Hukum
dalam Blokade Politik
Saharuddin Daming ; Dosen
Fakultas Hukum Universitas Ibn Khaldun Bogor, Mantan Komisioner Komnas HAM
|
REPUBLIKA,
17 Februari 2015
Meski reformasi telah bergulir lebih dari 16 tahun, tapi
cita-cita untuk menjadikan hukum sebagai panglima tampak semakin mengalami
pembiasan menjadi alat komoditas politik. Tengoklah proses pengisian jabatan
kapolri yang kini menjadi bola liar di ruang publik. Pemegang otoritas yang
harusnya menghadirkan sosok kapolri yang benar–benar bersih, visioner,
kapabel, akuntabel, dan berintegritas tinggi, justru mempromosikan Komjen
Budi Gunawan (BG) yang terindikasi korupsi.
Kita tak habis pikir pengaruh dan keistimewaan yang
melekat pada Komjen BG sehingga pemegang otoritas tak menggubris status
tersangka yang disematkan KPK kepada Komjen BG. Tidak salah jika Transparansi
Internasional maupun berbagai pihak telah menempatkan Indonesia sebagai
negara terkorup ketiga di dunia.
Semula kita berharap para anggota Komisi III DPR kelak
menolak pencalonan Komjen BG sebagai kapolri dalam fit and proper test. Rupanya seluruh fraksi di Komisi III DPR
malah solid menyematkan sanjungan kepada Komjen BG. Hebatnya lagi karena
Sidang Paripurna DPR tertanggal 15 Januari 2015 mengukuhkan Komjen BG sebagai
kapolri.
Hal ini sungguh berbanding terbalik dengan model
pemerintahan SBY yang mempersyaratkan rekrutmen pejabat publik harus bebas
dari perbuatan tercela. Tidak mengherankan jika dalam masa pemerintahan SBY,
tiga menterinya, yaitu AA Mallarangeng, Suryadharma Ali, dan Jero Wacik,
langsung menyatakan mundur dari jabatannya pascaditetapkan sebagai tersangka
oleh KPK.
Sayangnya, tradisi konstruktif tersebut sama sekali asing
bagi Komjen BG. Padahal, sebagai penegak hukum, yang menjunjung tinggi etika
kebangsaan (TAP MPR No VI/2001), harusnya malu dan menolak pencalonan
dirinya. Sebagai bagian dari warga negara, tetap harus taat hukum karena
tidak ada orang yang kebal hukum.
Karena didasari oleh dukungan luas yang berselimutkan
ambisi besar, Komjen BG justru mengabaikan penetapan dirinya sebagai
tersangka. Dengan mengajukan praperadilan dan pranata Korsa demi memperoleh
simpati dari para koleganya di jajaran Bhayangkara. Politik pembenturan
antara KPK dan Polri agar terulang kembali kisah cicak melawan buaya. Celakanya
lagi karena segelintir akademisi malah ikut memprovokasi dengan fatwa agar
Presiden Jokowi tidak perlu mendengar bisikan dari Tim 9 dan tetap melantik
Komjen BG sebagai kapolri tanpa peduli dengan tekanan KPK dan publik. Sikap
akademisi seperti ini sungguh jauh dari karakteristik ilmuwan sejati yang
pantang menebarkan paham kesesatan.
Kerancuan lain juga tampak dari hasil validasi yang
dirilis Mabes Polri, tidak digubris oleh KPK. Anehnya karena sebagian besar
politisi kita saat ini justru lebih mempercayai hasil verfifikasi Bareskrim
Polri atas transaksi yang dianggap wajar dalam rekening gendut milik Komjen
BG. Mereka sengaja lupa reputasi dan prestasi KPK dalam mengungkap skandal
korupsi yang melibatkan sejumlah perwira tinggi Polri, seperti Komjen Suyitno
Landung, Brigjen Samuel Ismoko, dan Irjen Joko Susilo. Semua tuduhan KPK yang
dialamatkan kepada mereka akhirnya terbukti benar walaupun dibantah pada
awalnya.
Parahnya karena semua delik yang diungkap oleh KPK
tersebut terjadi ketika mereka masih duduk sebagai pejabat aktif di
lingkungan Polri. Jika investigasi Polri memang objektif dan terpercaya untuk
jajaran internal, maka skandal ketiga pati Polri di atas tidak perlu terjadi
karena selalu dapat terdeteksi oleh sistem investigasi Polri. Sayang, semua
itu hanyalah klaim sepihak yang sangat tajam jika menyangkut kepentingan
eksternal Polri, tetapi menjadi tumpul jika menyangkut kepentingan
internalnya.
Andai perkara itu diserahkan kepada Polri, maka sangat
boleh jadi perkara tersebut mengalami nasib seperti perkara Komjen BG.
Bareskrim Polri merilis hasil investigasi dengan tekanan: clear. Padahal, dalam investigasi KPK
yang dibantu PPATK justru menyimpulkan hal sebaliknya. Ini bukti bahwa
kualitas clear yang menjadi produk Bareskrim Polri ternyata jauh tertinggal
daripada kualitas hasil investigasi yang dilakukan KPK.
Ironisnya karena sekalipun Komnas HAM telah merilis hasil
investigasinya bahwa kriminalisasi terhadap pimpinan KPK oleh Polri merupakan
bentuk penyalahgunaan kekuasaan (eksesif
use force), tapi Bareskrim Polri tak bergeming sedikit pun, bahkan DPR
seolah-olah ingin mendelegitimasi status tersangka yang disematkan KPK
terhadap Komjen BG. Asas praduga tak bersalah pun digunakan sebagai tameng
untuk menjustifikasi keabsahan sang Komjen sebagai calon kapolri. Due process of law tiba-tiba nyaring
disuarakan untuk mengandaskan ketegasan KPK yang dianggap menyalahi prinsip
negara hukum.
Kontrasnya karena hanya KPK yang selalu dituding menyalahi
doktrin tersebut dalam menjalankan tugas penegakan hukum. Padahal, institusi
Polri melalui Densus 88 justru lebih banyak menginjak–injak prinsip due
process of law. Sudah bukan rahasia lagi bagi kita bahwa setiap Densus 88
dalam melakukan operasi penangkapan kepada siapa pun yang disinyalir sebagai
teroris hingga berujung pada penghilangan nyawa hanya didasarkan pada data
intelijen. Meski demikian, tak ada satu pun herois gadungan di Senayan yang
berani mengatakan bahwa tindakan Densus 88 itu melanggar asas praduga tak
bersalah maupun due process of law.
Tragisnya karena sekalipun KPK dalam menetapkan status
tersangka kepada seseorang atas dasar alat bukti yang sah dan memadai menurut
hukum, tetap saja ada reaksi dari Senayan yang mempersoalkannya. Jika tekanan
mereka tak digubris, mereka pun kontan bersuara sumbang untuk merevisi atau
membubarkan KPK. Di sinilah kita dapat membuktikan betapa rentannya hukum
dikambinghitamkan oleh politik yang dikendalikan atas dasar kepentingan.
Untuk memutus mata rantai epos cicak verus buaya, maka
presiden dalam memilih calon kapolri haruslah figur yang benar-benar berjiwa
reformis, komitmen membersihkan Polri dari jaringan rekening gendut serta
mendukung pemberantasan korupsi tanpa konfrontasi dengan KPK. Ini adalah
solusi jangka pendek. Sedangkan untuk jangka panjang, Bareskrim dan KPK harus
dilebur menjadi satu di bawah lembaga investigasi negara atau nama lain.
Itu berarti KPK harus bubar seiring dengan keluarnya
Bareskrim dari Polri. Jadi, tupoksi Polri cukup dalam bidang kamtibmas.
Sistem kepemimpinan dan rekrutmen lembaga baru tersebut meniru model
kepemimpinan KPK sekarang. Formasi penegakan hukum seperti ini jauh lebih
efektif dan efisien serta menafikan terjadinya friksi. Wacana ini ditentukan
oleh political will presiden dan
DPR untuk mengganti UU No 2/2002 tentang Polri jo UU No 30/2002 tentang KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar