Arus
Balik Hukuman Mati
Rafendi Djamin ; Direktur
Eksekutif HRWG ;
Wakil Indonesia untuk Komisi HAM ASEAN (AICHR)
|
KOMPAS,
02 Februari 2015
PERNYATAAN Presiden Joko Widodo yang enggan memberikan
amnesti kepada terpidana mati—dan diikuti oleh Kejaksaan Agung yang akan
mengeksekusi sejumlah terpidana mati—baru-baru ini merupakan langkah mundur
bagi Pemerintah Indonesia. Kemunduran ini dapat dilihat secara komparatif
dengan pemerintahan sebelumnya, ketika Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa
secara tegas menyatakan bahwa melihat kecenderungan masyarakat internasional,
Indonesia mengarah pada moratorium hukuman mati.
Di masa pemerintahan sebelumnya itu pula, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mampu menghentikan sementara hukuman mati selama empat tahun.
Ia juga memberikan grasi kepada sejumlah terpidana, di samping kepentingan
Indonesia untuk menyelamatkan sejumlah buruh migran di luar negeri yang juga
terancam hukuman mati.
Arus balik
”Arus balik hukuman mati” digambarkan sebagai kemunduran
Pemerintah Indonesia dalam menyikapi arus peradaban penghapusan hukuman mati.
Ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan di sini.
Dalam semua perdebatan tentang hukuman mati, setidaknya
mengarah pada dua pandangan utama, yaitu yang membolehkan hukuman mati dengan
syarat yang sangat ketat, baik secara substansi maupun prosedural. Jika
syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, hukuman mati dapat saja dibatalkan
atau diganti dengan hukuman berat lainnya. Dalam konteks ini, hukuman mati
adalah pilihan terakhir bagi negara untuk menghukum kejahatan-kejahatan luar
biasa.
Pandangan kedua melihat bahwa hukuman mati sudah tidak
laik lagi dijadikan alternatif hukuman, bahkan untuk kejahatan luar biasa,
karena bertentangan dengan keadaban dan peradaban kemanusiaan.
Dengan demikian, pendapat kedua cenderung untuk memaknai
hukuman sebagai upaya untuk membangun sebuah masyarakat yang lebih beradab
dan menitikberatkan pada ”efek jera”, yang dalam banyak kasus tidak semuanya
dapat dicapai dengan hanya memvonis mati kepada terdakwa.
Dari dua arus pemikiran di atas, saya membayangkan
bagaimana kita dapat menerapkan hukuman mati di tengah sistem peradilan yang
masih ”bolong- bolong”, tidak independen, dan sering kali masih diwarnai
dengan praktik suap-menyuap.
Hal ini memunculkan pertanyaan lain yang harus dijawab
pemerintah dan penegak hukum di Indonesia, yaitu sejauh mana proses
pengadilan, penentuan putusan, bahkan proses eksekusi terpidana mati dapat
dipercaya dan dipertanggungjawabkan? Apakah ada jaminan proses tersebut telah
betul-betul terbebas dari praktik suap-menyuap atau intervensi pihak tertentu
yang memang menghendaki hukuman mati itu dilakukan?
Untuk itu, di luar jawaban pertanyaan di atas, yang lebih
penting saat ini adalah bagaimana pemerintah dan penegak hukum mampu
memberikan fase renungan kepada semua elemen bangsa Indonesia sebagai jeda
untuk lebih mengintrospeksi kembali apakah hukuman yang diberikan kepada para
terdakwa tersebut. Apakah hukuman mati tersebut sebagai upaya ”balas dendam”
dan ”kemarahan” atau lebih maju lagi menitikberatkan hukuman pada
pertimbangan kesadaran penuh dan hati nurani.
Menurut hemat saya, dengan mengambil sikap moratorium
hukuman mati, bangsa Indonesia akan semakin mampu menentukan sikap
selanjutnya dalam memperlakukan mereka yang seharusnya mendapatkan hukuman
mati, yang pada akhirnya juga memajukan peradaban dan keadaban bangsa
Indonesia. Bukan justru berbalik arah, semakin menguatkan hukuman mati
sebagai gambaran dari ”kemarahan” dan ”balas dendam” terhadap mereka yang
bersalah.
Mengapa harus ditolak?
Secara filosofis, hukuman mati tidak cukup menjadi alasan
yang kuat untuk membuat efek jera. Sebab, dalam konteks Indonesia, jika
hukuman mati efektif memberikan efek jera kepada masyarakat, pasti tidak ada
lagi kejahatan-kejahatan serupa yang berlangsung, seperti narkoba. Jika
ternyata sebaliknya, sangat dimungkinkan adanya permasalahan dalam penerapan
hukuman mati itu sendiri.
Hukuman berat tetap penting dilakukan, bahkan harus,
tetapi dalam hukuman berat non-mati itu, negara masih memberikan kesempatan
kepada pelaku untuk membuka jaringan mafia kejahatan. Untuk itu, efektifnya hukuman berat kepada
para pelaku, yang tidak dapat dicapai dengan hukuman mati, harus dihubungkan
dengan kemampuan hukuman itu untuk mengungkap seluruh rangkaian kejahatan dan
memberantas jaringan mafia yang ada di kejahatan itu.
Berdasarkan beberapa cerita dari keluarga terpidana mati,
hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa putusan dan eksekusi mati justru
didukung oleh mafia besar yang tidak tersentuh hukum dan hendak memutus mata
rantai pengungkapan suatu perkara. Dalam beberapa kasus, para terpidana yang
hanya bertindak sebagai kurir atau eksekutor lapangan telah dipidana seumur
hidup di pengadilan tingkat I dan II, tetapi diberatkan dengan hukuman mati ketika
di tingkat akhir pro justitia.
Pertanyaannya kemudian, apakah pemberatan ini berangkat
dari pertimbangan nurani dan kejernihan pikiran para hakim, hasil refleksi
hakim yang menangkap kemarahan publik? Atau malah ada sisi lain, yakni karena
kuatnya desakan mafia- mafia kasus yang hendak menghentikan proses
pengungkapan kasus hingga ke akar dan pelaku intelektualnya?
Secara sosiologis-yuridis, putusan pidana mati tentu
memunculkan pula pertanyaan: apakah hukuman ini mampu menertibkan masyarakat
karena efek jeranya? Hal ini, setidaknya, mengusik dua hal penting yang harus
dipikirkan lebih lanjut.
Pertama, keberadaan doktrin agama telah memberikan
penekanan bahwa hukuman (mati) ditujukan agar sebuah kejahatan tidak diulang
(efek jera). Namun, di sisi lain, agama menyediakan ruang bagi pelanggar yang
divonis mati untuk bertobat dan masih terbukanya ruang pemaafan dari korban.
Dilihat dari kacamata hukum, pertobatan ini meletakkan
korban sebagai pengembang kejahatan yang dikenal dengan justice collaborator.
Kedua, secara sosiologis kemasyarakatan, ketika hukuman
mati disiarkan kepada khalayak dan efeknya hanya sesaat setelah eksekusi, hal
itu menunjukkan bahwa efek jera itu tidak terbangun dalam keadaban sosial
masyarakat.
Efek jera mendorong masyarakat menjadi lebih tertib dan
menaati hukum sehingga jika hukuman mati ternyata gagal untuk mengurangi atau
menghilangkan kejahatan serupa, praktik tersebut harus dilihat dan dievaluasi
untuk kemudian diubah. Sebab, hukuman yang berat harus dilekatkan dengan kemanfaatan
sosial yang jelas dan konkret.
Dari sini, hukuman mati sebagai ultimum remedium ternyata
tidak cukup membawa dampak positif pada tata laku masyarakat atau bahkan pada
perbaikan institusi hukum. Sebaliknya, hukuman mati yang menjadi jalan berliku
praktik suap dalam sistem peradilan di Indonesia ini harusnya dapat
dihentikan, secara de facto atau de jure, agar doktrin penghukuman
yang dianut oleh Indonesia betul-betul dapat membangun sebuah peradaban dan
tertib sosial.
Dengan kata lain, ia bukan sebagai perpanjangan tangan
para pihak yang justru hendak menghentikan proses penegakan dan penyelesaian
kasus-kasus kejahatan sampai ke akar-akarnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar