Muhammadiyah
dan Politik: Dinamika yang
Kompleks Ridho
Al-Hamdi : Wakil Dekan Fisipol Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta; Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik
(LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah |
MEDIA INDONESIA, 25 November 2022
MUKTAMAR Ke-48 Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di Kota
Surakarta sukses terlaksana secara damai dan bermartabat. Muktamar kali ini
berbeda dari sebelum-sebelumnya, dilakukan hybrid dan bertahap (5/11 dan
18-20/11). Salah satu isu yang selalu muncul pada forum permusyawaratan
tertinggi di Muhammadiyah ini ialah bagaimana posisi dan peran organisasi ini
menghadapi Pemilu Serentak 2024? Meski sudah jelas mengambil posisi menjaga jarak
dari politik praktis (netral aktif), tetap saja pertanyaan itu muncul jelang
pesta demokrasi. Tulisan ini mencoba menggali sejarah dinamika yang kompleks
antara Muhammadiyah dan politik praktis, yang terbagi ke dalam dua fase: fase
kesadaran individual dan fase kesadaran institusional. Kesadaran individual Periode 1912-1971 adalah tahap pembentukan
kesadaran individual di kalangan elite, pengurus, aktivis, warga, dan
simpatisan Muhammadiyah, yaitu proses pencarian jati diri dan pergulatan
identitas dalam perjuangan politik. Kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah
di awal abad ke-20 tidak bisa terlepas pada pijakan kesadaran pembebasan dari
keterbelakangan, penjajahan, dan penetrasi Kristen. Ini periode pergulatan
diri di tubuh Muhammadiyah, dengan mencoba terlibat dalam perjuangan politik
dan bergabungnya sebagian elite ke Sarekat Islam (SI) sebagai jalur
mengembangkan dakwah ke berbagai daerah. Keterlibatan dalam perjuangan politik terus dilakukan
dari tahun ke tahun. Meski sudah keluar dari SI saat terjadi konflik disiplin
partai era 1920-an, sebagian elite Muhammadiyah mendirikan partai baru:
Partai Islam Indonesia (PII), pada 1938. Lalu, terlibat juga dalam pendirian
Gabungan Politik Indonesia (Gapi), Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), dan
Masyumi Jepang selama era prakemerdekaan. Setelah kemerdekaan pun,
Muhammadiyah tetap melibatkan diri dalam perjuangan politik dengan menjadi
anggota istimewa Masyumi (1945-1958), juga terlibat dalam pendirian dan
perkembangan Partai Muslimin Indonesia atau Parmusi (1968-1971). Pada fase ini, kesadaran individual di
Muhammadiyah untuk tidak berpolitik praktis sudah muncul di forum-forum
kongres/muktamar maupun di berbagai pertemuan, bahkan sejak awal pendiriannya.
Ahmad Dahlan menolak saran HOS Tjokroaminoto agar statuta awal Muhammadiyah
diarahkan ke gerakan politik. Begitu pula penolakan Ahmad Dahlan terhadap
permintaan Agus Salim, politisi SI, dalam sidang tahunan agar Muhammadiyah
menjadi gerakan politik. Bahkan, ketika Presiden Soeharto meminta
Muhammadiyah berubah menjadi parpol daripada merehabilitasi Masyumi, sejumlah
elite justru menolak, hingga lahirlah Parmusi sebagai jalan tengah. Mundurnya Fachrodin (murid Ahmad Dahlan) dari SI
akibat dari disiplin partai, serta berjuang kembali di Muhammadiyah, adalah
bentuk kesadaran kader untuk tidak berpolitik praktis dan menjadikan
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam terutama bergerak di bidang
pendidikan. Kesadaran individual ini terus muncul dari waktu ke waktu. Hanya,
itu belum terlembagakan sehingga belum ada keputusan resmi organisasi untuk
menarik diri dari panggung politik praktis selama fase ini. Kesadaran institusional Hampir enam dekade (1912-1971) Muhammadiyah
bergulat dalam pergumulan politik praktis sebagai bagian dari proses
pencarian identitas untuk menemukan jati diri. Ini bukan berarti Muhammadiyah
tidak bergerak pada bidang yang lain. Situasi saat itu memang mengharuskan
Muhammadiyah bersinggungan dengan politik praktis. Meski terkesan menceburkan
diri dalam pertarungan politik, tidak berarti tidak ada kritik internal. Adanya kritik terhadap keterlibatan Mas Mansur di
PII, desakan terkait pencabutan status keanggotaan istimewa Muhammadiyah di
Masyumi, dan penolakan awal Muhammadiyah untuk tidak menandatangani piagam
kesepakatan pendirian Parmusi, menunjukkan bahwa dinamika kritik di internal
tetap terjadi. Mundurnya sejumlah tokoh Muhammadiyah dari SI di era 1920-an
dan era 1930-an ketika terjadi disiplin organisasi, semua itu menunjukkan ada
kesadaran individual di kalangan anggota dan kader tentang tidak perlunya
Muhammadiyah secara organisatoris berpolitik praktis. Hanya, kesadaran itu
belum terlembagakan. Pascaputusnya hubungan organisatoris antara
Muhammadiyah dan Masyumi pada 1958, dan adanya kuliah Faqih Usman tentang Apa
itu Muhammadiyah? pada Kursus Pimpinan Nasional Tahun 1960, adalah benih awal
dari munculnya kesadaran institusional di Muhammadiyah, yang mengindikasikan
kesadaran yang terlembagakan dan menjadi kesepakatan nasional. Kesepakatan itulah yang harus diputuskan dalam
muktamar sebagai forum permusyawaratan tertinggi di Muhammadiyah. Akan
tetapi, situasi nasional era 1960-an belum memungkinkan untuk menyatakan
secara tegas bahwa Muhammadiyah tidak berpolitik praktis. Apalagi, meletusnya
Gestapu 1965 semakin mengharuskan Muhammadiyah berpolitik praktis sehingga
memiliki fungsi yang sama dengan parpol sebagai kekuatan politik riil dan
memiliki kedudukan di lembaga-lembaga pemerintahan dan parlemen. Benih-benih kesadaran institusional diperkuat
lagi dengan lahirnya Khittah Ponorogo 1969, yakni khittah perjuangan
Muhammadiyah yang lahir dan diputuskan dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah 1969
di Kabupaten Ponorogo, Jatim. Secara bahasa, kata khittah bermakna garis,
yang menunjukkan pemahaman tentang garis perjuangan dan garis kebijakan
organisasi. Karena itu, Khittah Ponorogo 1969 dapat dipahami sebagai garis
perjuangan dan garis kebijakan Muhammadiyah. Salah satu intinya ialah keyakinan Muhammadiyah
bahwa gerakan dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi munkar dapat dilakukan
melalui dua jalur, yaitu jalur politik kenegaraan (politik praktis) melalui
organisasi politik (partai) dan jalur kemasyarakatan melalui organisasi
nonpartai. Muhammadiyah menegaskan diri sebagai gerakan Islam yang bergerak
di bidang kemasyarakatan. Adapun untuk perjuangan politik praktis,
Muhammadiyah membentuk satu parpol di luar organisasi Muhammadiyah dan tidak
memiliki hubungan organisatoris dengan partai itu. Hanya hubungan ideologis,
serta tidak dibenarkan rangkap jabatan terutama jabatan pimpinan di antara
keduanya demi tertib pembagian kerja (Suara Muhammadiyah, 1970). Kendati demikian, Khittah Ponorogo belum bisa
diklaim sebagai awal kesadaran institusional karena masih terlibatnya anggota
Muhammadiyah dalam politik praktis di Parmusi. Meski, dalam perjalanannya,
Muhammadiyah dan Parmusi mengalami konflik yakni kudeta Naroka Cs dan
mengambil alih kepemimpinan Djarnawi Hadikusumo. Itulah yang membuat Haedar
Nashir yakin bahwa pengalaman politik di Masyumi dan Parmusi memberi
pelajaran berharga bahwa Muhammadiyah sejatinya memang tidak bisa
bergandengan dengan kehidupan politik praktis. Karena itu, muktamar di Ujung Pandang pada 1971
menegaskan jati diri dan identitas Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam yang
tidak memiliki hubungan apa pun dengan kekuatan dan parpol mana pun. Inilah
penegasan ikrar Muhammadiyah sebagai kesadaran institusional, yang pada
perkembangan selanjutnya dipegang terus (diperkuat dengan Khittah Denpasar
2002) hingga muktamar ke-48 di Kota Surakarta pada 2022. Atas dasar itulah, posisi Muhammadiyah tetap
konsisten, tidak terlibat sebagai bagian dari politik partisan, baik partisan
kepada parpol tertentu maupun kepada calon pemimpin eksekutif tertentu
termasuk konglomerat. Di tengah kompleksitas relasi dan politik yang dinamis
itu, Muhammadiyah senantiasa mendukung para kader dan anggotanya yang akan
maju sebagai kandidat di eksekutif maupun legislatif, tanpa harus membawa
simbol organisasi. ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/opini/539982/muhammadiyah-dan-politik-dinamika-yang-kompleks |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar