Dua
Tahap Revisi Perppu Pilkada
Didik Supriyanto ; Ketua
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
|
KOMPAS,
13 Februari 2015
Situasi ketergesaan dan ketidakpastian selalu berulang setiap
kali pemilihan kepala daerah hendak digelar. Menjelang pilkada gelombang
pertama, yang dijadwalkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jatuh pada
Juni 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak segera mengeluarkan
peraturan pemerintah yang menjadi pedoman pelaksanaan pilkada. Peraturan itu
baru keluar 11 Februari 2005, empat bulan sebelum jadwal. Padahal, tahapan
pertama harus dilakukan enam bulan sebelum pemungutan suara.
Menjelang pilkada gelombang kedua yang dimulai Juni 2010, juga
terjadi kesemrawutan dalam pengaturan teknis menyusul berlakunya UU No
12/2008 yang mengubah UU No 32/2004. Kali ini terdapat silang sengkarut
masalah ketersediaan anggaran, sampai-sampai Komisi II DPR dan Menteri Dalam
Negeri sepakat memundurkan jadwal ke tahun berikutnya. Namun, Presiden SBY
menolak usulan tersebut sehingga pilkada dipaksakan tetap sesuai jadwal.
Bagi SBY dan Partai Demokrat, pelaksanaan pilkada sesuai jadwal
terlihat lebih menguntungkan karena kemenangan Partai Demokrat dan SBY dalam
satu putaran pada Pemilu 2009 akan bisa mengatrol perolehan suara calon-calon
yang didukung Partai Demokrat. Kenyataannya, harapan itu jauh panggang dari
api. Jika kali ini PDI-P, PKB, dan Mendagri tetap menghendaki pilkada digelar
pada Desember 2015, alasan sebenarnya lebih kurang sama dengan SBY dan Partai
Demokrat lima tahun lalu.
Jika dibandingkan dengan gelombang pertama, kualitas pilkada
gelombang kedua jauh menurun. Sebab pokoknya adalah KPU daerah selaku
penyelenggara pilkada diintervensi kepala daerah dengan memainkan politik
anggaran. Karena bekerja dalam tekanan, KPU daerah tidak bisa melaksanakan
tahapan pilkada dengan baik, termasuk mengantisipasi politik uang dan
kecurangan. Mahkamah Konstitusi pun kebanjiran perkara sengketa hasil
pilkada.
Kengototan PDI-P, PKB, dan Mendagri untuk memaksakan pelaksanaan
pilkada serentak pada Desember 2015 tentu tidak akan terjadi jika mereka
berkaca pada kekacauan Pilkada Juni 2010. Apalagi, kemenangan yang
dibayangkan oleh SBY dan Partai Demokrat juga tidak terjadi. Dalam hal ini,
kepentingan bangsa, keselamatan negara, dan pembangunan demokrasi mestinya
jadi pertimbangan utama (Didik Supriyanto, ”Demi Siklus Pemilu”, Kompas,
6/1/2014).
Revisi terbatas tak cukup
Karena dibuat dalam waktu singkat dan tidak sempat dikritisi
oleh para pemangku kepentingan, Perppu No 1 Tahun 2014 yang telah ditetapkan
sebagai undang- undang oleh DPR, Selasa (20/1), mengandung banyak masalah.
Tujuan utama perppu menyelamatkan penyelenggaraan pilkada langsung oleh
rakyat sudah tercapai, tetapi peraturan ini tak bisa diimplementasi jika
tidak direvisi.
Masalah terlihat mulai dari redaksional, sistematika, hingga
substansi. Perppu No 1/2014 memiliki
tujuh salah ketik terhadap angka, kata, dan frasa. Misalnya, ”BAB XXVII”
tidak ada, padahal bab terakhir tertulis ”BAB XXVIII PENUTUP”. Juga tertulis
”pasangan calon”, padahal seharusnya ”calon” saja. Peraturan ini pun
menghilangkan tahapan pendaftaran pemilih dan tahapan penetapan hasil
pilkada, yang merupakan tahapan tersendiri, sehingga seharusnya menjadi bab
tersendiri juga dalam susunan pengaturan.
Masalah substansi juga tersebar luas, mulai dari judul yang
terus diperdebatkan (mengatur ”pemilihan kepala daerah” atau ”pemilihan umum
kepala daerah”; memilih ”gubernur,
bupati, dan wali kota” atau ”gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati,
wali kota dan wakil wali kota”), nomenklatur yang harus diluruskan (misalnya
tidak ada pembedaan arti antara ”penyelenggaraan” dan ”pelaksanaan”), alur
rekapitulasi penghitungan suara yang meloncat (dari TPS langsung ke KPU
kabupaten/kota), sampai soal formula calon terpilih (ada putaran kedua atau
tidak).
Dibandingkan dengan UU No 32/2004 dan UU No 12/2008, Perppu No
1/2014 mengatur tujuh substansi baru: (1) pencalonan tunggal, (2) pencegahan
politik dinasti, (3) uji publik, (4) pembatasan dana kampanye, (5)
penyelesaian sengketa hasil pemilihan ke MA, (6) pemungutan dan penghitungan
suara elektronik, dan (7) pilkada serentak. Namun, pengaturan tujuh substansi
ini menimbulkan ketidakpastian hukum karena masing- masing berpeluang dibawa
ke MK, baik karena terdapat ketidakjelasan dan kontradiksi atau karena
dinilai melanggar konstitusi.
Singkat kata, demi keadilan dan kepastian hukum penyelenggaraan
pilkada, Perppu No 1/2014 harus direvisi. Tetapi, revisi terbatas saja tidak
cukup karena begitu banyak materi yang bermasalah, baik yang jelas-jelas
salah atau kurang maupun yang masih diperdebatkan. Namun, revisi komprehensif
tidak mungkin dilakukan dalam waktu cepat karena masa sidang II DPR berakhir
pada 18 Februari. Padahal, jika mengacu pada beberapa ketentuan dalam perppu,
jika pemungutan suara serentak digelar pada Desember 2015, pada Februari ini
tahapan pertama harus dimulai.
Ubah jadwal dahulu
Untuk mengatasi dilema tersebut, revisi sebaiknya dilakukan dua
tahap: pertama, revisi terbatas, yang khusus mengubah jadwal pilkada
serentak. Kedua, revisi komprehensif, yang mengubah pasal-pasal yang perlu
disempurnakan. Revisi pertama dilakukan pada masa sidang II DPR yang akan
berakhir pada 18 Februari 2015, sedangkan revisi kedua dilakukan pada masa sidang
III dan masa sidang IV, yang akan berakhir pada 14 Juli 2015. Dengan
demikian, DPR dan pemerintah punya waktu cukup untuk membahas revisi perppu
sehingga hasilnya maksimal.
Revisi pertama Perppu No 1/2014 terbatas pada Pasal 201 Ayat (1)
dan Ayat (2) guna mengubah jadwal Pilkada Serentak 2015 dan Pilkada Serentak
2018 menjadi Pilkada Serentak 2016 dan Pilkada Serentak 2017. Dengan revisi
ini, DPR dan pemerintah memiliki waktu untuk melakukan revisi kedua yang
lebih komprehensif pada masa sidang III dan masa sidang IV. Yang lebih
penting lagi, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota juga memiliki waktu
yang cukup untuk mempersiapkan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2016 dan
Pilkada Serentak 2017 sehingga penyelenggaraan pilkada akan lebih berkualitas.
Revisi kedua Perppu No 1/2014 lebih komprehensif karena
menyangkut semua pasal yang perlu disempurnakan. Perubahan kedua ini harus
memastikan bahwa waktu penyelenggaraan pilkada cukup delapan bulan: enam
bulan meliputi pendaftaran pemilih, pendaftaran calon (termasuk di dalam uji
publik atau pengenalan calon), kampanye, serta pemungutan suara dan
penghitungan suara di TPS; ditambah dua bulan untuk rekapitulasi penghitungan
suara, penetapan hasil, penyelesaian sengketa hasil pilkada, dan pelantikan.
Jika tahapan pelaksanaan Pilkada Serentak 2016 dimulai awal
Januari 2016, akhir Agustus 2016 calon terpilih sudah dilantik. Setelah
dilantik, calon terpilih masih sempat ikut membahas APBD perubahan, sesuatu
yang penting untuk menunjukkan janji kepala daerah baru.
Selain pengaturan uji publik atau pengenalan calon, beberapa isu
yang harus dibahas dalam perubahan kedua Perppu No 1/2014 adalah perapian
sistematika, penggunaan nomenklatur, susunan tahapan pelaksanaan, model
pencalonan (tunggal atau pasangan), pembatasan dana kampanye (ruang lingkup
dan bentuk sanksi), serta formula calon terpilih (cukup satu putaran atau
perlu putaran kedua). Waktu empat bulan mungkin terlalu singkat untuk
merevisi perppu secara komprehensif. Namun, jika DPR dan pemerintah sudah berkomitmen,
bisa diselesaikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar