Kolam
Kepemimpinan
Herry Tjahjono ; Terapis
Budaya Perusahaan
|
KOMPAS,
16 Februari 2015
Di balik beberapa terobosan kinerja pemerintahan dan
kepemimpinannya—baru dalam hitungan beberapa bulan saja—Presiden Joko Widodo
sudah bikin geger jagat politik nasional, dan sebetulnya lebih tepat disebut
”chaos” politik berupa konflik KPK vs Polri yang eksesnya merembet ke
mana-mana. Dan, konflik KPK vs Polri ini merupakan simbol dari betapa
karut-marut dan bobroknya dimensi kehidupan interaktif elite bangsa negeri
ini. Apakah Jokowi salah? Apakah Jokowi tak kompeten sebagai pemimpin
(presiden)? Mari kita bedah melalui pisau analisis organisasi yang disebut
praksis kepemimpinan.
Tangga kepemimpinan
Dalam praksis kepemimpinan, secara sederhana ada dua pendekatan
dalam memilih pemimpin. Pertama, praksis yang disebut ”tangga kepemimpinan”.
Praksis ini banyak dipraktikkan di berbagai organisasi, seperti industri
misalnya.
Prinsipnya, seorang pemimpin mencapai puncak karier
kepemimpinannya setelah dia melewati beberapa anak-tangga kepemimpinan, mulai
dari yang bawah sampai atas. Pesan terpenting: setiap anak-tangga
kepemimpinan mesti dijalani dan diselesaikan secara tuntas, baru dia menapak
pada anak-tangga kepemimpinan di atasnya, demikian seterusnya.
Jokowi, jelas tidak mengikuti praksis tangga kepemimpinan ini.
Singkatnya, ketika dia berada pada anak-tangga kepemimpinan sebagai wali kota
Solo—sebelum dijalani tuntas—dia sudah menapak ke anak-tangga berikutnya:
gubernur DKI Jakarta. Dan sebelum anak-tangga kepemimpinan gubernur DKI
Jakarta dijalani dan diselesaikan tuntas, dia sudah menapak ke anak-tangga
kepemimpinan tertinggi negeri ini: sebagai presiden RI.
Kedua, praksis kepemimpinan ”kolam kepemimpinan”. Praksis
ini—sepanjang yang saya tahu— dijalankan oleh sebagian konglomerat bisnis di
negeri ini. Prinsipnya, seorang calon pemimpin dengan sengaja dan begitu saja
dicemplungkan, dimasukkan ke kolam kepemimpinan tertinggi, meskipun dia belum
punya pengalaman kepemimpinan yang matang atau melewati anak-tangga
kepemimpinan secara tuntas.
Pesan terpenting: manusia (pemimpin) secara adaptatif akan
survive, dan meski megap-megap kemasukan air dan berkali-kali nyaris
tenggelam, pada akhirnya dia akan bisa berenang (memimpin) dengan baik.
Terkait konteks tema tulisan ini, Jokowi menduduki takhta RI
1 lewat praksis kolam kepemimpinan ini. Jadi, jangan heran
jika sampai beberapa waktu ke depan nanti dia akan sering megap-megap dan nyaris tenggelam di kolam
kepemimpinan RI 1. Chaos politik berupa konflik KPK vs Polri yang eksesif ini
adalah konsekuensi logis dari praksis kolam kepemimpinan Jokowi. Kita,
sebagai rakyat sekaligus sebagai boss
negeri ini —justru yang mencemplungkan Jokowi ke kolam kepemimpinan RI 1
ketika memilihnya sebagai presiden.
Beberapa pesan penting dari praksis kolam kepemimpinan Presiden
Jokowi adalah: (1) pola perilaku kepemimpinan
trial and error akan sering
dilakukan oleh Jokowi. Ini merupakan
konsekuensi logis dari praksis kolam kepemimpinan. Sampai berapa lama pola
trial and error ini berlangsung? Tergantung daya adaptasi Jokowi sebagai
seorang pribadi. Pola kepemimpinan trial and error ini sesungguhnya akan
dilakukan juga melalui (oleh) praksis
tangga kepemimpinan, namun frekuensinya tidak setinggi praksis kolam
kepemimpinan. Makin tinggi trial and error, risiko tentunya makin tinggi.
Dan, terlepas adanya unsur politis atau lainnya, kasus pengusulan Budi
Gunawan sebagai Kepala Polri, hanya salah satu dari pola trial and error yang
dilakukan Jokowi,
Kemudian, (2) praksis
kolam kepemimpinan seperti ini (terlebih untuk organisasi Indonesia dengan
level tertinggi sebagai presiden),
memerlukan lingkar-lingkar kepemimpinan (tim-tim)—terutama lingkar
pertama (ring 1)—yang kuat dengan satu syarat mutlak terpenting berupa
integritas.
Lingkar pertama itu harus
berisikan orang-orang dengan integritas tertinggi yang tak bisa ditawar.
Integritas tertinggi itu berupa ”kesediaan, ketulusan, sekaligus keberanian
untuk menempatkan kepentingan bangsa (rakyat) di atas kepentingan pribadi dan
partai.”
Orang-orang lingkar pertama ini adalah yang sehari-hari berada
di sekitar presiden, yang paling sering berinteraksi, dan paling punya akses
langsung dan cepat ke presiden. Lingkar pertama inilah yang akan menjadi
fungsi direct support kepada presiden agar pola trial and error dengan risiko
bersifat kontraproduktif tak perlu dilakukan.
Selanjutnya, (3) pesan paling esensial tentunya bagi Presiden
Jokowi sendiri, yang justru harus lebih fokus pada kelebihan utamanya sebagai
seorang pribadi pemimpin selama ini. Kekuatan Jokowi selama ini—yang bahkan
mampu melewati dan menaklukkan berbagai kepentingan politik dan ”mau tak mau”
membuat orang menempatkannya sebagai presiden adalah proses penemuan ”diri
ideal” atau ”diri otentik”nya sebagai seorang pribadi pemimpin.
Otentisitas Jokowi
Mengadaptasi Daniel Goleman,
”diri ideal” dijelaskan sebagai mekanisme dan proses: bagaimana kita
menginginkan diri kita sendiri, menjadi pribadi seperti apakah yang kita
inginkan, termasuk apa yang kita inginkan dalam hidup dan pekerjaan.
Sedangkan secara filosofis dan klasik, Martin Heidegger—seorang filsuf Jerman
terkemuka bicara tentang authenticity—yang bisa diartikan sebagai seseorang
yang paham akan struktur eksistensi dirinya sendiri.
Otentisitas, diri otentik– mengarahkan manusia untuk mengambil
tanggung jawab atas diri dan hidupnya sendiri, sehingga untuk itu dia harus
memilih identitas dirinya sendiri. Lingkungan, mulai dari masyarakat,
keluarga, sekolah atau lainnya, sering memaksakan sebuah ”identitas” bagi
diri kita. Akibatnya, kita sering mengikuti apa yang diminta lingkungan dari
diri kita. Itu sebabnya, kita tidak bisa menjadi pribadi yang otentik.
Diri ideal, diri otentik—bukanlah ”diri yang diharuskan”— dan
diri ideal atau diri otentik inilah yang selama ini menjadi kekuatan utama
seorang Jokowi. Ketika dia menjadi demikian tegas, kuat, dan berani melakukan
berbagai manuver dan keputusan kepemimpinan untuk ”kepentingan rakyat dan
bangsa”—dari menenggelamkan kapal pencuri ikan, mendatangi Prabowo Subianto
sesaat setelah terpilih, makan siang dengan para penentangnya, menceburkan
diri di tengah sawah dan bencana—itu semua refleksi dari diri ideal atau
otentiknya.
Namun, soal pencalonan Budi Gunawan dan susah serta lambannya
dia mengambil keputusan atas berbagai
ekses yang terjadi adalah refleksi dari ”diri yang diharuskan” (bukan diri
ideal/ otentiknya).
Kita telah mencemplungkan Jokowi ke kolam kepemimpinan bangsa,
tugas kita sekarang adalah menyaksikan, mendukung, menyemangati—ketika ia
megap-megap dan hampir tenggelam—agar dia bisa segera ”berenang” (memimpin)
dengan baik negeri ini. Dan, Jokowi sendiri, harus konsisten terus memimpin
berlandaskan diri ideal/otentiknya—apa pun risiko yang dihadapinya dalam
kolam kepemimpinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar