Jatah Ariel
Heryanto : Profesor Emiretus dari
Universitas Monash, Australia |
KOMPAS, 26 November 2022
Pemilihan umum (pemilu) hanya bermakna bagi
rakyat banyak jika ia membantu mengatasi masalah mereka. Misalnya masalah
kesehatan, pendidikan, hak pekerja, perumahan, atau kekerasan seksual. Pemilu
juga maha penting jika hasilnya berdampak pada perombakan konstitusi atau
kebijakan global seperti perubahan iklim dan hubungan luar negeri. Di negara mana pun semua masalah itu maha berat
untuk ditangani satu partai politik. Apalagi untuk satu politikus. Betapa
mubazir membahas elektabilitas calon presiden secara individual, jika mereka
bukan politikus terkuat dari salah satu partai terkuat. Untuk mencapai hasil terbaik dari sebuah pemilu,
masyarakat demokratis membuka adu tanding rancangan program kerja dari
berbagai partai politik. Tak penting siapa nantinya menjadi kepala
pemerintahan. Program dan komitmen partai pemenang akan jalan terus dengan
ketua yang sama atau berubah karena sakit, mundur atau mati. Di negara otoriter ada partai besar. Tapi di sana
tidak ada yang berani menekan penguasa partai untuk memperjuangkan
kepentingan masyarakat luas. Semua pihak dituntut memuja ketua partai. Kalau
pun ada program besar bagi bangsa, program itu bukan pilihan rakyat bebas.
Bukan hasil terbaik dari adu tanding sejumlah versi program kerja untuk masa
depan bangsa. Di negara demokratis nasib partai politik sangat
bergantung pada dukungan masyarakat yang bebas menentukan pilihan politik.
Demi meraih dukungan masyarakat, partai-partai berlomba menyusun program
kerja yang menjawab kesulitan hidup masyarakat. Sebaliknya masyarakat
membutuhkan partai yang mau dan mampu mewakili kepentingan mereka. Timbal
balik itu saling menguntungkan. Tentu saja tidak ada jaminan rencana kerja partai
akan terwujud di masa depan yang penuh ketidakpastian. Tapi dengan adanya
rencana kerja yang cermat, sebagian tidak kecil kerja untuk masa depan sudah
selesai. Terlepas dari hasilnya nanti, debat pemilu bisa mencerdaskan
kehidupan berbangsa jika berjalan terbuka, jujur dan berdasarkan fakta. Dalam debat itu yang diuji habis-habisan adalah
keunggulan dan kelemahan visi dan strategi kerja partai-partai peserta
pemilu. Bukan rangkaian kata-kata mutiara. Bukan adu slogan atau janji muluk.
Bukan debat penuh basa-basi. Pada hari pemilu rakyat memilih rancangan masa
depan bangsa yang ditawarkan partai peserta pemilu. Bukan sekadar memilih
seorang politikus populer. Walau tidak sempurna, semangat politik mirip
begitu pernah hadir di Indonesia pada tahun-tahun awal pasca-kemerdekaan.
Masa itu mungkin asing bagi generasi muda kini. Maklum masa itu berlangsung
pendek. Ibarat kuntum bunga layu sebelum berkembang. Lagi pula sejarah masa
lalu itu tidak banyak dibahas di sekolah. Apa yang dapat diharapkan dari pemilu yang
terfokus pada individu calon presiden? Puluhan juta pendukung bisa menghantar
tokoh populer menuju istana lewat pemilu. Seusai hari pemilu puluhan juta
pendukung itu tidak ikut masuk istana dan meringankan kerja presiden. Jika ia
bukan orang terkuat dari partai terkuat, ia akan kikuk di istana yang sudah
lama terkepung aneka kekuatan lain. Jika tak ingin digulingkan seperti Gus
Dur, ia harus melayani kepentingan berbagai pihak tersebut. Apa yang dapat diharapkan dari pemilu tanpa adu
program kerja yang berbobot secara mendalam, meluas dan menyakinkan dari
kontestan pemilu? Tapi mana mungkin ada partai politik mau menyusun program
kerja demikian, jika hal itu tidak pernah dituntut dari mereka? Lebih dari
setengah abad tak ada lagi adu visi dan strategi partai politik. Lebih dari
setengah abad masyarakat tidak terbiasa berharap kepentingan mereka akan
diwakili partai politik. Nyaris tak ada partai politik berlandaskan
ideologi kuat dan visi kemanusiaan sedunia yang terpadu dengan kepentingan
bangsa. Hampa visi dan ideologi, partai politik serba pragmatis. Siap
berkoalisi dengan siapa pun asal diberi jatah kekuasaan. Individu politikus
melompat-lompat pindah partai. Tak ada satu pun partai yang cukup besar didukung
masyarakat sehingga siap menjadi pemerintah demokratis tanpa berkoalisi.
Tidak ada partai besar berperan partai oposisi. Yang ada: banyak partai
politik, semuanya menderita defisit dukungan masyarakat. Semua partai berkiblat pada pucuk kekuasaan.
Bukan masyarakat bawah. Ketika pimpinan negara berganti, mereka bergegas
menyesuaikan sikap, demi jatah kekuasan. Jatah kuasa bersumber dari kedekatan
dengan penguasa di atas. Tak ada insentif bagi mayoritas partai untuk peduli
pada kepentingan masyarakat luas. Nyaman dengan status-quo, semua partai ingin
mempertahankan sistem yang ada. Yang berganti hanya pejabat negara, ibarat
giliran arisan eksklusif di kalangan elite. Persaingan antar-partai bukan
tidak ada. Tapi ini bukan persaingan membina kepercayaan rakyat. Ini
persaingan sesama elitedalam pembagian jatah kuasa. Dalam situasi demikian, wajar jika sebagian
masyarakat cuek pada politik. Sebagian mencibir partai dan pemilu. Yang lain
pasrah pada nasib atau pada kehendak Tuhan, Sebagian merindukan tokoh Ratu
Adil. Sisanya terhasut politik identitas. Tanpa adu program kerja, debat pemilu mudah
terpelosok pada soal agama, keturunan atau nasionalisme sempit. Modalnya
kutipan kotbah, slogan Pancasila, emosi dan prasangka. Bukan akal, wawasan
dan fakta. Melarang politik identitas tanpa menyimak penyebabnya seperti
melarang pamer gaya hidup mewah tanpa mengungkit penyebab semakin parahnya
ketimpangan kaya-miskin. Politik identitas menggejala global. Untungnya di
Indonesia politik identitas berbeda dari sejumlah negara lain. Di sini tak
ada partai besar yang fanatik memperjuangkan politik identitas dengan harga
mati. Di sini politik identitas hanya sebuah gaya musiman. Hanya marak ketika
ada eliteterancam kalah pemilu, lalu menghasut massa agar beringas. Di sini politik identitas merupakan alat gertak
sebagian eliteuntuk menaikkan daya tawar dalam bursa koalisi. Ingat kasus
pemilu dan pilkada yang lalu. Sesudah diberi jabatan, walau kalah pemilu, mereka
jadi anteng dan manis. Kini musim pemilu sudah menghangat. Bersiaplah. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/25/jatah |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar