Kapolri
dan Pemakzulan
Refly Harun ; Pengamat
dan Pengajar Hukum Tata Negara
|
KOMPAS,
04 Februari 2015
MANTRA pemakzulan kini kerap didendangkan menakut-nakuti
Presiden Joko Widodo dalam kaitan dengan kepastian pelantikan Komisaris
Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Jika tidak melantik Budi Gunawan (BG), Jokowi bisa
dimakzulkan. Mantra tersebut didendangkan beberapa kalangan yang dalam
beberapa hari terakhir ini terus sibuk mendorong Jokowi melantik seorang
tersangka sebagai pejabat publik.
Sekali lagi, rasionalitas dan akal sehat dibolak-balik.
Moralitas dikesampingkan. Hukum dan konstitusi jadi tameng pembenaran.
Bagaimana mungkin bahwa tak melantik seorang tersangka menjadi Kapolri
menjadi perbuatan yang dapat menyebabkan presiden dijatuhkan.
Syarat pemakzulan dalam UUD 1945 sudah teguh dan tidak
dapat ditafsirkan semaunya. Syarat itu adalah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela. Demikian pula apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
presiden/wakil presiden.
Syarat presiden/wakil presiden dalam UUD 1945 adalah warga
negara Indonesia sejak kelahiran dan tak pernah menerima kewarganegaraan lain
karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu
secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai
presiden/wakil presiden.
Dari semua ketentuan tentang pemakzulan tersebut, tak satu
pun bisa dikenakan terhadap perkara yang berkaitan dengan mengangkat atau
tidak mengangkat Kapolri. Namun, bagi mereka yang terus mendesak Jokowi untuk
melantik tersangka, klausul melakukan perbuatan tercela dapat dikenakan
apabila Presiden tak melantik BG. Sangat tak masuk akal jika tak melantik
dinilai sebagai perbuatan tercela. Justru akal sehat lebih menerima bahwa
yang tercela itu kalau melantik tersangka jadi pejabat publik.
Hal yang tidak sejalan dengan akal sehat itu diucapkan tak
kurang oleh orang yang sangat paham hukum tata negara dan beberapa politikus
di Senayan. Alasannya, Presiden telah mengajukan BG sebagai Kapolri. DPR
telah melakukan uji kelayakan dan kepatutan. BG telah lolos dari uji itu.
Dengan begitu, kewajiban Presiden Jokowi melantik BG sebagai Kapolri.
Alasan formal-legalistis ini tampaknya paling masuk akal.
Padahal, dari sudut hukum tata negara, ada satu pertanyaan yang perlu
dijawab, apakah Presiden dapat mengganti calon Kapolri yang telah disetujui
DPR karena alasan tertentu, misalnya menjadi tersangka. Saya termasuk yang
berpendapat ”bisa” karena dalam pencalonan Kapolri, posisi DPR bersifat
pasif. DPR hanya memiliki kewenangan mengonfirmasi, tetapi tak dapat memaksa
Presiden mengangkat calon Kapolri tertentu meskipun telah melalui uji
kelayakan dan kepatutan, sepanjang Presiden memiliki alasan kuat mengganti
calon.
Selain itu, bagaimana menjelaskan kepada publik ihwal
status tersangka BG oleh KPK. Terlebih, siapa pun yang telah menjadi
tersangka oleh KPK, sudah pasti menjadi terdakwa karena KPK tidak mengenal
surat perintah penghentian penyidikan. Sebelum diajukan ke pengadilan tindak
pidana korupsi, biasanya tersangka akan ditahan. Jangan lupa pula, selama ini
tersangka KPK tidak pernah lolos dari jerat hukuman.
Terlepas dari apa motif KPK menetapkan BG sebagai
tersangka, karena dijadikan tersangka saat dicalonkan sebagai Kapolri, fakta
menunjukkan bahwa BG sedang menjalani proses hukum yang belum selesai. Akan
sangat sulit diterima akal sehat publik jika Jokowi, yang dalam visi dan misi
kepresidenannya menyinggung berkali-kali soal pemberantasan korupsi, melantik
seorang tersangka menjadi pejabat publik penting sekelas Kapolri. Jadi,
soalnya bukan BG atau tidak BG.
Kesalahan bersama
Banyak pihak pasti akan menyalahkan Jokowi. Kalau sudah
jadi tersangka, mengapa tetap diajukan sebagai calon Kapolri. Lebih kurang
begitulah mereka yang akan memprotes Jokowi. Harus diakui pula, dari sisi
hukum dan moralitas, Jokowi telah salah ketika tak menarik pencalonan seorang
yang menyandang status tersangka. Namun, DPR tak bisa menghindar dari
kesalahan serupa. Mengetahui sang calon Kapolri sudah ditetapkan sebagai
tersangka, DPR malah terkesan buru-buru mengadakan uji kelayakan dan
kepatutan. DPR sama sekali tidak mengonfirmasi KPK soal penetapan tersangka
ini. Padahal, UU No 2/2002 tentang Polri memberikan tenggat 20 hari bagi DPR
memberikan persetujuan. Jika DPR tak memberikan persetujuan, lewat 20 hari
sejak surat Presiden diterima DPR, calon Kapolri dianggap telah disetujui.
Alih-alih memanfaatkan waktu yang 20 hari, sehari setelah
surat Presiden sampai ke tangan DPR, Komisi III langsung menggelar uji
kepatutan dan kelayakan. Hasilnya, ajaib, Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi
Merah Putih, yang selama ini berseteru dalam hampir semua isu, mendadak
kompak dan menyatakan kata ”setuju” terhadap pencalonan BG. Persetujuan itu
kemudian diterima bulat-bulat dalam rapat paripurna DPR. Jadilah bola panas
kembali ke tangan Jokowi.
Publik tentu bertanya-tanya mengapa DPR begitu tergesa-gesa
untuk menyetujui seorang tersangka menjadi Kapolri. Sampai titik ini skenario
bisa bermacam-macam. Namun, terlepas
dari beragam skenario dalam benak elite politik di negeri ini, sadar atau
tidak, kita sedang mendorong presiden melakukan kesalahan kedua dengan
desakan melantik BG yang telah menjadi tersangka.
Padahal, ketika pilihannya melantik, justru Jokowi masuk
dalam radar pemakzulan. Jika diperhadapkan, jelas lebih mudah membangun
argumentasi presiden telah melakukan perbuatan tercela ketika melantik
tersangka ketimbang tak melantik. Terlebih presiden akan dinilai menabrak
sejumlah aturan yang jelas-jelas menggariskan keinginan agar penyelenggara
negara bersih dan bebas dari korupsi. Misalnya Tap MPR Nomor XI/MPR/1998
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme. Lalu Tap MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah
Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Demikian pula UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Jokowi juga akan tampak lebih buruk dibandingkan dengan
presiden-presiden sebelumnya jika melantik tersangka dalam jabatan strategis
seperti Kapolri. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, mampu memaksa
para menterinya mundur ketika menjadi tersangka kasus korupsi. Menteri Pemuda
dan Olahraga Andi Mallarangeng, Menteri Agama Suryadharma Ali, dan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik semuanya mundur meski palu hakim
belum memastikan mereka bersalah atau tidak.
Karena itu, kepada elite politik dan para ahli hukum yang
terus mendorong Jokowi untuk melantik tersangka menjadi Kapolri, berhentilah
menakut-nakuti dengan segala argumentasi pemakzulan. Masih banyak pekerjaan
rumah bagi negeri ini untuk keluar dari kemelut korupsi ketimbang berkutat
pada masalah calon Kapolri, soal pribadi yang sengaja diinstitusionalisasi. Save KPK save Polri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar