Antara CEO dan Kepala Daerah
Rachmat Hidayat
; Kandidat
Doktor Kebijakan Publik di Charles Darwin University Australia; Dosen FISIP
Universitas Jember
|
JAWA
POS, 13 Februari 2015
SAAT membaca artikel Arif Afandi di harian ini kemarin
(12/2), Pilkada dan Prospektus Kota, saya gembira karena di tengah gemuruh
polemik politik di Indonesia masih ada harapan dalam melihat dan memaknai
bagaimana pilkada seharusnya bermuara pada perbaikan daerah dan kualitas
kepemimpinan di daerah. Sejujurnya, saya juga mengamini ide yang dilontarkan
Arif Afandi, ’’Yang dibutuhkan adalah kepala daerah yang bisa menjadi CEO
dalam me-manage sumber daya kota dengan baik, dapat membuat prospectus daerah
yang menggiurkan sekaligus memikirkan keberlanjutan sistem politik lokalnya.’’
Saya agak tergelitik juga dengan ide seorang pemimpin
daerah harus bisa menjadi seorang CEO bagi daerahnya. Tergelitik bukan karena
ketidaksetujuan saya terhadap ide yang sebetulnya juga tidak terlalu baru
itu. Namun, saya lebih tergelitik karena pemikiran tersebut cenderung
menyederhanakan peran seorang kepala daerah dan kemudian mereduksinya dalam
sebuah peran CEO.
New Public Management
Inovasi-inovasi untuk mengadopsi ide-ide brilian sektor
swasta sebetulnya bukan barang baru di ranah pemerintahan. Sejak 1980,
gerakan mengadopsi best practice oleh pihak swasta sedang gencar-gencarnya
dilaksanakan di Amerika dan Inggris. Ronald Reagan di AS maupun Margaret
Thatcher di Inggris percaya bahwa birokrasi mereka lamban, tidak akurat,
tidak efisien, dan tidak efektif dalam melakukan tugas-tugas administrasi
publik. Karena itu, birokrasi harus disembuhkan dengan obat mujarab yang
idenya dipetik dari pihak swasta. Sedemikian derasnya gerakan tersebut di
sektor publik, sampai-sampai gerakan itu ditahbiskan sebagai gerakan New Public Management ’’NPM’’ (Hood,1991).
Adopsi secara mentah-mentah terhadap pendekatan NPM itu
bukan sesuatu yang sangat dianjurkan, mengingat ghirah NPM sejatinya adalah
meletakkan seorang warga negara sebagai seorang pelanggan (customer) dalam sebuah ideologi pasar.
Apa jadinya bila seorang kepala daerah di Indonesia berlagak sebagai seorang
CEO dalam mengelola kebijakan publik untuk daerahnya? Bisa lebih baik?
Walaupun tidak ada jaminan juga menjadi lebih jelek.
Peran CEO sejatinya sangat berbeda bila dibandingkan
dengan kepala daerah (administrator).
CEO berorientasi pada kepuasan pelanggan, sedangkan kepala daerah bertugas
melayani masyarakat, bukan pelanggan. Atas dasar itulah, pembangunan karakter
birokrasi daerah menjadi sangat penting karena tantangan pengembangan
karakter birokrasi terbesar sebetulnya bukan dari pihak rakyat sebagai
pemegang saham (saham demokrasi), melainkan dari parpol sebagai agen pemegang
amanat rakyat sesuai dengan konstitusi.
Parpol dan Birokrasi Daerah
Secara objektif, birokrasi pemerintah daerah di Indonesia
masih relatif baru dalam tata laksana manajemen pemerintahan daerah. Dengan
usia desentralisasi yang masih relatif muda, saya berbaik sangka bahwa
sejatinya birokrasi pemerintah daerah maupun kepala daerah di Indonesia masih
sibuk menimang-nimang dan memformulasikan karakter birokrasi yang tepat serta
sesuai dengan semangat lokalitas masing-masing daerah. Paige Johnson Tan
(2006) dalam studinya mengemukakan, sejak pascareformasi, sebagian besar partai
di Indonesia gagal dalam melembagakan pembangunan kapasitas internal partai
politik dalam proses demokratisasi di Indonesia.
Perlu diingat, salah tujuan desentralisasi (otoda) secara
politik adalah mendorong lahirnya benih-benih kaderisasi dan rekrutmen
politik di wilayah lokal. Artinya, otoda diharapkan bisa mencetak seorang
kepala daerah dari wilayah lokal yang dekat dan paham isu dan lokalitasnya.
Pada wilayah inilah umumnya partai politik di Indonesia gagal dalam mendorong
lahirnya kepala daerah yang mampu melakukan pembangunan birokrasi daerah yang
berkarakter.
Sudah rahasia umum, seorang kandidat kepala daerah yang
ingin mencalonkan diri dalam pilkada harus mengantongi surat rekomendasi dari
DPP. Hal itu tentu merupakan sebuah hambatan struktural yang akhirnya
menciptakan gap antara pengurus parpol di daerah dan wilayah provinsi maupun
nasional. Alhasil, sedikit banyak, partai politik di tingkat lokal juga ikut
menyumbang kegagalan rekrutmen politik yang mencerminkan kebutuhan daerah.
Sedikit bercerita mengenai praktik NPM di Australia.
Sekitar seminggu lalu, terjadi satu kemelut dalam skema politik lokal di
Negara Bagian Northern Territory (NT). Chief minister (setingkat gubernur)
dikenai mosi tidak percaya oleh partainya sendiri karena kebijakannya menjual
salah satu aset paling berharga dari pemerintah NT, sebuah perusahaan
asuransi yang sudah sangat mengakar dan memiliki premi kompetitif dengan
jangkauan jaminan asuransi yang sangat luas serta memahami karakter
masyarakat NT.
Sang chief minister berdalih penjualan aset itu diperlukan
untuk menjaga kesehatan perusahaan asuransi yang dimaksud. Sementara itu,
sebagian besar masyarakat berpikir bahwa perusahaan asuransi tersebut adalah
aset lokal yang harus dijaga. Walau akhirnya sang chief minister bisa
berkelit dari pemakzulan, kasus itu menunjukkan bagaimana pertautan
kepentingan antara partai politik dan karakter birokrasi yang dikehendaki
masyarakat.
Kemelut tersebut berakhir dengan cepat karena sebagaimana
ide dasar NPM, birokrasi akan terpapar pengaruh-pengaruh sektor swasta dalam
menjalankan peran kebijakan publiknya sekaligus menjadi subjek skema politik.
Karena itu, kemampuan mengelola atau mereduksi pengaruh politik menjadi
sangat penting bagi seorang kepala daerah yang mengimpikan birokrasi yang
cekatan, efektif, serta tahan banting dari tekanan kepentingan.
Saya pun jadi teringat sebuah artikel yang ditulis salah
satu teoretisi terkemuka di bidang administrasi publik, Dwight Waldo. Dalam
salah satu artikelnya, dia mengingatkan, sejatinya birokrasi publik itu hidup
dalam sebuah badai dan seorang administrator publik yang andal adalah orang
yang mampu mengendarai badai itu (riding
the wind). Ah, andai saja Dwight Waldo hidup di Indonesia, pastilah dia
akan paham bahwa badai yang dihadapi para kepala daerah di Indonesia itu
belum berlalu, bahkan setidaknya tawaran gagasan Arif Afandi tentang kepala
daerah dengan benchmark ala CEO
bolehlah menjadi bahan renungan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar