Antara
Kasus BW, AS, dan Kasus AU
Ma’mun Murod Albarbasy ; Direktur
Pusat Studi Islam dan Pancasila FISIP UMJ; Fungsionaris Pimpinan Nasional
Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)
|
KORAN
SINDO, 04 Februari 2015
Dalam tiga minggu terakhir, publik disuguhi tontonan
”drama politik” yang berbalut hukum. Pertama, penetapan Budi Gunawan (BG)
sebagai tersangka terkait kasus rekening gendut sehari setelah Jokowi
menetapkan sebagai calon tunggal Kapolri. Kedua, ditangkapnya Bambang
Widjojanto (BW) sekaligus ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan sebagai
perekayasa saksi palsu Pilkada Kotawaringin Barat.
Ketiga, konferensi pers plt. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto
terkait pertemuan Abraham Samad (AS) dengan beberapa petinggi PDI-P berkenaan
rencana AS sebagai calon wakil presiden mendampingi Joko Widodo. AS memang
termasuk salah satu nominator cawapres untuk mendampingi Joko Widodo. Lantas
apa kaitannya dengan Anas Urbaningrum (AU)? Kalau menilik kasus yang dialami
BW dan AS tentu saja tak ada kaitan dengan AU.
Cara publik merespons kasus BW dan AS juga berbeda dengan
cara merespons kasus AU. Padahal fakta-fakta yang mengiringi kasus AU, mulai
saat ditetapkan sebagai tersangka sampai proses persidangan, nyaris tak
berbeda jauh dengan kasus yang dialami BW saat ditangkap Bareskrim. Munculnya
nama AS dalam pusaran ”drama politik” ini juga tak berbeda jauh dengan yang
dialami AU selama menjalani persidangkan, di mana AU didakwa oleh JPU KPK
-salah satunya- karena ingin menjadi presiden. Bedanya, AS dituduh
berkeinginan menjadi cawapres.
Yang Sama antara Kasus BW dan
Kasus AU
Sesaat setelah menjalani pemeriksaan di Bareskrim dalam
posisinya sebagai tersangka, BW membuat pernyataan pers. Ada beberapa poin
pernyataan BW yang menarik dan mengandung kesamaan saat AU ditersangkakan
oleh KPK. Dalam pernyataannya, BW tak lupa ”jualan anak”.
BW seakan ingin menunjukkan kepada publik bahwa anaknya
yang masih kecil dan tak tahu apa-apa harus ”dilibatkan” dalam kasus yang
menimpa dirinya. Atau BW ingin menunjukkan kepada anaknya kalau dirinya telah
diperlakukan semena-mena oleh Bareskrim. ”Jualan anak” ini cukup berhasil
menyita perhatian publik. Mungkin BW tidak berpikir bahwa saat AS selaku
Ketua KPK membocorkan sprindik AU, saat itu AU juga mempunyai empat anak yang
masih kecil-kecil.
Seperti halnya BW yang mempunyai anak, saat sprindik AU
dibocorkan, kira-kira bagaimana perasaan anak-anak AU saat mengetahui abahnya
dizalimi KPK melalui sprindik yang sengaja dibocorkan. BW juga menyoal
sangkaan Bareskrim yang dinilai tidak tepat. BW mungkin lupa ketika
menetapkan AU sebagai tersangka juga dengan surat dakwaan yang tak jelas: ”...dan atau proyek-proyek lainnya”.
Bagaimana mungkin, KPK menetapkan status tersangka
seseorang begitu kabur. BW dan pendukungnya menyebut bahwa penangkapan BW bak
menangkap seorang teroris, di mana puluhan Brimob dengan bersenjata lengkap
dikerahkan. Apakah BW tidak ingat ketika sekadar untuk menggeledah rumah AU,
KPK berlaku arogan dengan mengerahkan puluhan Brimob bersenjata lengkap.
Seperti pendukung BW, saat itu pun pendukung AU sempat
berkomentar yang sama terkait sikap KPK yang bak menggerebek teroris. BW juga
menyampaikan soal perlakuan Bareskrim yang dinilai intimidatif, termasuk
kata-kata tak patut yang keluar dari mulut petugas saat penangkapan. Apakah
BW lupa ketika menjelang penahanan AU, sikap AS dan BW juga arogan. Bahkan AS
sampai mengeluarkan pernyataan yang tak patut: ”Pastinya saya akan panggil ini Anas. Dengar ya kata-kata saya, saya
akan panggil Anas. Saya ingatkan kepada Anas lewat forum ini sekali lagi dia
tidak datang saya akan memerintahkan penyidik saya untuk memanggil paksa,”
(7/1/ 2014).
BW dan pendukungnya juga mempertanyakan soal tiga alat
bukti yang digunakan Bareskrim untuk menahan BW. Sama, ketika AU
ditersangkakan, pendukung AU pun mempertanyakan dua alat bukti yang digunakan
KPK. Hingga akhir persidangan, AU tak pernah tahu dua alat bukti dimaksud,
dan juga tidak tahu bukti terkait ”dan
atau proyek-proyek lainnya”.
Ketika BW jadi tersangka, pendukungnya memenuhi kantor
KPK, padahal BW ditahan tidak dalam kapasitas sebagai pimpinan KPK, tapi
sebagai pribadi yang terkena kasus hukum. Semestinya solidaritas dukungan
juga dilakukan di rumah BW. Ketika aksi dilakukan di gedung KPK itu menjadi
bias dan tidak netral. Akan timbul opini yang menyesatkan di bahwa seakanakan
pimpinan KPK tidak bisa salah.
Karenanya, kalau ada pimpinan KPK terkena kasus hukum,
maka akan dicap sebagai kriminalisasi KPK. Ketika AU menjadi tersangka,
pendukungnya pun kumpul di kediaman AU di Duren Sawit, bukan di Kantor Partai
Demokrat, simbol institusi yang dinilai turut andil dalam menersangkakan AU.
Kenapa para pendukung BW berjubel memenuhi gedung KPK?
Karena diyakini ada yang salah dalam menersangkakan BW.
Sama, pendukung AU pun meyakini ada yang salah dari KPK dalam menersangkakan
AU. Pendukung AU meyakini ada nuansa politik yang begitu dominan dalam penetapan
AU sebagai tersangka.
Amoral Pimpinan KPK Berpolitik
Tak berbeda dengan kasus BW, pemberitaan terkait
pernyataan Hasto Kristiyanto yang menyebut bahwa AS sempat bertemu dengan
petinggi PDI-P terkait pencawapresan AS, juga mempunyai kemiripan ketika AU
didakwa oleh JPU KPK bahwa AU berkeinginan menjadi presiden, sebuah dakwaan
yang disebut AU sebagai imajiner.
Ketika AS diyakini mempunyai niatan ingin jadi cawapres,
berkembang pernyataan publik yang bernada membela AS: ”sebagai warga negara, apanya yang salah kalau Samad berkeinginan
menjadi cawapres”. Ironisnya, ketika AU didakwa JPU karena ”ingin menjadi
presiden”, ”publik” diam membisu seakan mengamini dakwaan JPU.
Sebagian lainnya berkomentar sinis dengan menyebut bahwa
AU dinilai terlalu cepat dan ambisius ingin menjadi presiden. Ini rasanya
komentar publik yang tidak jujur. Komentar publik yang aneh. Mestinya
komentar ”apanya yang salah...” itu
disematkan ke AU bukan ke AS. Sebagai ketua umum partai, apanya yang salah
dan aneh kalau AU berkeinginan menjadi presiden? Sangat wajar AU berkeinginan
menjadi presiden.
Tidak ada yang dilanggar baik secara konstitusional maupun
moral politik. Justru harus dipandang aneh dan amoral ketika ketua KPK
berkeinginan menjadi cawapres. Itu ibarat orang laki-laki salat hanya dengan
memakai celana yang panjangnya dari pusar hingga di bawah lutut tanpa memakai
baju. Secara fikih tentu salatnya sah, karena aurat laki-laki memang antara
pusar dan di bawah lutut. Tapi pertanyaannya, apakah patut salat hanya dengan
menutup aurat yang minimalis?
Secara konstitusi, memang tidak salah AS berkeinginan
menjadi cawapres, karena itu hak setiap warga negara. Tapi secara moral,
apakah patut sebagai ketua KPK yang dalam menjalankantugas harusbetul-betul
mengedepankan integritas moral lalu berkeinginan menjadi wapres? Lantas di
mana integritas moralnya? Moralitas itu nilainya di atas konstitusi ataupun
aturan apapun, dan ini semestinya menjadi perhatian bagi pejabat-pejabat
publik .
Pelajaran Berharga
Sulit untuk mengatakan bahwa proses penetapan status
tersangka AU, BG, BW, dan mungkin sebentar lagi akan menimpa AS sebagai kasus
hukum murni. AU jadi tersangka setelah didahului dengan sprindik bocor. BG
tersangka hanya selang sehari setelah ditetapkan sebagai calon tunggal
Kapolri.
BW menjadi tersangka begitu mendadak saat mengantar
anaknya sekolah. Dan bila AS nantinya ditetapkan menjadi tersangka,
kemungkinan kasus pemalsuan dokumen akan dijadikan sebagai alasan menetapkan
AS sebagai tersangka, sesuatu yang selama ini dipandang lumrah dan sepele.
Kasus yang mendera AU, BW, AS, dan BG ini harus menjadi media introspeksi (muhasabah) bagi institusi penegak
hukum.
Ke depan, transparansi penegakan hukum, utamanya dalam
penetapan tersangka, harus dikedepankan. Institusi penegak hukum harus
menyampaikan secara terbuka alat bukti yang dijadikan sebagai alasan untuk
menersangkakan seseorang. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari tuduhan
adanya invisible hand dalam proses penetapan tersangka. Selain itu, hukum
adalah ranah publik, sudah semestinya publik juga mengetahui prosesnya.
Tidak sepatutnya proses hukum ditutup-tutupi. Bukan hanya
itu, penetapan status tersangka juga terkait dengan seseorang yang mempunyai
harga diri (marwah), mempunyai
sanak keluarga dan sahabat. Semestinya aspek keadilan harus benar-benar
dikedepankan, bukan karena nafsu atau orderan politik. Sehingga jangan sampai
ada penzaliman dalam penetapan seseorang menjadi tersangka.
Siapa pun, termasuk aparat penegak hukum, pasti juga akan
merasakan sakit bila dirinya mendapat perlakuan tidak adil proses penegakan
hukum. Dan biasanya seseorang memang baru akan merasakan arti ketidakadilan
bila yang bersangkutan sudah mengalami ”ketidakadilan”.
Ketika belum, mungkin sulit untuk bisa merasakan atau
berempati bagaimana menderitanya menjadi orang yang terzalimi secara hukum.
Sekarang BW, BG, dan -mungkin menyusul- AS sudah dan akan bisa merasakan
bagaimana rasanya menjadi orang yang terzalimi. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar