Gaji
PNS
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 12 Februari 2015
Selama beberapa pekan belakangan ini dibuat terpesona oleh
pemberitaan tentang pegawai negeri sipil (PNS). Anda tentu tahu apa yang saya
maksud. Iya, soal gaji.
Sebagai dosen, saya juga PNS, dan sudah biasa mendengar janji
surga seperti ini. Semoga kali ini benarlah adanya. Mulanya adalah gaji PNS
di lingkungan Pemprov DKI Jakarta. Angkanya memang fenomenal. Bayangkan, gaji
awal pegawai bisa Rp7 juta. Ini boleh dibilang setara dengan gaji pegawai
baru di perusahaan papan atas Indonesia.
Lalu, gaji lurah bisa mencapai Rp33,7 juta, camat Rp44,3 juta,
dan wali kota Rp75,6 juta. Gaji seorang kepala badan bahkan bisa mencapai
angka Rp78,7 juta. Isu berikutnya adalah gaji seorang dirjen pajak. Angka
yang sudah beredar adalah di atas Rp100 juta per bulan. Bahkan, sebagian
kalangan menilai angka tersebut masih terlalu kecil.
Ada yang mengusulkan gaji dirjen pajak setara dengan gaji
gubernur Bank Indonesia yang Rp194 juta per bulan. Ini tentu dikaitkan dengan
pajak yang mesti dikumpulkannya. Untuk tahun 2015, target penerimaan pajak
sebesar Rp1.300 triliun. Mungkin kita yang awam agak terheran-heran, besar
sekali ya? Untuk diketahui, gaji menteri rata-rata Rp19 juta per bulan. Lalu,
gaji seorang wakil presiden RI ”hanya” Rp42 juta per bulan, dan gaji presiden
Rp62 juta.
Tapi kalau Anda jadi wirausaha senior dan berhasil, Rp1 miliar
saja bisa didapat sebulan. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi menteri
pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi. Disharmoni semacam ini
harus ia bereskan.
PNS = Kaya
Bicara soal gaji PNS, bukan angkanya semata yang menarik
perhatian saya. Sebagai orang yang suka mencermati isu-isu tentang perubahan,
justru perubahan itu sendirilah yang menarik perhatian saya. Perubahan
seperti apa? Saya ingin mengulang cerita lama. Suatu ketika kolega saya yang
asal Sumatera Utara pulang kampung.
Di sana ia berkumpul bersama orang tuanya, juga kakek dan
neneknya. Saat berkumpul bersama keluarga dan tetangga kiri-kanan rumahnya,
sang nenek mengeluh. Keluhannya begini, ”Iya, cucu saya yang satu ini masih
bekerja di perusahaan swasta. Belum jadi pegawai negeri.” Rupanya bagi sang
nenek menjadi pegawai negeri adalah idamannya. Pekerjaan terhormat. Itu
cita-cita yang bahkan ia sendiri tak mampu mewujudkannya.
Kita yang pernah ke kampung- kampung tentu bisa merasakan hal
ini. Penghormatan orang desa terhadap pegawai negeri, yang dulu disebut
ambtenaar, memang luar biasa. Ia menjadi orang yang disapa pertama saat
berpapasan di jalan. Kalau punya pangkat namanya jadi pejabat. Tapi hal yang
paling ditakutinya bukan kata korupsi, tapi mutasi.
Ya, sampai-sampai Bupati Bojonegoro, Kang Yoto, begitu dilantik
langsung bilang, ”Tak akan ada mutasi kendati kalian dulu tak mendukung
saya.” Ia pun disambut dengan keplokan meriah oleh PNS yang dulu mendukung
incumbent. Kembali lagi ke cerita tadi, ketika di desa-desa ada masalah, ia
juga menjadi tempat bertanya. Penghormatan semacam ini bahkan mengalahkan
minimnya gaji yang diterima oleh sang ambtenaar.
Celakanya, semakin ke sini, penghormatan masyarakat terhadap
pegawai pemerintah sudah kian susut. Mereka bahkan dianggap sebagai sumber
masalah dengan jargonnya yang sangat terkenal, ”Kalau bisa diperlambat,
mengapa harus dipercepat.” Bahkan biasa kita dengar, buat mereka yang ingin
kaya, tetapi lewat cara kerja yang jujur, jangan jadi PNS. Orang-orang tua
kerap menasihati anak-anaknya, ”Kalau mau kaya, jangan jadi PNS. Jadilah
pedagang.”
Kalau ada PNS yang kaya–rumahnya megah, tanahnya ada di
mana-mana, anakanaknya sekolah di luar negeri, dan punya istri
simpanan–setiap orang bakal menduga, itu pasti diperoleh dari hasil korupsi.
Anggapan seperti itu semoga bakal usang. Setidak-tidaknya di Provinsi DKI
Jakarta.
Kalau melihat gaji lurah, camat, wali kota, dan jajaran pimpinan
lainnya di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, semuanya seakan-akan menegaskan:
siapa bilang menjadi PNS tidak bisa kaya! Memang belum bisa disebut kaya
raya, tetapi jelas mereka termasuk kelompok masyarakat yang terbilang berada.
Bukan miskin. Ini juga akan menarik calon karyawan Citibank atau Bank Mandiri
untuk berpaling menjadi lurah saja.
Menjadikan posisi lurah-lurah lama yang lemot akan tergeser.
Dengan gaji barunya, sebentar lagi kita akan menyaksikan– atau malah sudah
terjadi– perubahan besar di lingkungan Pemprov DKI Jakarta. Menjadi pegawai
di sana adalah sebuah profesi yang membanggakan. Gajinya tidak kalah dengan
pegawai swasta.
Dulu menjadi PNS adalah pilihan kedua, setelah tidak diterima
bekerja di swasta. Kini di lingkungan Pemprov DKI Jakarta anggapan itu tidak
berlaku lagi. Menjadi PNS di sana adalah citacita banyak lulusan perguruan
tinggi, negeri atau swasta. Perubahan lainnya–ini yang saya harapkan tidak
terjadi– kian banyak PNS di Pemprov DKI Jakarta yang memiliki mobil. Sebab,
Jakarta bakal semakin macet saja.
Mana Kerjanya
Akankah kenaikan gaji itu diiringi dengan perbaikan kinerja?
Itulah perubahan yang juga kita tunggu-tunggu. Ini memang pertanyaan yang
radarada susah dijawab. Mirip dengan diskusi mana lebih dulu, ayam atau
telur. Baiklah mari kita tebarkan semangat optimistis. Bukankah kita sudah
memiliki referensinya. Anda ingat bukan langkah seperti itu sebelumnya juga
pernah dilakukan oleh Ignasius Jonan.
Sewaktu diangkat menjadi dirut PT Kereta Api Indonesia (KAI),
Jonan memilih untuk menaikkan gaji pegawainya terlebih dahulu. Baru setelah
itu Jonan menuntut pegawainya bekerja habis-habisan untuk membenahi KAI.
Hasilnya kelihatan. Pada masa Jonan, kinerja KAI terus membaik. Kualitas
pelayanannya semakin meningkat. Bahkan, KAI menjadi perusahaan transportasi
pertama yang menerapkan e-ticketing atau tiket elektronik. Bukan lagi
transaksi tunai.
Secara bisnis, KAI juga mampu membalikkan kinerjanya dari semula
merugi menjadi menguntungkan. Mungkin itu sebabnya Jonan kemudian ditunjuk
jadi menteri perhubungan. Tapi ingat, Jonan bukan cuma urus kenaikan gaji. Ia
bongkar banyak hal secara menyeluruh, terpadu. Gaji saja tak akan mengubah
kebiasaan. Mustahil kita dapatkan hasil yang berbeda kalau caranya sama
berulang-ulang.
Bagaimana dengan kinerja Pemprov DKI Jakarta? Mungkin karena
kenaikan gaji itu masih baru, belum lagi dinikmati oleh para PNS di Pemprov
DKI Jakarta, dampaknya belum terlalu terasa. Setidak-tidaknya kalau banjir
besar yang kemarin melanda Jakarta, kita jadikan sebagai rujukan. Semula saya
berharap dengan gaji barunya, kinerja aparat pemprov dalam melayani
masyarakat bakal habis-habisan.
Misalnya, jajaran pegawai Dinas Perhubungan bakal habis- habisan
mengatur lalu lintas yang saat Jakarta dikepung genangan air kacaunya luar
biasa. Bahkan, pegawai dari dinas yang lain pun ikut membantu. Nyatanya saya
tidak melihat hal itu di lapangan. Malah, polisi dan ”polisi swasta” yang
sibuk mengatur arus lalu lintas. Di mana para pegawai Pemprov DKI? Mungkin
mereka sibuk memikirkan jalan pulang. Mencari jalan mana yang bakal mereka
tempuh agar tidak kena macet.
Sesuatu yang baru kadang membuat kita gagap. Itu wajar saja.
Hanya, saya berharap kegagapan tersebut jangan berlarutlarut. Para pegawai
Pemprov DKI Jakarta mesti ingat, gaji kalian naik berkat kami. Uang kamilah
yang Anda nikmati. Jadi sudah sewajarnya kalau kami ganti menuntut Anda untuk
bekerja keras. Layani kami. Jangan malah membuat susah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar