Jangan
Lantik BG sebagai Kapolri
Richo Andi Wibowo ; Dosen
FH UGM, peneliti di Institute of Constitutional and Administrative Law and
Legal Theory, Utrecht University School of Law, Belanda
|
JAWA
POS, 17 Februari 2015
’’A fish rots from the head down’’
DULU Jokowi menunda pelantikan Kapolri karena BG
ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Lalu, setelah penetapan tersangka
tersebut dianulir putusan praperadilan, publik bertanya-tanya: apakah Jokowi
berarti harus melantik BG sebagai Kapolri?
Hemat penulis, Jokowi tidak harus melantik, bahkan tetap
dapat menganulir pencalonan BG. Setidak-tidaknya terdapat lima argumentasi
hukum yang dapat diajukan mengenai hal ini.
Pertama, putusan praperadilan yang menganulir status BG sebagai
tersangka berbenturan dengan hukum. Sebab, menurut KUHAP, kewenangan forum
praperadilan memang bukan untuk status tersangka.
Sesungguhnya, sebelum kasus ini disidangkan, forum
akademisi hukum mengkritik keras rencana praperadilan. Setelah putusan ini
lahir, kritik atas putusan praperadilan bahkan juga disampaikan kalangan
hakim MA sekalipun.
Kedua, selain itu, perlu dicatat bahwa putusan
praperadilan tidak berwenang (dan oleh karena itu tidak menghasilkan)
kejelasan benar tidaknya BG melakukan korupsi. Hal ini sesungguhnya
memberikan ruang kepada Jokowi untuk membatalkan pelantikan dan menganulir
pencalonan BG sebagai Kapolri.
Melantik atau tidak suatu pejabat adalah urusan
penyelenggara negara. Karena itu, landasan hukum yang perlu diperhatikan
adalah asas hukum administrasi negara (HAN). Dalam HAN, keputusan dapat
diambil dengan berdasar pembuktian yang berkarakter ’’more likely than not’’.
Artinya, untuk memutuskan sesuatu hal terkait dengan
penyelenggaraan negara, pejabat pemerintah tidak harus selalu menunggu bukti
hitam di atas putih. Bukti abu-abu yang cenderung hitam, sepanjang itu
meyakinkan, sudah cukup untuk menjadi landasan dalam pengambilan keputusan.
Jika diterapkan dalam kasus ini, Jokowi perlu serius
mempertimbangkan hasil transaksi janggal rekening BG yang terekam oleh PPATK,
serta penetapan tersangka oleh KPK. Dua lembaga ini memiliki rekam jejak yang
sangat bagus dalam pemberantasan korupsi. Pengakuan ini lahir dari masyarakat
dan komunitas internasional. Seharusnya, sikap dua lembaga tersebut sudah lebih
dari cukup untuk Jokowi dalam menganulir pencalonan BG sebagai Kaplori.
Ketiga, sebagaimana ungkapan masyarakat Eropa yang
disampaikan di awal tulisan ini, ’’ikan
membusuk dimulai dari kepala’’. Jika figur yang tidak
berintegritas yang terpilih menjadi Kapolri, figur tersebut akan memberikan
pengaruh buruk kepada seluruh anak buah yang ia pimpin. Mengingat
Polri saat ini tengah berbenah, melantik BG berarti sinyal buram. Jokowi
menghambat proses transisi reformasi yang tengah berjalan di tubuh Polri.
Keempat, implikasi lanjutan dari poin ketiga di atas adalah
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga penegak hukum (Polri)
akan turun. Padahal, hal ini sangat berbahaya.
Menurut penelitian Marien dan Hooghe (2011), masyarakat
yang tidak percaya kepada pemerintah cenderung lebih melanggar hukum daripada
masyarakat yang percaya terhadap pemerintah. Dengan kata lain, kewajiban
Jokowi untuk menolak BG perlu dibaca sebagai kewajiban dalam memastikan
keberlangsungan keteraturan (social
order) dalam masyarakat.
Kelima, poin di atas amat relevan serta perlu
dipertimbangkan secara serius oleh Jokowi karena itu merupakan janjinya
kepada masyarakat dan bangsa ini. Merujuk pada situs KPU, pasangan Jokowi-JK
berjanji kepada segenap rakyat Indonesia dengan sembilan program prioritas
(Nawa Cita).
Program prioritas nomor 2 tertulis dengan gamblang bahwa: ’’kami akan membuat pemerintah selalu
hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif,
demokratis, dan tepercaya’’. Artinya, jika Jokowi membiarkan kepercayaan
masyarakat kepada lembaga pemerintah dan lembaga hukum turun, dia bersama JK
berarti telah menjilat ludahnya sendiri.
Berpihak pada Rakyat
Sesungguhnya, sebagaimana paparan di atas, logika
hukum atas urusan praperadilan, untuk kasus BG, sudah cukup terang. Namun,
tampaknya, urusan politiklah yang membuat rumit. Banyak pihak meyakini,
Jokowi tersandera oleh kepentingan partai penyokongnya.
Terhadap hal ini, Jokowi serta para pengagumnya perlu
melakukan refleksi kembali. Jokowi terpilih karena rekam jejaknya dalam
memimpin pemerintahan. Kala itu, ramai diberitakan, sekalipun kerap mendapat
tekanan, Jokowi selalu memilih berdiri untuk mendukung kepentingan rakyat,
dan bukan kepentingan politik.
Seharusnya, sikap tersebut pulalah yang harus ditunjukkan
Jokowi pada urusan ini. Tetaplah istiqamah bersama rakyat, dan rakyat akan
tetap bersama Jokowi. Beranilah bersikap, apa pun
putusan praperadilan, bukan BG yang menjadi Kapolri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar