Seperti Apa Pejabat
Mengeksploitasi Gempa Cianjur untuk Pencitraan Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 27
November 2022
BAGI para politikus,
pejabat publik, dan lembaga negara di republik ini, bencana alam tak melulu
menyangkut tragedi. Mendapat sorotan luas dari khalayak, musibah justru
menjadi ajang aji mumpung bagi mereka untuk memoles citra. Gelagat itu tampak setelah
gempa bumi bermagnitudo 5,6 meluluhlantakkan Cianjur, Jawa Barat, pada 21
November lalu. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan menteri
berbondong-bondong melawat ke lokasi bencana gempa Cianjur. Sebagian dari
mereka datang menyerahkan logistik, membuat konten di kamp pengungsi,
kemudian mengunggahnya di media sosial. Ada juga pejabat yang
terkesan menyepelekan bencana. Hal itu misalnya dipertontonkan Wakil Ketua
Komisi Infrastruktur DPR Roberth Rouw. Politikus Partai NasDem itu justru
tertawa ketika pejabat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
bersembunyi di kolong meja saat lindu yang berpusat di arah barat daya Kota
Cianjur tersebut menggoyang Jakarta. Sikap narsistik dalam
merespons bencana tak cuma menjangkiti pejabat dan politikus. Penyakit
tersebut bahkan telah merasuki partai politik dan lembaga negara seperti
Kepolisian Republik Indonesia dan Badan Intelijen Negara. Agar terlihat
responsif dan solider terhadap korban lindu, institusi tersebut memasang
spanduk-spanduk raksasa di lokasi musibah. Mereka juga sangat masif
memproduksi dan menyebarkan konten tentang penanganan korban di media sosial. Penanganan bencana memang
sudah selayaknya melibatkan berbagai pihak. Namun para politikus, pejabat,
dan aparat seharusnya bergerak atas nama kemanusiaan. Sungguh
memalukan—sekaligus menyedihkan—bila ada politikus atau pejabat yang
menjadikan musibah sebagai kesempatan memoles dan mematut diri di hadapan
rakyat. Dalam situasi bencana,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) serta badan penanggulangan
bencana daerah (BPBD) merupakan pihak yang berwenang dan paling kompeten
mengurusi masalah di lapangan. Jika lembaga lain akhirnya dilibatkan, mereka
harus di bawah koordinasi BNPB dan BPBD. Yang kini terjadi di
Cianjur, aksi tanggap darurat masih sporadis dan kurang terkoordinasi.
Banyak pihak—baik perorangan, komunitas, partai politik, pejabat, maupun
institusi negara—menyalurkan bantuan tanpa perencanaan dan koordinasi yang
jelas. Akibatnya bantuan menumpuk di kantor-kantor pemerintah dan belum
terdistribusikan secara merata. Kegagapan para
pejabat—juga sebagian besar dari kita—dalam menghadapi bencana alam tak
terlepas dari minimnya pengetahuan dan keterampilan mengenai mitigasi
bencana. Hidup di tengah Cincin Api Pasifik yang rawan diguncang lindu, kita
umumnya tak pernah berlatih protokol pelindungan diri, apalagi membantu orang
lain yang menjadi korban bencana. Menyalurkan logistik ke
daerah yang terkena dampak gempa Cianjur bukan persoalan gampang.
Petugas BNPB harus menghadapi jalan yang terputus akibat lindu dan tanah
longsor. Mereka juga berkejaran dengan waktu untuk mengevakuasi korban yang
masih tertimbun puing-puing bangunan. Karena itu, komunikasi dan koordinasi
yang baik di lapangan menjadi keniscayaan. Politikus, pejabat, dan
partai politik bagus saja bila ikut membantu meringankan beban
korban bencana alam. Namun mereka harus menghentikan eksploitasi penderitaan
korban demi mendongkrak citra. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar