Apa
Kegunaan Mendasar Ilmu Sosial?
Muhammad Ridha ; Dosen Teori Sosiologi Modern dan
Postmodern,
Fakultas
Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar
|
INDOPROGRESS,
09 Februari 2015
TULISAN kecil ini sengaja dimulai dari sebuah pertanyaan
tentang kegunaan mendasar ilmu sosial (termasuk juga ilmu-ilmu keagamaan).
Kenapa? Ada dua alasan yang ingin dikemukakan di sini. Pertama, karena telah
kita lihat bahwa kesalahan membangun abstraksi-abstraksi dan hukum-hukum
dunia sosial telah membawa petaka bagi kehidupan sosial, yang di dalamnya
relasi-relasi sosial kemanusiaan kita telah dihancurkan. Bahwa ilmuwan sosial
kita yang teramat percaya pada kapitalisme, baik sebagai basis ilmu maupun
sebagai kebijakan, dan seluruh instrumen pembangunnya, seperti industri
media, ‘pengetahuan sosial untuk pengetahuan sosial’ dan logika kesejahteraan
yang sesat, telah menyebabkan hancurnya relasi-relasi sosial produktif
masyarakat.
Pandangan ini terutama dikemukakan oleh konstruksionisme
sosial bahwa latar belakang sebuah ‘pengetahuan sosial’ berfungsi
mendefinisikan dan membangun makna dalam kehidupan sosial. Konstruksionisme
sosial ini bisa dilihat pada bidang analisis wacana dan psikologi sosial.
Foucault, misalnya, penganut konstruksionisme sosial umum yang menyatakan
bahwa pengetahuan bukanlah sekedar refleksi atas realitas, kebenaran
merupakan konstruksi kewacanaan dan rezim pengetahuan yang berbeda menentukan
apa yang benar dan yang salah. Dalam terminologi Foucault (Marianne W Jurgensen dan Luise J Philips:
2009, 24), ada kedekatan antara pengetahuan dan kekuasaan. Baginya, dalam
kekuasaan dan pengetahuan itulah dunia sosial dihasilkan dan objek-objek
dipisahkan satu sama lain, dan dengan demikian mencapai
karakteristik-karakteristik individu dan hubungan-hubungannya satu sama lain.
Kedua, ilmu sosial meniscayakan sebuah metode yang
digunakannnya dalam merumuskan dan memberi defenisi dalam hukum-hukum sosial
tersebut. Metode atau cara-baca ilmu sosial itu sangat menentukan tesis
tentang kehidupan sosial. Bagi Hegel (Marx:
Kemiskinan Filsafat; 2004, 112), metode adalah kekuatan yang mutlak,
tiada duanya (unik), tertinggi, tak terhingga yang tidak dapat dilawan oleh
objek apapun juga; kecenderungan nalar untuk untuk mendapatkan dirinya
kembali, mengenal dirinya sendiri dalam setiap objek. Metode ilmu sosial
menentukan hasil dan abstraksi mengenai kehidupan sosial yang menjadi bidang
penelitiannya. Adalah hal mendasar bahwa metode ilmu sosial menentukan
abstraksi-abstraksi yang tepat.
Konteksnya di Indonesia
Kedua asumsi di atas akan coba dikorelasikan dengan
konteks ilmu sosial dan kehidupan sosial di Indonesia. Konteks pertama. Dalam
tulisannya, Menggugat Otoriterisme Di Asia Tenggara Perbandingan dan
Pertautan antara Indonesia dan Malaysia, mengenai kelas menengah di Indonesia
dan Malaysia, Ariel Heryanto (2004) mengemukakan sejumlah pandangan dari
teoritisi sosial mengenai terminologi kelas menengah yang sulit dirumuskan.
Salah satu pandangan yang dikemukakan Heryanto adalah pandangan yang menganggap
nihilnya kelas menengah di Indonesia. Nihilnya kelas menengah di Indonesia,
menurut pandangan ini, disebabkan oleh kuatnya wacana anti komunisme akibat
perang dingin dan terutama ‘empirisisme dosis tinggi’ dalam ilmu sosial di
Indonesia. ‘Wacana anti komunisme, yang
begitu dominan di kawasan ini selama perang dingin, telah ikut bertanggung
jawab atas miskinnya analisis kelas dalam kajian Indonesia dan Malaysia
dewasa ini. Situasi ini antara lain akibat dominasi empirisisme berdosis
tinggi dalam ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan di Amerika Serikat sesudah
perang dunia ke-II’, demikian tulisnya. Setidaknya ada dua inti
pernyataan yang dikemukakan yang menyebabkan nihilnya kelas menengah di
Indonesia dalam catatan Heryanto di atas: ‘wacana anti komunisme yang
demikian kuat’ dan ‘empirisisme berdosis tinggi dalam ilmu sosial di
Indonesia’.
Wacana anti komunisme memang dibangun dengan kuat oleh
Negara, terutama di Indonesia, setelah penumpasan gerakan ini pada paruh
kedua tahun 60-an. Ini kemudian dijadikan musuh bersama oleh 32 tahun rezim
Soeharto yang menyebabkan, meminjam Hilmar Farid, ‘menghilangnya analisis
kelas di Indonesia’. Sementara untuk asumsi mengenai ‘empirisisme dosis
tinggi dalam ilmu sosial’ bermaksud menjelaskan apa? Dalam tulisan ini, Heryanto
tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Tapi dapat ditangkap di sini bahwa
Heryanto menanggapi gejala ilmu sosial di Indonesia yang makin positivis,
bahwa empirisisme adalah ideologi ilmu pengetahuan yang berpusat pada
positivisme. Hal ini seperti dikembangkan kelompok Wina mengenai ilmu sosial
yang objektif, yang mengandaikan ilmu sosial sebagai ‘objektif’ dan berjarak
dari kepentingan manusia. Ilmu pengetahuan, yang diklaim, untuk ilmu
pengetahuan itu sendiri, tanpa tendensi dan tanpa ‘subjek’ di dalamnya.
Ilmuwan sosial dan politik Barat dari kubu liberal sendiri sebenarnya, dalam
analisa Simon Philpot dalam buku Meruntuhkan Indonesia Politik Postkolonial
dan Otoritariansme (2007: 25), sudah mengukuhkan klaim Heryanto mengenai
pengakuan ilmuwan tersebut bahwa studinya di Asia Tenggara dan terkhusus di
Indonesia adalah kategori-kategori analisis yang bersifat netral, objektif,
accessible dalam menjelaskan masyarakat yang dikajinya’. Hal ini menunjukkan
ilmu sosial konteks Indonesia, baik yang dilakukan Barat maupun ilmuwan
sosial Indonesia sendiri berlumur ideologi positivis. Dalam penjelasan
Fransisco Budi Hardiman dalam Kritik Ideologi Pertautan Pengetahuan dan
Kepentingan (1990; 29) mengenai ilmu sosial yang diusung oleh kelompok
positivis, merupakan negasi terhadap tendensi subjek dalam kajian ilmu sosial
tersebut. Dalam artian, ilmu pengetahuan sosial ‘objektif yang dikembangkan
oleh mashab Wina ini, adalah ilmu sosial yang mengembangkan pengetahuan
sosial sebagai pengetahuan itu sendiri dan abai terhadap realitas yang
dikajinya. Konsepsi inilah yang ditentang oleh mashab Frankfurt yang
mengembangkan teori kritik.
Ilmu sosial yang ‘objektif’ inilah yang menjadi ideologi
dasar pengembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia selama kekuasaan Orde Baru.
Baru saat reformasi bermunculan studi-studi dan pendekatan ilmu sosial yang
lebih kritis dan emansipatif. Hal ini terlihat didorong oleh lembaga-lembaga
swadaya masyarakat, yang di dalamnya berkecimpung ilmuwan dan aktivis sosial
yang peduli pada konteks sosial yang sementara mereka hadapi. Untuk konteks
ini beberapa LSM seperti INSIST, LBH, WALHI, JATAM, AMAN, Sayogyo Institute,
SPP dan yang lainnya telah mendorong diskursus kritis dalam ilmu sosial di
Indonesia. Meskipun dorongan ini belumlah cukup kuat untuk menggoyang
dominasi positivism dalam ilmu sosial Indonesia, namun cukup memberi dorongan
lahirnya pandangan kritis dan transformasi sosial di Indonesia.
Konteks kedua, mengenai metodologi. Metodologi d isini
dipadang secara luas sebagai pendekatan-pendekatan dan carabaca ilmuwan
sosial dan ilmu-ilmu sosial dalam mendekati masalah yang diteliti. Metode ini
akan menentukan abstraksi-abstraksi tentang dunia sosial. Bagaimana metode
positifis menentukan dan merumuskan sebuah analisis sosial dan bagaimana mashab
kritis merumuskan analisa terhadap sebuah konstruksi sosial.
Sikap positivis yang dianut oleh ilmu-ilmu sosial
mengandung pengandaian yang saling berkaitan. Setidaknya menurut gambaran
Fransisco B Hardiman (1990;24), pertama bahwa prosedur-prosedur metodologis
dari ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial itu.
Gejala-gejala subjektivitas manusia, kepentingan maupun kehendak manusiawi,
tidak mengganggu objek pengamatan, yaitu tingkah laku sosial manusia. Dengan
cara ini obyek pengamatan disejajarkan dengan dunia alamiah. Kedua,
hasil-hasil penelitian itu dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti
dalam bentuk ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis,
yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan
itu harus dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis
dan juga tidak terkait pada dimensi politis manusia. Ilmu-ilmu sosial,
seperti ilmu-ilmu alam, bersifat netral, bebas dari nilai.
Metodologi ilmu sosial positivis di atas bisa dipahami
sebagai kerangka dasar pengetahuan yang abai terhadap realitas. Dan hasilnya
bisa dilihat dari model-model penelitian dan teori-teori yang dilahirkan
darinya di Indonesia, yang selalu ‘tutup mata’ terhadap realitas yang makin timpang
dan eksploitatif. Ilmu pegetahuan yang hanya bergelut dengan dirinya sendiri,
dengan problem metodologis dan teoritiknya sendiri tanpa memperhatikan
konteks umum dalam masyarakat. Inilah musabab kelahiran ilmuwan-ilmuwan tanpa
basis sosial dan tanpa ikatan ideologis dan emansipatif terhadap masyarakat.
Di kampus-kampus dan lembaga-lembaga penelitian telah berjejer ilmuwan sosial
yang gagal mendiagnosa kekeliruan dalam relasi sosial masyarakat yang
menyebabkan ketimpangan struktur, pemiskinan dan hancurnya relasi-relasi
produktif masyarakat. Hal ini berbeda dengan teori kritik secara diametral.
Teori kritik secara umum dipahami sebagai upaya mengaitkan rasio dan
kehendak, riset dan nilai, pengetahuan dan kehidupan, teori dan praksis.
Dengan singkat dikatakan teori ini hendak menyusun suatu ‘teori dengan maksud
praksis’ (Ibid;54). Hal yang nista dalam ilmu sosial positivis.
Kegunaan Ilmu Sosial
Dengan penjelasan singkat di atas, apa yang bisa dijadikan
kerangka umum merumuskan kegunaan ilmu sosial? Atau seperti apa seharusnya
ilmu sosial mengambil standing position di tengah struktur sosial yang hancur
akibat meluasnya moda produksi kapitalisme ke seluruh ranah kehidupan ini?
Kegunaan ilmu sosial mestilah sebuah kegunaan praksis yang menggerakkan, mengadvokasi
dan menyelamatkan manusia dari tatanan sosial yang tidak adil!
Dalam Kemiskinan Filsafat (2004), Karl Marx dengan optimis
membaca masa depan ilmu sosial sebaiknya diarahkan. ‘Di ambang setiap
pengadukan kembali (reshuffling) masyarakat, kata akhir ilmu pengetahuan
sosial akan selalu berbunyi: ‘Le combat
ou la mort; la lute sanguinaire ou le neant. C’est ainsi que la question est
invinciblenment posee. (perjuangan atau kematian; pertempuran berdarah
atau kemusnahan. Demikian itulah masalahnya secara tanpa ampun dihadapi!),
demikian ungkapknya. Sebuah argumen optimistis yang mengarahkan bahwa ilmu
pengetahuan ke depan mestilah ilmu pengetahuan yang berpihak, emansipatif
yang berdiri tepat pada pihak yang tersisih oleh relasi sosial yang tidak
menguntungkan mereka dan ikut masuk ke dalam pertarungan. Tidak bersembunyi
di balik ‘tangan kotor’ ideologi objektif yang anti sosial.
Ungkapan Marx di atas menunjukkan logika dasar pemikiran
Marx mengenai kelas. Bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah perjuangan
kelas (class struggle). Dan Marx
menunjukkan seluruh pengabdiannya bagi pengembangan ilmu sosial yang
berpihak, pada kelas yang paling tertindas dalam seluruh karya-karyanya.
Nampaknya, bagi penulis, ilmu sosial semacam inilah yang dibutuhkan oleh
tatanan ilmu sosial Indonesia yang guyub dalam puja-puji struktur yang sedang
berkuasa, tanpa melihat jauh ke dalam dasar struktur sosial dan apa yang
menyebabkannya hancur. Wallahu a’lam bi
sawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar