Governabilitas
Jokowi
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik,
Universitas Nasional, Jakarta
|
KORAN
SINDO, 07 Februari 2015
Apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah mempertajam
kepemimpinannya di kawah candradimuka politik Indonesia, ataukah tengah
memperlihatkan ketekoran kepemimpinannya?
Pertanyaan tersebut mengemuka ketika sebagai presiden,
Jokowi diuji untuk menyelesaikan kemelut konflik antarelite dalam institusi
kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari-hari ini. Kasusnya
memang dilematis dan tidak sederhana, tetapi Jokowi punya kewenangan politik
untuk memutuskan sesuatu yang dapat memengaruhi jalannya cerita di kemudian
hari.
Tetapi dalam konteks kepemimpinan, memutuskan saja tidak
cukup. Pemimpin harus mampu mengendalikan beragam sumber daya melalui
pengaruhnya. Konteksnya, pengelolaan konflik. Dalam kasus kepemimpinan
politik Jokowi, sepertinya dia kurang mempertimbangkan aspek-aspek kontestasi
antarelite, sebelumnya. Yang tampak, Jokowi banyak bergantung pada asumsi
semua orang bisa diajak bekerja sesuai dengan kemauannya.
Namun bahkan dalam hal memilih para pembantu atau anggota
kabinet, nyatanya Jokowi tidak bisa melakukannya secara optimal. Dia terpaksa
harus mengakomodasi ragam kekuatan politik pendukungnya. Namun dalam
perkembangannya, Jokowi berikhtiar membentuk keseimbangan antarelite
pendukungnya ataupun dengan kelompok penyeimbang.
Pasca pembentukan kabinet, sesungguhnya Jokowi telah
menggambar peta politik yang dinamis. Peta itu masih akan terus berubah,
setidaknya karena dua faktor. Pertama, faktor kepentingan Jokowi untuk
menjadi pemimpin yang seotentik mungkin, lepas dari bayang-bayang figur-figur
kekuatan-kekuatan politik lain.
Katakan, kalaupun memang Jokowi menyadari hal ini, dia
akan bertransformasi dari ranah ”petugas partai” ke ”petugas rakyat” atau
pemimpin bangsa yang sepenuhnya mandiri. Benturan-benturan keras dengan
partai-partai politik pengusungnya, apalagi khususnya PDIP dengan ikon
utamanya Megawati Soekarnoputri, pasti tidak terelakkan.
Kedua, faktor kapasitas kepemimpinan Jokowi sendiri. Ini
terkait dengan bagaimana dia sebagai pemimpin bangsa merespons kasus-kasus krusial.
Kapasitas kepemimpinan merujuk pada kecakapan memimpin serta ketepatan
kebijakan dan respons terhadap perkembangan, juga dalam menjaga momentum.
Kapasitas pemimpin jelas juga terkait dengan konteks pengambilan risiko,
selain pengelolaan harapan.
Dalam hal ini, Jokowi dapat menjadi penentu. Kalau
kapasitas kepemimpinannya mantap, dia akan mampu mengelola perubahan menuju
visinya. Tetapi kalau kepemimpinannya tekor, peta politik juga bisa berubah
drastis. Ketekoran kepemimpinan tidak semata-mata terkait dengan konteks
tercabutnya dukungan politik, tetapi juga dalam hal-hal yang bermuara pada
kemerosotan daya kepemimpinan atau pengaruh di segala lini.
Kondisinya bisa jadi lebih parah ketimbang kondisi ”tidak
dapat memerintah”, karena ketekoran kepemimpinan ditandai oleh resistensi
dari segala arah.Uraian di atas dimaksudkan untuk memahami bahwa siapa pun
yang menjadi presiden, juga akan dihadapkan pada problem yang sama. Adanya
realitas kontestasi antarelite dan kelompok kepentingan tentu berpotensi mengganggu
fokus pemerintah untuk bekerja.
Tetapi justru di sini, kepemimpinan politik presiden
diuji, bagaimana dia mampu menjadi integrator dan dinamisator yang produktif
sehingga politik menjadi kondusif. Pembangunan membutuhkan kehadiran para
teknokrat sebagai sosok-sosok ahli yang berkompeten dalam mengimplementasikan
program-program pembangunan.
Golongan yang tergabung dalam kabinet inilah diharapkan
mampu mempercepat perwujudan visi presiden. Namun, ini juga bukan hal statis
robotik. Kabinet yang bernuansa politik, tentu membutuhkan pendekatan
kepemimpinan yang berorientasi keseimbangan dan mekanisme ”reward and punishment” yang jelas.
Maka itu, governabilitas atau daya memerintah Presiden Jokowi tergantung,
lebih-lebih, pada kapasitas kepemimpinannya.
Sejauh mana daya pengaruh dan daya geraknya mampu
mengondisikan segenap potensi sumber daya pemerintahan secara sinergis,
selain kecakapannya dalam mengelola kekuasaan, termasuk kemampuannya untuk
memastikan aparat penegak hukum bekerja dengan profesional. Pun dalam
menjalankan tugasnya sebagai panglima tertinggi militer. Pemimpin memang
perlu banyak masukan, formal maupun tidak formal dari berbagai spektrum dan
sumber.
Kapasitas pemimpin, dalam konteks ini ialah menemukan
poin-poin penting sebagai referensi yang mendasari kebijakan (policy) yang diambilnya secara bijak (wisdom). Dari berbagai masukan, semua
akan berpulang ke dirinya. Pemimpin perlu kesunyian di tengah keramaian.
Kesunyian itulah detik-detik untuk memutuskan yang dianggapnya terbaik,
kendatipun tidak populer. Jokowi tentu akan terus dihadapkan pada kesunyian-kesunyian
itu.
Governabilitas Jokowi sebagai presiden akan efektif kalau
program-program pemerintah berjalan secara terencana dan terukur. Tentu ini
terkait dengan sistem dan sarana-prasarana. Dalam aspek tertentu, seiring
dengan ikhtiar untuk melakukan terobosan-terobosan kebijakan, pemerintahan
Jokowi tampak ingin tampil beda dengan pemerintahan sebelumnya. Artinya,
sistem harus ada yang diubah.
Perubahan sistem memang perlu waktu, selain proses
adaptasi yang melibatkan semua pihak. Namun, dia memang akan bertemu dengan
berbagai keterbatasan di lapangan, tidak saja soal saranaprasarana, tetapi
juga aspek-aspek kultur dan mentalitas. Di sinilah urgensi pemimpin sebagai
panduan moral dalam perubahan sistem yang kompleks.
Dalam kasus Jokowi, sesungguhnya dia punya modal
kepercayaan (trust ) yang tinggi, bahwa dia adalah sosok ”pemimpin moralis”
yang timbul dari bawah. Simbol kerakyatan masih sering dilekatkan ke Jokowi,
tetapi setidaknya hingga saat ini dia belum dilengkapi segera dengan simbol
kecakapan. Jokowi masih terkesan belum begitu cakap dalam menyelesaikan
konflik kepolisian dan KPK dewasa ini, kendatipun keriuhannya bisa semakin
mereda.
Masa seratus hari pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla masih
tampak diwarnai ikhtiar adaptasi kepemimpinan di tengah realitas kontestasi
politik yang dinamis. Keriuhan politik seolah menenggelamkan program-program
baik yang bersifat terobosan pemerintah. Juga belum optimalnya governabilitas
Jokowi dalam mengarahkan sinergisitas seluruh kekuatan sumber daya
pemerintahan untuk bergerak cepat ke arah pencapaian visinya.
Apakah setelah ini akan terjadi pergerakan yang lebih
cepat, stagnan, atau mundur? Bergantung faktor kepemimpinan Jokowi sebagai
penentu kebijakan-kebijakan utama di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar