Kekalahan
di WTO dan Nasib Hilirisasi Tajuk
Rencana : Dewan Redaksi Kompas |
KOMPAS, 25 November 2022
Kabar buruk diterima 17 Oktober lalu: RI kalah
melawan Uni Eropa dalam sengketa di WTO terkait larangan ekspor nikel yang
diterapkan pemerintah sejak awal 2020. Namun, pemerintah sudah memastikan tak akan
mundur dari program hilirisasi dan akan tetap melanjutkan larangan ekspor
bijih nikel. Kekalahan itu sendiri sudah diantisipasi. Kita mendukung langkah pemerintah. Kebijakan
menghentikan ekspor bijih nikel yang diambil Presiden Jokowi dilandasi alasan
untuk menciptakan nilai tambah dan lapangan kerja seluas-luasnya di dalam
negeri. Kebijakan ini juga akan meningkatkan pendapatan pajak bagi negara. Selama puluhan tahun kita hanya mengekspor dalam
bentuk bahan mentah sehingga nilai tambah dan lapangan kerja justru dinikmati
negara lain. Ekspor komoditas turunan nikel melonjak sejak kebijakan itu
diterapkan. Dari hanya 1,097 miliar dollar AS tahun 2019 (masih dalam bentuk
bijih nikel), menjadi 16,5 miliar dollar AS (Januari-Oktober 2022). Bukan tak
mungkin tahun ini tembus 20 miliar dollar AS. Gugatan diajukan Uni Eropa (UE) karena
dihentikannya ekspor nikel dari Indonesia mengancam kelangsungan industri
baja tahan karat sebagai tulang punggung penting ekonomi UE. Forum banding
akan menjadi pertaruhan Indonesia. Kita meyakini pemerintah sudah mengantisipasi dan
akan memaksimalkan upaya untuk menang. Argumen kepentingan melindungi ekonomi
dalam negeri—khususnya penciptaan lapangan kerja dan mengatasi kemiskinan—dan
keberlanjutan program kendaraan listrik ramah lingkungan yang juga menjadi
kepentingan global, salah satu yang bisa dimainkan. Kasus sengketa nikel di WTO menjadi barometer
penting karena Presiden sudah menyatakan hilirisasi nikel akan diikuti komoditas
tambang lain, seperti bauksit, tembaga, dan timah. Bukan tak mungkin,
kebijakan ini juga akan menghadapi gugatan serupa dari negara yang tak terima
dengan kebijakan itu. Pasal 33 UUD 1945 sudah tegas menekankan, sumber
daya alam digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kebijakan
larangan ekspor bijih nikel dan hilirisasi merupakan langkah awal penting
dalam pembenahan tata kelola sumber daya alam yang sejalan dengan amanat
konstitusi tersebut. Sebagai negara berdaulat, ada yang tak bisa
dikompromikan jika menyangkut kepentingan dalam negeri dan amanat konstitusi.
Langkah pemerintah di sini sudah sangat benar. Namun, kita juga harus tetap mencermati
kemungkinan langkah retaliasi yang bisa dilancarkan UE yang bisa mengancam
akses ke pasar global. Kita tetap berkepentingan terhadap terbukanya akses ke
pasar global, penciptaan iklim investasi di dalam negeri, dan kesinambungan
program pemerintah, termasuk terwujudnya industri kendaraan listrik. Dalam kaitan ini, sikap Presiden Jokowi yang membuka
ruang kerja sama investasi atau konsesi lain dengan negara-negara pengimpor
bahan tambang Indonesia sangat tepat. Sebagai warga dunia yang baik serta
tunduk pada kesepakatan multilateral, kita harus mencari jalan terbaik, tanpa
mengorbankan kepentingan terbesar dalam negeri. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/24/kekalahan-di-wto-dan-nasib-hilirisasi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar