Dendam
Putu Setia ; Pengarang ; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
08 Februari 2015
Tumben, Romo Imam mau saya ajak
bicara soal perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri.
"Mumpung Presiden lagi di luar negeri," kata dia. Saya awali dengan
pertanyaan khas presenter stasiun televisi, "Singkat saja Romo, kenapa
KPK harus dilumpuhkan?"
"Memang mengejar target.
Setelah Busyro Muqoddas habis masa jabatannya, pimpinan KPK tinggal
empat," ucap Romo. "Dengan empat pimpinan, apa pun yang dilakukan
KPK diduga tidak sah karena ada undang-undang yang mengatur pimpinan itu
harus lima. Eh, ternyata salah, karena kepemimpinan yang kolektif dan
kolegial tak harus lima. Maka Bambang Widjojanto diperkarakan. Menyusul
Abraham Samad dan Adnan Pandu Praja. Tinggal Zulkarnain sendiri, tentu tak
bisa lagi disebut kolektif kolegial, memangnya dengan siapa
kolektif-kolektifan? Tapi, ah, tanggung, Zulkarnain pun mau dihabisi."
"Secepat itu?" kata
saya. Romo tertawa. "Seperti sinetron kejar tayang. Pimpinan KPK harus
diganti. Dengan pimpinan KPK yang baru lewat Perpu, siapa tahu bisa mengubah
keputusan pimpinan lama, mencabut status tersangka untuk Komjen Budi
Gunawan," ujar Romo.
"Wow, ujungnya ke sana. Kalau
ternyata pimpinan KPK yang baru tak mau?" Pertanyaan saya itu dijawab
enteng oleh Romo: "Ya, dijadikan tersangka lagi, nonaktif lagi, diganti
lagi."
Saya melongo dan Romo melanjutkan,
"Undang-undang KPK, setiap ada pimpinan yang jadi tersangka, langsung
mengundurkan diri dan dinonaktifkan oleh presiden. Dijadikan tersangka itu
gampang. Ada pengaduan dari masyarakat ke polisi, lalu saksi-saksi diperiksa,
dan tersangka pun bisa dijatuhkan."
"Ah, gampang sekali,"
saya nyeletuk. Romo kembali tertawa: "Ya, memang gampang. Tugas polisi
cuma menyidik, nanti dilemparkan ke jaksa untuk penuntutan. Bahwa jaksa
bolak-balik mengembalikan berkas itu, bahkan bisa jadi ditolak lalu
dikeluarkan SP3, tak masalah bagi polisi. Proses bolak-balik berkas itu lama,
yang penting pimpinan KPK sudah tersangka."
"Cari pimpinan KPK yang
bersih." Ucapan saya itu langsung disambar, "Lo,
mana ada manusia yang bersih? Meski ada ratusan panitia seleksi bekerja
mengobrak-abrik rekam jejak calon pimpinan KPK, pasti ada lubangnya.
Misalnya, tiba-tiba ada yang melaporkan pimpinan KPK mencuri mangga saat
kecil, atau pernah lupa memakai helm saat remaja, atau pernah berfoto mesra
dengan wanita seksi."
"Itu dicari-cari,
kriminalisasi," kata saya. Romo berujar, "Kalau menurut mantan
Ketua MK Prof Mahfud Md., itu hal kecil yang dibesar-besarkan. Tapi, menurut
Kadiv Humas Polri Ronny F. Sompie, itu soal hukum. Polisi tak boleh
mengabaikan pengaduan masyarakat. Polisi tak ada gesekan dengan KPK, polisi
juga ingin KPK kuat, penyidik KPK kan juga dari polisi, ini soal hukum."
"Romo..." saya memotong,
tak sabar. "Apa masyarakat kita begitu bodoh menerima penjelasan seperti
itu?" Romo kaget oleh ucapan saya yang keras, lalu menjawab enteng:
"Ya, bagi jenderal polisi, masyarakat kita mungkin bodoh. Tapi orang
bodoh tetap lebih baik dari orang tak jelas."
Saya mengelus dada, sakitnya di
sini. "Saya ingin kata-kata bijak dari Romo, sebenarnya apa yang terjadi
sekarang ini?" Romo tenang saja: "Dendam. Inilah kepemimpinan yang
didasari dendam. Apa pun yang dilakukan seseorang, kalau masih didasari
dendam, akan melahirkan dendam pula. Satu-satunya cara mengakhiri kisruh ini
dan dendam tak berlanjut, amankan sang pendendam di kedua pihak. Jika perlu,
disingkirkan dulu. Tapi itu membutuhkan keberanian atasan. Dan itu yang tak
ada sekarang."
Saya kembali mengelus dada,
sakitnya di sini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar