya menjadi perhatian Kabareskrim Budi Waseso sebagai berikut.
Pertama, model pemolisian. Sebagai salah satu fungsi
kepolisian, fungsi reskrim seyogianya tunduk pada model pemolisian yang
dijalankan secara sistematis dari atas hingga ke bawah di seluruh Indonesia.
Jika model pemolisian yang dijalankan oleh Kepala Polri sesuai amanat dari
para pemangku kepentingan kepolisian (seperti pemerintah dan Kompolnas)
bernuansa pencegahan, peran fungsi reskrim seyogianya mengecil. Menyusul dari
perannya, mengecil pula jumlah anggaran dan jumlah penyidiknya.
Masalahnya, di Polri prinsip ini tidak disepakati.
Walaupun model pemolisiannya menekankan pencegahan (antara lain melalui
peluncuran Peraturan Kepala Polri tentang Pemolisian Masyarakat), tidak ada
pengaruhnya pada kiprah fungsi reskrim yang mewakili sisi represi kepolisian.
Reskrim tetap saja rajin menangkap dan memproses warga masyarakat. Seyogianya
Budi Waseso disiplin dengan ini dan memfokuskan kinerja strategisnya agar
selaras dengan model pemolisian yang dilakukan Polri pada umumnya.
Kedua, jangan ”buka warung”. Selaku pembina fungsi,
Bareskrim seyogianya menjalankan fungsi pembuat regulasi dan pengevaluasi
kinerja satuan reskrim di bawahnya. Kalaupun Bareskrim melakukan kegiatan
penyidikan, mestinya dikaitkan hierarkinya. Dengan kata lain, Bareskrim
seyogianya menangani kasus kejahatan berdimensi transnasional saja. Begitu
seterusnya hingga ke bawah, di mana kompetensi satuan reskrim dikaitkan
dengan letak satuan dan jumlah personelnya itu sendiri.
Mengapa hal ini dikemukakan? Jika melihat situasi
Bareskrim dewasa ini, akan segera terlihat implementasi dari julukan ”reskrim
buka warung”. Kasus yang mudah-mudah, yang harusnya ditangani reskrim tingkat
polsek, nyatanya di-handle oleh
Mabes Polri. Apa motivasinya?
Ketiga, luar atau dalam kantor. Fungsi reskrim adalah
fungsi operasional kepolisian yang paling dinamis. Saking dinamisnya,
penyimpangan pun paling banyak terjadi di fungsi ini daripada fungsi
kepolisian lainnya. Karena itu, sejauh mana kemampuan Kabareskrim
mengendalikan anak buahnya menjadi krusial dan strategis.
Maka, bisa dibayangkan jika Kabareskrim terlalu banyak di
luar kantor guna mewakili Kepala Polri atau untuk ceramah macam-macam di
berbagai tempat. Aktif di luar itu tentu penting dan perlu, tetapi jika
keseringan akan mengganggu organisasi sehingga seperti tak terurus. Dalam
konteks reserse, pimpinan yang sibuk di luar merupakan peluang bagi penyidik
untuk mengolah kasus guna kepentingan dirinya sendiri ataupun kesatuannya.
Keempat, ”ban berjalan”. Cara kerja reserse di Indonesia
dewasa ini adalah end-to-end, mulai
dari menginterogasi tersangka, membuat aneka surat terkait administrasi
penyidikan, hingga menyelesaikan berkas sangkaan. Cara kerja ini memunculkan
beberapa situasi berikut. Adanya kecenderungan seorang reserse jadi ”pemilik”
atas kasus tertentu yang menyebabkan tersangka dan penasihat hukum, juga
pelapor, mejadi amat bergantung padanya. Situasi ini juga menjadikan potensi
bagi munculnya peluang penyimpangan.
Implikasi lainnya adalah tidak terjaminnya kualitas
penyidikan karena tidak ada akses bagi pihak lain untuk mengawasi. Pengawasan
paling-paling dilakukan oleh atasan penyidik yang—selalu mungkin—mental dan
integritasnya tidak beda jauh dengan bawahannya. Model kerja ban berjalan (factory line) dengan demikian perlu
ditiru. Seperti halnya pabrik manufaktur, pengerjaan suatu barang ditangani
oleh banyak orang yang bertanggung jawab atas elemen-elemen dari barang
tersebut.
Kelima, database dan teknologi informasi. Organisasi
kepolisian di negara Barat umumnya mengandalkan kekayaan database dalam
rangka kegiatan kepolisiannya. Dengan dukungan teknologi informasi, database
yang kaya akan mempermudah polisi mengetahui identitas pengemudi yang baru
saja dihentikannya dan sebagainya.
Di Indonesia, Polri amat miskin database. Banyak hal masih
dilakukan secara manual dan berbasis ingatan saja. Padahal, kejahatan
konvensional sekalipun kini bisa terjadi antarwaktu atau antartempat oleh
orang yang sama atau berbeda. Metode manual dan ingatan tentu memiliki
keterbatasan, yang seyogianya didukung oleh teknologi informasi yang mampu
mengoneksi berbagai unit, satuan, dan direktorat di Bareskrim.
Mencari-cari kasus
Keenam, pendanaan. Masih terdapat fakta bahwa aktivitas
reserse didukung skema pendanaan yang bervariasi. Antara Mabes Polri, polda,
polres, dan polsek terdapat variasi pendanaan. Paling ideal, pendanaan di
Mabes, di mana semua kegiatan penyidikan dapat didukung APBN. Di level polda
dan polres, khususnya di daerah-daerah yang memiliki pendapatan asli daerah
besar, pemerintah daerah juga mendukung biaya penyidikan. Ada yang secara
langsung mendukung, ada pula yang memakai judul skema anggaran yang lain.
Terkait polres dan (semua) polsek, mengingat dukungan APBN
yang minim dan laporan masyarakat yang tinggi, terdapat situasi di mana
pelapor juga ikut membiayai pergerakan kasusnya. Demikian pula tersangka
harus keluar dana kalau tidak mau mendapat perlakuan keras dari polisi.
Variasi ini seyogianya dihentikan segera mengingat inilah salah satu sumber
banyaknya penyimpangan oleh reserse.
Ketujuh, mencari-cari kasus. Hari-hari ini berita dipenuhi
oleh aktivitas Bareskrim yang diperkirakan mencari-cari kasus atas diri
orang-orang tertentu. Kegiatan itu dilakukan dengan dua hal. Pertama,
menelisik masa lalu orang dan berusaha menemukan hal-hal yang menjadi titik
lemah seseorang (terkait kasus yang belum/tidak selesai atau dugaan
kesalahan/perbuatan yang tidak terungkap) untuk kemudian diberkas dengan
bantuan anggota masyarakat yang telah dipersuasi untuk melaporkan. Kedua,
menunggu hingga seseorang yang menjadi target operasi (di-TO) berbuat salah
dan kemudian diproses hukum. Kegiatan ini tentu tidak sehat dan mirip
kegiatan gerombolan.
Kedelapan, cold
cases. Seiring kegiatan mencari-cari kasus, maka—ironinya—terdapat angka
kasus dingin (cold cases) yang
tinggi di meja para penyidik pada umumnya. Cold cases adalah fenomena kasus-kasus yang menumpuk tanpa
perkembangan sama sekali. Saking tingginya tumpukan, besar potensinya untuk
dilupakan.
Fenomena cold cases
mencerminkan buruknya manajemen penyidikan yang tidak bisa memonitor
keluar-masuk berkas. Hal ini kemungkinan bisa dipecahkan dengan
diberlakukannya metode ”ban berjalan” dan optimalisasi teknologi informasi
dalam penyidikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar