Mengapa IKAHI Perlu
Membenahi Perilaku Hakim Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 27
November 2022
TERPILIHNYA Yasardin
menjadi Ketua Umum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) periode 2022-2025 bisa
menjadi kesempatan buat memperbaiki peradilan di Tanah Air. Berbeda dengan
pendahulunya yang kebanyakan berasal dari kamar pidana atau perdata, Yasardin
berlatar belakang hakim agung kamar agama. Pergantian kepemimpinan ini menjadi
momentum para pengadil di berbagai lembaga peradilan untuk berbenah. Yasardin terpilih lewat
musyawarah yang digelar di Bandung pada 15-17 November lalu itu dengan 57
suara. Ia hanya unggul 4 suara dari Yulius, hakim agung dari kamar pengadilan
tata usaha negara, dan 16 suara dari Suharto, hakim agung dari kamar pidana.
Pemilihan yang berlangsung ketat ini diduga dilatari keinginan sekelompok
pengadil untuk bersih-bersih lembaga dan pegawai peradilan di Tanah Air. Mahkamah Agung diguncang
skandal suap hakim agung kamar perdata, Sudrajad Dimyati, pada September
lalu. Ia diduga menerima besel senilai Rp 800 juta setelah memutus kasasi
perkara Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Komisi Pemberantasan Korupsi sudah
menerungku Dimyati bersama lima pegawai Mahkamah Agung lain. Pada Kamis, 10
November lalu, atau lima hari sebelum musyawarah nasional Ikahi digelar, KPK
menetapkan hakim agung Gazalba Saleh sebagai tersangka dalam kasus yang sama. Yasardin belum
memiliki catatan kelam selama menjadi hakim, tapi prestasinya juga tak
terlalu menonjol. Dalam situasi ini, ia perlu berani membuat terobosan untuk
membenahi Ikahi yang kerap mendapat sorotan negatif. Pada 2017,
organisasi ini menolak peralihan pengawasan dan pemilihan hakim dari
Mahkamah Agung ke Komisi Yudisial. Hingga kini, pembahasan Rancangan
Undang-Undang Kehakiman yang mengatur ihwal itu masih terkatung-katung. Penolakan ini membuktikan
Ikahi masih resistan terhadap pengawasan oleh pihak luar. Padahal
pengawasan ini dibutuhkan agar hakim bersikap lebih profesional. Alih-alih
membina anggotanya yang melanggar kode etik, Ikahi kerap membela hakim
bermasalah. Pada 2013, Ikahi menolak pemecatan Daming Sanusi,
yang mengatakan “korban turut menikmati pemerkosaan” ketika mengikuti
uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung di Dewan Perwakilan Rakyat.
Padahal pernyataan Daming itu merupakan contoh buruk pandangan hakim
dalam kasus kekerasan seksual. Sudah saatnya Ikahi
membuka diri. Sebagai satu-satunya organisasi profesi di lingkup pengadilan,
Ikahi membawahkan sekitar 8.000 hakim. Selain menginduk kepada Mahkamah
Agung, Ikahi mesti menggandeng Komisi Yudisial untuk mengawasi dan membina
hakim. Selama ini mereka memposisikan Komisi Yudisial sebagai lembaga
eksternal yang mencampuri urusan rumah tangga hakim. Merujuk pada perannya,
Ikahi menjadi organisasi yang sangat berbeda dengan organisasi profesi lain.
Mereka turut memberi rekomendasi mutasi dan promosi para pengadil. Organisasi
ini boleh disebut ikut menentukan kualitas hakim-hakim di Indonesia. Itu sebabnya
organisasi yang berdiri pada 1951 ini mesti berfokus pada peningkatan
kualitas dan integritas hakim. Pemimpin baru Ikahi memiliki kesempatan untuk
memperbaiki kualitas pengadilan di Indonesia yang tercoreng berbagai skandal.
● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/167506/mengapa-ikahi-perlu-membenahi-perilaku-hakim |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar