Revolusi
untuk Pendidikan Merdeka Anselmus
JE Toenlioe : Wakil Ketua 1 STIPAK Duta Harapan
Malang, Jawa Timur |
KOMPAS, 25 November 2022
Negeri ini sudah merdeka 77 tahun, tetapi
pendidikan masih terjajah. Pendidikan negeri ini masih terjajah oleh sistem
yang dapat disebut sebagai penjara pendidikan. Sistem itu adalah siswa wajib
mempelajarai semua pelajaran di sekolah. Sistem lain yang yang sudah dihapus dua tahun
lalu adalah Ujian Nasional (UN) versi lama. UN versi lama pun ibarat penjara
pendidikan puluhan tahun. Meski sudah ditiadakan, dampak negatif dari
produknya masih terasa hingga kini. Konflik sosial yang mudah terjadi, serta
korupsi yang masih merajalela merupakan contoh dampak negatif tersebut. Kok bisa? Memang sangat bisa. Penjelasannya sebagai
berikut. UN versi lama menyebabkan siswa wajib mempelajari semua mata
pelajaran dengan capaian yang sama. Dengan demikian, meski siswa tidak cukup
berbakat, dan berarti tidak cukup berminat terhadap pelajaran tertentu, siswa
tetap diwajibkan untuk belajar dan mencapai target tertentu, yang telah
ditetapkan, dan seragam bagi semua siswa. Sistem demikian berdampak negatif kepada
pendidikan karakter. Katakanlah karakter jujur, bagaimana mungkin siswa dapat
belajar jujur secara efektif dan efisien jika ia harus berusaha berbohong
untuk menyiasati dampak negatif dari sistem yang membuatnya tidak nyaman.
Demikian juga pendidikan karakter lainnya, seperti menghargai sesama manusia
misalnya. Demikian juga para guru. Bukan hal baru jika
sejumlah guru cenderung merekayasa nilai siswa untuk pelajaran yang tidak
cukup dibakati dan diminati siswa. Rekayasa dilakukan agar nampak seolah-olah
siswa telah menguasai pelajaran tersebut. Pendidikan berbasis bakat minat Dalam diskusi saya dengan sejumlah pengelola
sekolah, terungkap pula dampak negatif dari penjara pendidikan sekitar 75
tahun. Sejumlah guru senior menikmati zona nyaman penjara pendidikian, dan
sulit diajak untuk melaksanakan merdeka belajar yang sedang digadang-gadang
oleh pemerintah. Mereka sudah merasa nyaman dengan UN versi lama
dan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), juga Rancangan Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang lengkap dan seragam untuk semua siswa. Mereka tidak
cukup tertarik untuk menerapkan konsep merdeka belajar dengan berbagai
tuntutan dan tantangan yang sedang diproses pelaksanaannya secara serius oleh
pemerintah. Meskipun demikian, mesti dikatakan di sini, waktu
sekitar dua tahun belumlah memadai untuk memperbaiki kerusakan pendidikan
sebagai dampak buruk dari sistem yang digunakan puluhan tahun. Selain itu,
harus dikemukakan pula di sini bahwa apa yang dilakukan pemerintah belum
cukup fokus ke masalah utama pendidikan negeri ini selama ini. Masalah utama yang dimaksud adalah pendidikan
tanpa basis bakat dan minat siswa. Secara teoritis, setiap siswa terlahir
unik dengan bakatnya masing-masing. Pendidikan memiliki fungsi utama
mengidentifikasi bakat siswa, menjadikannya sebagai minat, dan dari sanalah
pendidikan berlangsung. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa pendidikan
yang efektif dan efisien adalah pendidikan berbasis bakat dan minat siswa. Tentang pendidikan berbasis bakat dan minat
siswa, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pada Bab V, Pasal 12 Ayat 1 b tegas menyatakan: Setiap peserta didik pada setiap
satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan
bakat, minat, dan kemampuannya. Sayang seribu sayang, UN dengan berbagai
perangkat kebijakan yang mendukungnya justru menjadi penyebab utama bakat dan
minat siswa sebagaimana dikemukakan dalam UU Sisdiknas diabaikan dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional. Meski demikian, setahu saya, sejumlah sekolah
swasta dan lembaga pendidikan nonformal justru menjadikan bakat dan minat
siswa sebagai basis pengelolaan lembaga pendidikan mereka. Ada sekolah
misalnya, yang mendatangkan guru masak lulusan tata boga untuk pendidikan
khusus bagi siswa-siswa yang berbakat dan berminat di bidang tata boga. Revolusi pendidikan Sesungguhnya revolusi pendididikan tidak hanya
perlu dilakukan oleh guru, melainkan juga oleh para penanggung jawab sistem
pendidikan. Paling tidak, diperlukan tindakan revolusioner di bidang
pendididikan sebagai berikut. Pertama, dalam UU Sisdiknas yang baru (nanti),
pendidikan berbasis bakat dan minat siswa harus tetap tertulis secara
gamblang. Dengan demikian, para pengelola pendidikan dan guru memiliki
rujukan formal yang mengikat. Kedua, secara formal terdapat kebijakan yang
mewajibkan pengelola sekolah dan guru menerapkan pendidikan berbasisi bakat
minat dalam pembelajaran. Untuk itu, para kepala sekolah dan guru perlu
memegang hasil tes bakat siswa, untuk dijadikan rujukan dalam menjadikan
bakat tersebut sebagai minat, dan memulai pembelajaran dari sana. Ketiga, terkait dengan kedua, pemerintah perlu
menyediakan dana abadi untuk tes bakat dan minat siswa oleh pihak-pihak yang
berkompeten. Sejauh yang saya ketahui, tes bakan minat sudah bisa diadakan
sejak siswa masih di TK. Minimal di SD sudah harus diadakan tes bakat minat
dan dijadikan pegangan oleh setiap sekolah dalam mengelola pembelajaran. Keempat, perlu ditanamkan dalam diri berbagai
pihak yang terkait dengan pendidikan, prinsip tidak menyesali keterbatasan
siswa, melainkan mensyukuri kelebihan mereka, dan menjadikan kelebihan
tersebut sebagai tonggak utama pendidikan. Pihak-pihak yang terkait tersebut
misalnya guru, kepala sekolah, penilik sekolah, serta orangtua siswa. Salam revolusi pendidikan. Merdeka! ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/23/revolusi-untuk-pendidikan-merdeka |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar