Kematian
yang Indah Ketut
Sugiartha : Sastrawan tinggal di Tabanan |
KOMPAS, 17 November 2022
Pagi itu mendadak gaduh gara-gara tubuhku
didapati terbujur kaku di atas tempat tidur. Seisi rumah panik. Mereka
mengira telah terjadi sesuatu yang buruk pada diriku. Namun, agaknya mereka
tidak yakin kalau aku sudah mati. Karena itu mereka buru-buru memanggil
dokter yang tinggal tidak jauh dari rumah. Dokter yang telah menjadi sahabatku sejak kecil
itu lekas datang. Setelah memeriksa keadaanku, ia bilang aku tidak mati.
Sialnya, ia minta keluargaku segera membawaku ke rumah sakit. Sial kukatakan
karena aku paling tidak suka rumah sakit. Tempat itu sudah jadi momok bagiku
sejak aku mengalami hal yang sangat tidak menyenangkan ketika dirawat di sana
beberapa waktu yang lalu. Itu membuatku acap mengeluh dan bahkan tidak jarang
mengatakan lebih baik mati saja. Aku tahu kalau kemudian ada segelintir orang
menganggapku tidak waras. Mereka bilang aku sudah kelewat akrab dengan
kematian. Mereka tidak bisa disalahkan. Belakangan aku memang getol bicara
tentang kematian pada setiap kesempatan. Pernah kukatakan bahwa aku sudah
siap untuk mati dan aku menginginkan, kalau mungkin, kematian yang indah dan
tak terduga seperti kematian Lahiri Mahasaya. Dalam Autobiography of a Yogi
Paramahansa Yogananda mengungkapkan, yogi yang adalah guru dari gurunya itu
mengakhiri hidupnya dengan penuh kesadaran dalam posisi duduk bersila
beberapa menit setelah selesai memberikan ceramah. Aku tidak ingin kematian yang begitu lamban
sebagaimana dikeluhkan Arie Smith dalam ePilog-nya Putu Fajar Arcana. Tidak
beda dengan pelukis Belanda yang tutup usia di Bali itu, aku juga
mengharapkan kematian yang tidak lamban biar tidak terlalu membebani keluarga
yang kutinggalkan. Untuk itu mesti kusiapkan uang secukupnya. Aku
tidak ingin keluarga yang kutinggalkan sampai berutang setelah kematianku.
Asal tahu saja, orang Bali seperti diriku membutuhkan biaya kematian yang
hampir setara dengan biaya hidup untuk beberapa bulan. Tentu beda dengan
orang berada yang bisa menghabiskan uang yang dapat membiayai hidup
bertahun-tahun. Mungkin ada yang bertanya, tidakkah aku takut
menghadapi kematian? Dulu pernah. Saking takutnya aku bahkan berharap dapat
hidup selama mungkin alih-alih hanya ingin hidup seribu tahun lagi seperti
Chairil Anwar. Akan tetapi, sejak menyandang sebutan manusia lanjut usia dan
menyadari diri tidak cukup berguna lagi bagi orang lain, maka kematian mulai
menjadi bagian dari cita-cita. Menjadi peristiwa yang ditunggu-tunggu dengan
penuh harapan, apalagi setelah mengetahui bahwa kematian bukanlah akhir dari
segalanya. Aku telah membaca beberapa kitab yang membuatku
tahu dan percaya bahwa kehidupan dan kematian itu bagian dari siklus dari
tiada ke ada dan dari ada ke tiada. Demikian terus berproses menuju
kesempurnaan. Beberapa sistem kepercayaan menyebutnya tumimbal lahir. Dan
bila kelak aku dilahirkan kembali di planet bernama Bumi ini, aku berharap
akan menjalani kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Aku ingin menjadi orang yang lebih bermartabat.
Menjadi orang yang berjiwa besar dalam menghadapi segala tantangan hidup.
Menjadi orang yang dicintai banyak orang meski tetap dinyinyiri orang-orang
iri hati. Tidak gampang marah dan memperlakukan bawahan seenaknya jika aku
punya kekuasaan. Tidak seenaknya membunuh orang yang mengetahui rahasiaku,
dan seterusnya. Pendeknya, aku ingin menjadi orang yang mendekati sempurna. Sayangnya tidak ada yang dapat menjamin semua
keinginan mulia itu akan bisa terwujud. Tidak usah muluk-muluk dan tidak usah
terlalu jauh. Merealisasikan keinginan untuk mati saja, seperti saat ini,
tidaklah gampang. Tetapi aku tidak boleh menyerah. Cita-cita harus terus
diperjuangkan. Agaknya ada yang salah dengan upaya yang telah
kulakukan. Sepertinya kepasrahanku dalam menerima kematian belum total.
Dengan kata lain masih ada bagian dari diriku yang masih menginginkan
kehidupan. Jika konflik seperti ini masih ada, bagaimana upayaku bisa
membuahkan hasil? Upaya pertama yang langsung berhasil memang
jarang ada. Maka dari itu aku tidak akan membiarkan kegagalan membuat
langkahku surut. Seperti orang-orang sukses di bidang apa pun, aku juga harus
percaya bahwa setiap kegagalan adalah anak tangga menuju keberhasilan.
Seperti orang jatuh yang bangkit kembali, aku harus melakukan yang lebih baik
dari sebelumnya. Tidak masalah jika kematianku tidak seindah
kematian Lahiri Mahasaya. Toh aku bukan beliau yang dengan sesuka hati dapat
menghentikan napas dan denyut jantung. Mati sebagai orang Bali dengan cara
yang kupilih sudah begitu indah bagiku. Bukankah mati sebagai orang Bali saja sudah
indah? Itu keindahan. Keindahan yang tercipta dari penyelenggaraan upacara
ngaben yang berbalut seni budaya unik sehingga menjadi tontonan para turis.
Di tempat lain, kematian seseorang pada umumnya merupakan peristiwa duka yang
patut diratapi, tetapi ini beda. Malah dirayakan. Makanya tidak perlu heran
kalau almarhum mantan Menteri Parwisata, Pos dan Telekomunikasi Joop Ave
berpesan sebelum wafat agar upacara kematiannya diselenggarakan di Bali. Agar aku tidak dibawa ke rumah sakit, harus
kutunjukkan kepada keluargaku bahwa aku baik-baik saja. Maka perlahan kubuka
mata dan kuregangkan tubuh mirip kucing sedang menggeliat, tak peduli apa pun
reaksi mereka. Kubiarkan hidupku mengalir sebagaimana biasa
sebelum kuputuskan mempraktekkan lagi cara meraih kematian yang telah menjadi
obsesiku. Kupilih malam hari saat orang-orang sudah lelap dibuai mimpi agar
tidak ada yang mengganggu. Perlahan kubaringkan tubuh di atas tempat tidur.
Tanganku terjulur lurus di sisi kanan dan kiri tubuh meniru postur yoga yang
disebut savasana. Napas yang masuk dan keluar kuatur sehalus mungkin sambil
merapal mantra yang dirahasiakan para guru. Kubayangkan kondisi santai mulai mengalir dari
ujung-ujung jemari kaki, terus perlahan merambat naik melewati kedua telapak
kaki, pergelangan, betis dan lutut. Lalu menjelajahi paha dan ujung-ujung
jemari tangan, lanjut naik ke selangkangan dan pergelangan kedua tangan,
merayapi bokong dan perut bagian bawah. Perasaan mengambang mulai terasa ketika aliran
itu mencapai wilayah dada. Kupikir keinginanku akan segera terwujud. Maka
kubiarkan proses itu berlanjut, melampaui leher dan wajah. Saat mulai
menyentuh dahi, tubuhku terasa seringan awan. Aku merasa begitu bahagia. Tak
pernah aku mengalami sensasi seperti itu sebelumnya. Seakan punya sayap aku
melayang meninggalkan tubuhku yang terbaring damai di atas tempat tidur. Kunikmati pengalaman baru itu dengan
berputar-putar di sekitar kamar. Kuamati tumpukan buku referensi di dekat
laptop di atas meja sambil tersenyum sebelum kudekati rak buku di sisi
dinding yang tidak dapat menampung semua buku yang kumiliki, mirip dengan rak
buku di ruang tamu yang jarang dipakai menerima tamu. Kucoba menyudul
langit-lagit kamar tetapi kepalaku tidak meyentuh apa-apa. Setelah itu
pandanganku tertancap pada jam dinding. Jarumnya yang pendek menunjuk angka
tujuh… Tiba-tiba ada yang menggedor jendela kamarku
dengan keras. Aku melesat kembali ke dalam tubuhku dan terpikir olehku bahwa
aku akan gagal lagi. Ada saja yang menghalangi, umpatku dalam hati. Sambil menahan perasaan kesal kuabaikan gedoran
di jendela yang tak kunjung berhenti. Rupanya mereka jengkel karena tidak
kupedulikan sehingga gedoran itu dibuat semakin keras sampai menggetarkan
tempat tidurku. “Bangun…! Cepat keluar…! Gempa…!” Teriakan itu membuat mataku terbeliak dan
seketika teringat pada bencana gempa bumi beruntun yang pernah terjadi
bertahun-tahun lalu. Waktu itu aku sedang bertugas di ujung timur Pulau Bali.
Aku dan teman-teman sekantor sepakat untuk melakukan sesuatu yang berbeda
pada hari Minggu itu. Kami memutuskan bergabung dengan kelompok relawan yang
datang ke desa-desa terpencil untuk memeriksa keadaan dan siap memberikan
pertolongan jika diperlukan. Aku ingat bagaimana kami mengeluarkan seorang
perempuan tua yang tubuhnya gepeng tertindih kerangka dan atap rumah yang
rubuh. Keadaannya sangat mengenaskan. Tentu saja aku tidak mau mati seperti itu.
Karenanya serta-merta kutinggalkan tempat tidur dan cepat menuju pintu.
Setelah pintu terbuka, kulihat orang-orang di luar pada memandangku dengan
tatapan aneh. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/sastra/2022/11/16/kematian-yang-indah |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar