Buku
Pacaran dan Darurat Perlindungan Anak
Akh Muzakki ; Dekan FISIP dan FEBI UIN Sunan Ampel
Surabaya
|
JAWA
POS, 09 Februari 2015
PADA 3 Mei 2014, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
membunyikan alarm dengan keras. Pesannya konkret: darurat perlindungan anak.
Dengan status darurat itu, bangsa ini diminta untuk memberikan perhatian
penuh kepada kehidupan dan nasib anak dari berbagai penodaan hak dasarnya.
Kini taraf darurat perlindungan anak layak dibunyikan
semakin lebih keras lagi. Beredarnya buku karya Toge Aprilianto berjudul Saatnya Aku Belajar Pacaran yang kini
mengharu-biru nurani publik harus menjadi momentum. Kasus beredarnya buku
yang dengan mudah dimaknai sebagai ajakan untuk mulai mempraktikkan perzinaan
di lingkungan remaja dan anak muda itu melengkapi catatan publik atas
serangkaian kasus penodaan terhadap hak hidup dan berkembang anak secara
layak pada satu sisi dan sederetan kasus pornografi yang mengorbankan hak
dasar anak tersebut.
Di buku itu terdapat bagian yang bertajuk Pacar Ngajak ML. Lalu, narasi yang
cukup panjang, antara lain menjelaskan bahwa hubungan seksual dibolehkan bagi
mereka yang sedang pacaran. Simak kutipan bagian itu: Sebetulnya, wajar kok kalo pacar ngajak kamu ML. Hal itu kan
alamiah-naluriah. Jadi, itu justeru pertanda kalo kamu dan/atau pacarmu masih
punya energi buat terlibat dalam proses reproduksi, yang memang sewajarnya
dimiliki oleh tiap makhluk hidup.
Tidak berhenti sampai di situ. Di paragraf berikutnya,
Toge Aprilianto memberikan ’’nasihat’’ dan bahkan ’’tuntunan’’ kepada mereka
yang sedang berpacaran agar bisa menerima ajakan untuk berhubungan badan. Ini
bunyi ’’nasihat’’ dan ’’tuntunan’’ tersebut: Jadi, kalo pacarmu ngajak ML, kamu boleh aja nurutin maunya dia, kalo
kamu sanggup.
Bangsa ini tidak boleh hanya sehat fisiknya. Sehat pikiran
dan perasaan melalui penumbuhan karakter yang luhur dan implementasi
praktisnya dalam kehidupan riil juga harus dimiliki. Atas dasar itu, ada hak
anak untuk tumbuh dan hidup secara layak serta luhur. Ruang privat dalam
kehidupan pribadi dan keluarga harus berkorelasi positif dengan kehidupan di
ruang publik. Sebaliknya, ruang publik harus mendukung penguatan nilai luhur
yang ditumbuhkan di ruang privat. Bila tidak, upaya perlindungan anak akan
memasuki tahap darurat yang sangat memaksa dilakukannya tindakan khusus.
Beredarnya buku Toge Aprilianto tersebut tidak boleh
dianggap enteng. Itu memperkuat tanda bahaya dalam praktik perlindungan anak
di negeri ini. Sebab, seks bebas sebagai bagian dari simbol kebobrokan moral
sudah dikampanyekan dan dinasihatkan kepada remaja dan anak muda bangsa ini.
Keadaan darurat sendiri dalam bahasa Belanda lebih dikenal
dengan istilah staat van oorlog en
beleg (SOB). Dalam bahasa Inggris, itu disebut pula dengan istilah state of emergency. Itu berarti
peringatan atas keadaan darurat lazim dikeluarkan saat kegentingan sudah
memuncak. Pengalaman berbagai bangsa dan negara menunjukkan kelaziman yang
dimaksud.
Istilah keadaan ’’darurat’’ itu bukan saja lazim digunakan
di dunia politik, melainkan juga sosial kemasyarakatan. Bukan saja untuk
kepentingan perbaikan tata kelola kepemerintahan yang kondisinya sudah
mengkhawatirkan, melainkan juga perbaikan kondisi sosial yang sudah
memilukan. Salah satu di antaranya, mengingatkan warga masyarakat agar
mengubah aktivitas hal tertentu menyusul besarnya dampak negatif yang telah
ditimbulkannya.
Buku karya Toge Aprilianto berjudul Saatnya Aku Belajar Pacaran boleh dibilang sudah di luar batas
kewajaran. Pertama, buku tersebut termasuk kategori bacaan remaja (teenlit). Karena segmentasinya adalah
kalangan remaja dan anak muda, buku itu seharusnya justru memberikan banyak
insiprasi bagi pencapaian prestasi. Banyak teladan hidup dalam kehidupan ini
yang bisa dijadikan materi perkembangan remaja dan anak muda ke arah yang
lebih baik.
Alih-alih berisi semangat dan teladan hidup, buku tersebut
memuat apa yang dalam tradisi sensor produk budaya pop audio-visual disebut
dengan sexual scene (tayangan yang
mengumbar seks). Pembaca yang berusia muda disuguhi dengan materi yang
mengeksploitasi seks. Atau dalam istilah buku itu ML (making love), berhubungan seksual. Itu sungguh di luar batas
kewajaran.
Kedua, dari sisi tindak tulisan yang ada pada content (isi) materi, buku Saatnya Aku Belajar Pacaran sudah
bukan lagi membiarkan isinya dicerna oleh pembaca dalam berbagai perspektif
yang berbeda-beda. Namu, itu sudah pada taraf mengajak dan ’’menuntun’’ para
pembaca remaja untuk melakukan satu perilaku buruk secara terfokus: berhubungan seksual di luar nikah. Dan
lebih ironis lagi, ajakan dan ’’tuntunan’’ tersebut disertai dengan argumen
pembenaran bahwa hubungan seksual di luar nikah adalah hal wajar sebagai
kebutuhan manusia.
Sungguh itu semua mencederai nurani publik dan semangat
bangsa ini untuk maju melalui revolusi mental. Dalam buku tersebut, bukan
pembebasan dari cengkeraman keterbelakangan prestasi yang dituntunkan,
melainkan keburukan perilaku melalui ajaran seks bebas. Itulah bentuk pornografi
kasar.
Hampir satu dekade lalu, Prof Bryan S. Turner, pakar
sosiologi agama, dalam seminar religious
commodification di Singapura pada 22–25 November 2005 mengingatkan akan
bahaya dua jenis pornografi: pornografi kasar (hard pornography) dan pornografi halus (soft pornography). Dalam perspektif Turner, pornografi kasar akan
bisa dikenakan jika terdapat unsur yang mempertontonkan terjadinya penetrasi,
baik seksual maupun bukan, secara transparan. Yang ditampilkan sudah menjurus
kepada eksploitasi seksual secara jelas dan kuat mengiringi ’’alur narasi
besar’’ sebuah produk yang dijual. Lebih-lebih jika eksploitasi seks tersebut
diiringi ajakan dan ’’tuntutan’’ seperti dilakukan Toge Aprilianto dalam
bukunya Saatnya Aku Belajar Pacaran
tersebut.
Di negara mana pun, termasuk Barat sekalipun, publikasi
yang bermateri eksploitasi seks bebas selalu masuk kategori bacaan/tontonan
untuk pembaca 18 tahun ke atas. Itu pun tidak diperjualbelikan secara bebas.
Ada pembatasan peredaran. Karena itu, tindakan serupa, termasuk pembatasan,
harus dilakukan terhadap peredaran publikasi seperti buku di atas demi
perlindungan hak dasar anak. Jangan menunggu menyesal dahulu, lalu baru
tersadar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar