Dilema
Pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja Romli
Atmasasmita : Guru Besar Emeritus Universitas
Padjadjaran |
MEDIA INDONESIA, 23 November 2022
MAHKAMAH
Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah menyatakan bahwa
pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja)
bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu,
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak
dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun. Dengan
demikian, UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan
perbaikan pembentukan serta memerintahkan kepada pembentuk UU untuk melakukan
perbaikan, dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. Berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut, pemerintah telah berhasil
melaksanakan putusan tersebut dengan menetapkan UU pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baru, yaitu UU Nomor 13 Tahun 2022 pengganti UU Nomor
11 Tahun 2011 sebagai perubahan kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Perundang-Undangan. Selain tetap memasukkan metode penyusunan
naskah undang-undang lama, memasukkan metode omnibus yang dipandang baru
dalam sejarah pembentukan perundang-undangan di Indonesia selama 75 tahun
kemerdekaan. Dalam
Putusan MK Nomor 91 tersebut pemerintah dituntut untuk mengkaji/merumuskan
kembali makna dari partisipasi publik; tidak sekadar pertemuan demi pertemuan,
tetapi harus dalam tiga hal; yaitu the right to be heard, the right to be
considered, dan the right to be explained yang kemudian telah diwujudkan
dalam Pasal 96 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2022 yang menyatakan bahwa; 1)
Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam
setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. 2) Pemberian masukan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara daring
dan/atau luring. 3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau
mempunyai kepentingan atas materi muatan rancangan peraturan
perundang-undangan. 4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap naskah akademik dan/atau rancangan
peraturan perundang-undangan, diakses dengan mudah oleh masyarakat. Merujuk
ketentuan partisipasi masyarakat tersebut, dapat dijelaskan bahwa proses
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dengan UU Nomor 13
Tahun 2022, termasuk proses legislasi yang terbuka bahkan sangat terbuka jika
dibandingkan dengan negara tetangga. Di negara tetangga, kerahasiaan suatu
naskah RUU sangat dijaga rapat, kecuali jika sudah diundangkan karena
disediakan mekanisme pengujian suatu undang-undang. Kelemahan
mendasar dari ketentuan partisipasi masyarakat dalam UU Nomor 13 Tahun 2022
ialah tidak ada pengaturan rinci mengenai siapa, syarat-syarat apa, dan
bagaimana partisipasi tersebut dilaksanakan. Dengan demikian, ketiadaan
ketentuan rinci tersebut dikhawatirkan terjadi ketidakpastian hukum; berapa
kali dan berapa lama pemerintah diwajibkan menampung atau mengakomodasi
partisipasi masyarakat dalam suatu proses pembentukan undang-undang. Lebih
jauh dikhawatirkan akan terjadi 'anarki minoritas' terhadap mayoritas. Dalam
kaitan dengan RUU (revisi) UU Nomor 11 Tahun 2020 pemerintah telah berupaya
secara sungguh-sungguh mengantisipasi dan menghadapi tantangan global dan
dampaknya bagi kepentingan nasional. Tiga alasan utama diperlukannya metode
omnibus dalam masalah efisiensi dan efektivitas keberlakuan 79 UU yang
bersifat sektoral, tetapi strategis yang mengatur variasi berbagai bidang
kehidupan bangsa ini. Ketiga
alasan tersebut ialah, pertama, masalah perlambatan perekonomian nasional
sebagai dampak globalisasi ekonomi. Kedua, lemahnya daya saing ekonomi
Indonesia jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Singapura,
Malaysia, dan Thailand. Ketiga, belum meratanya pembangunan antardaerah di
Indonesia. Ketiga masalah tersebut mendorong untuk mempercepat penerapan
metode omnibus agar meningkatkan efisiensi dan efektivitas mencegah dampak
lebih buruk dari globalisasi ekonomi dunia yang kini tengah mengalami resesi
karena pandemi covid-19. Pemberlakuan UU Cipta Kerja (revisi) diperlukan
sebagai strategi pemerintah untuk mencegah Indonesia terjebak menjadi negara
krisis. Menghadapi
kemungkinan bahaya yang akan dihadapi, sikap dan kebijakan pemerintah
memerlukan pemahaman dan partisipasi masyarakat dengan kesadaran penuh
sebagai WNI membantu melancarkan pemberlakuan UU Cipta Kerja yang telah
diperbarui. Solidaritas dan kesungguhan pemerintah dan partisipasi masyarakat
diyakini dapat mendorong tujuan pemberlakuan UU Cipta Kerja. Pekerjaan
rumah pemerintah sebagai dampak Putusan MK Nomor 91 Tahun 2002 terkait dengan
proses pembahasan RUU Cipta Kerja revisi di Senayan ialah masalah waktu yang
relatif terbatas. Diharapkan pemerintah dan DPR telah menyepakati dan
menyetujui menyampaikan RUU revisi UU Cipta Kerja ke DPR paling lambat November
2023. Menghadapi
hal tersebut terdapat sejumlah kemungkinan, yaitu menggunakan prosedur biasa
atau dengan fast track legislation atau melalui peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (perppu). Tahun 2023 akan menjadi tahun politik yang
bisa menghambat pembahasan RUU Cipta Kerja. Sebagai gambaran, menyikapi RUU
KUHP yang direncanakan harus disahkan Desember 2022, sikap anggota DPR RI
agak pesimistis berhubung reaksi masyarakat sampai saat ini terhadap RUU
tersebut masih tampak ada penolakan. Dengan begitu, untuk amannya bagi
anggota DPR menghadapi tahun politik 2023, pembahasan RUU dipastikan
ditunda-tunda; sesuatu yang tidak kita harapkan bersama. ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/opini/539355/dilema-pemberlakuan-undang-undang-cipta-kerjaundang-cipta-kerja |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar