Ironi
Penggantian Hakim Konstitusi Editorial
: Administrator Media Indonesia |
MEDIA INDONESIA, 24 November 2022
MESKIPUN menuai banyak kritik, kemarin Presiden
Jokowi resmi melantik Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi di Istana
Kepresidenan Jakarta. Guntur menggantikan Aswanto yang dicopot oleh DPR. Pelantikan ini tertuang dalam Keputusan Presiden
Nomor 114 P Tahun 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Hakim
Konstitusi yang diajukan DPR yang ditetapkan 3 November 2022. Pencopotan Aswanto oleh DPR sebelumnya menuai
banyak kritik karena dinilai tidak sesuai prosedur sebab bertolak belakang
dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK (UU MK). Dalam konteks regulasi itu, secara materiel
Aswanto tidak sedang diberhentikan dengan atau tidak hormat, sedangkan runtut
formilnya juga bermasalah karena tanpa melalui mekanisme yang benar, yakni
pengiriman surat dari Ketua MK kepada Presiden untuk selanjutnya diterbitkan
keputusan presiden pemberhentian hakim konstitusi. Selain itu, pernyataan Ketua Komisi III DPR
Bambang Wuryanto tentang alasan pencopotan Aswanto kental dengan nuansa
politis. Ia menyebut kinerja Aswanto mengecewakan karena terlalu sering
membatalkan produk legislasi DPR. Padahal, salah satu tujuan pembentukan MK
ialah untuk mengawasi produk-produk legislasi, baik yang dibuat oleh DPR,
DPD, maupun presiden. Pengawasan ini dilakukan agar produk legislasi
ketiga lembaga tersebut sejalan dengan pasal-pasal konstitusi. Menjadi tugas
dan kewajiban para hakim MK-lah untuk mengkritisi produk legislasi tersebut. Di samping itu, sesuai kedudukannya, MK merupakan
salah satu lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan demi menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945) jelas menjamin eksistensi kemerdekaan lembaga kekuasaan kehakiman.
Pemaknaan kemerdekaan itu tentu harus ditafsirkan terbebas dari kepentingan
politik dari seluruh cabang kekuasaan, baik eksekutif maupun legislatif. Anehnya, Komisi III melalui wakil ketuanya,
Bambang Wuryanto, menganalogikan hubungan DPR dengan MK seperti hubungan
antara direksi perusahaan dan pemilik perusahaan. Selaku pemilik perusahaan, kata dia, DPR berhak
mengendalikan hakim MK. Sebaliknya, selaku bawahan DPR, putusan MK harus
selalu sesuai dengan kebijakan pemilik perusahaan. Menurut Bambang, tidak
boleh ada putusan yang diambil wakil DPR di MK yang bertentangan dengan
kebijakan DPR. Analogi ini jelas sesat pikir. Apalagi, UUD 1945
antara lain mengamanatkan prinsip-prinsip demokrasi checks and balances.
Artinya, setiap lembaga negara bekerja saling kontrol dan saling mengawasi
satu sama lain. Tidak ada lembaga yang lebih tinggi atau superior atas
lembaga lainnya. Kasus pencopotan Aswanto seharusnya tidak boleh
dibiarkan karena akan berpotensi menjadi contoh buruk bagi lembaga
pemerintahan di masa depan. DPR memang yang mengusulkan nama-nama hakim MK,
tapi mereka tidak berhak memberhentikan. Menurut ketentuan Undang-Undang MK
Pasal 23 ayat (4), pemberhentian hakim itu suratnya bukan dari DPR, tapi dari
MK. Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan, jika langkah DPR ini
dibiarkan, tidak menutup kemungkinan presiden di masa depan juga akan
melakukan hal serupa. Apa ini bukan sesuatu yang ironis? ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2822-ironi-penggantian-hakim-konstitusi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar