Runtuhnya
Pilar-pilar Negara Hukum Bivitri
Susanti : Dosen Sekolah
Tinggi Hukum Indonesia Jentera |
KOMPAS, 24 November 2022
Fiat justitia ruat caelum: tegakkan keadilan
meskipun langit akan runtuh. Adagium ini dijadikan pegangan utama bagi para
penegak hukum dalam upaya memperjuangkan keadilan. Namun, apa yang terjadi
apabila justru langit hukum runtuh karena pilar-pilarnya roboh? Pilar-pilar hukum sedang goyah belakangan ini.
Lihat peristiwa hakim konstitusi Aswanto diganti DPR dengan Guntur Hamzah, yang
sebelumnya Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi. Penggantian didahului
kontroversi karena prosesnya melanggar undang-undang. Berbagai protes
dilayangkan, termasuk kepada Presiden agar tidak menandatangani keputusan
presiden yang mengesahkan tindakan lancung DPR itu. Namun, Presiden
bergeming. Maka, seperti dikatakan anggota DPR sendiri, seorang hakim telah
diberhentikan karena putusannya dianggap melawan kehendak pembuat
undang-undang. Begitu ada hakim yang dicopot karena putusannya
tidak disukai, sesungguhnya pilar negara hukum runtuh. Sebab, ini bermakna
ada kontrol penguasa terhadap yudikatif, dengan mengancam mereka untuk
diganti jika putusannya tidak menyenangkan penguasa. Karena itu, di mana pun
di dunia, model pemberhentian di tengah masa jabatan ini dilarang keras
apabila suatu negara ingin mempunyai kekuasaan kehakiman yang independen. Berita buruknya, bahkan DPR sudah menyusun revisi
UU Mahkamah Konstitusi, yang intinya berisi legalisasi atas tindakan
”meng-Aswanto-kan” hakim. Revisi undang-undang ini, jika Presiden
menyetujuinya, akan segera mulai dibahas. Bukan tidak mungkin, tindakan
mencopot jabatan yang ditunjuk politisi jika tindakannya tidak sesuai dengan
keinginan akan menjadi pola baru dalam hukum tata negara. Kekuasaan kian menampakkan karakternya yang
sewenang-wenang dan tidak beretika. Namun, ini semua sulit dilihat langsung
karena dikuatkan dengan produk hukum dan proses politik legal. Ini ciri khas
autocratic legalism, yaitu cara pandang mengedepankan legalisme, tetapi
dengan karakter otokratis. Fenomena legalisme otokratik biasanya ditandai
pelemahan semua lembaga yang mampu mengawasi kekuasaan (Corrales, 2015;
Scheppele, 2018). Tiga institusi demokratis yang berperan mengawasi
kekuasaan dilemahkan: Komisi Pemberantasan Korupsi dengan revisi UU KPK,
oposisi di DPR dengan menggunakan aturan main berkaitan dengan koalisi, dan
masyarakat sipil lewat cara legal dan kekerasan fisik, serta siber. Tersisa
satu dan akhirnya tuntas kemarin: lembaga yudikatif. Dalam fenomena legalisme otokratik, banyak hal
berjalan sesuai hukum sehingga seakan-akan benar, tetapi sesungguhnya
melanggar prinsip negara hukum dan demokrasi. Berbagai undang-undang dibuat
untuk tujuan kekuasaan. Sebut saja UU Cipta Kerja yang terasa dampaknya kini,
saat banyak pemecatan dilakukan karena krisis ekonomi, sementara perangkat
perlindungan hak-hak pekerja dipangkas. Ada pula UU Informasi dan Transaksi Elektronik
yang membuat 332 orang dihukum karena menyatakan pendapat mereka pada Januari
2019-Mei 2022 (Amnesty International Indonesia, 2022). Sewaktu dilaksanakan,
undang-undang juga dilaksanakan dengan cara pandang kaku (positivistik)
sehingga hanya menguntungkan orang-orang yang memiliki akses pada penegakan
hukum. Parahnya, tak hanya legislatif dan eksekutif yang
turut campur dalam kemandirian kekuasaan kehakiman. Para hakim juga mencemarkan
sendiri profesi mereka. Dua hakim agung menjadi tersangka kasus dugaan
korupsi. Kita ingat pula dua hakim konstitusi dihukum karena korupsi, serta
perilaku advokat, jaksa, dan polisi kerap dikritik. Banyak pekerjaan rumah untuk mengatasi persoalan
penegakan hukum. Hal ini perlahan menggerogoti pilar-pilar negara hukum,
tetapi dapat diselesaikan dengan aksi kelembagaan. Masalah perilaku,
misalnya, dapat diatasi dengan penegakan hukum dan etik, sedangkan
pencegahannya lewat perbaikan sistem pengawasan, perekrutan, dan pendidikan
hukum. Persoalan berat terletak pada intervensi
kekuasaan. Kemandirian kekuasaan kehakiman ibarat tiang utama bangunan negara
hukum. Bayangkan banyaknya legislasi ataupun langkah politik yang mungkin
inkonstitusional, tetapi Mahkamah Konstitusi tidak lagi berani memutus secara
obyektif. Dalam hitungan pragmatis, jangan lupa, Mahkamah Konstitusi akan
menyidangkan sengketa hasil Pemilihan Umum 2024. Jangan sampai fiat justitia ruat caelum berhenti
menjadi semboyan dan hanya bisa menjadi bahan tertawaan. Jika tak dilawan,
barangkali langit memang akan runtuh dan keadilan tetap tidak tegak. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/23/runtuhnya-pilar-pilar-negara-hukum |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar