Anies
Baswedan, Mungkinkah Jadi Pemenang? Asep
Lukman : Pemerhati Politik |
MEDIA INDONESIA, 25 November 2022
BEBERAPA hari yang lalu, saya mengunggah suatu
tema, “Menilik peluang dan tantangan Ganjar Pranowo serta sepak terjang para
pendukungannya”. Kini, saya tertarik mengulas tentang Anies Baswedan sebagai
figur yang digadang-gadang banyak pihak akan menjadi kandidat kuat dan
bersaing dengan Ganjar Pranowo. Pertama, Anies merupakan satu-satunya figur
nonparpol. Namun, hebatnya, dia malah telah lebih dulu mendapat dukungan partai
politik. Karena itu, ia memilki kesempatan kampanye paling lama tanpa ikatan
jabatan dibandingkan kandidat yang ada, semisal Ganjar Prabowo, Prabowo
Subianto, Ridwan Kamil, dll. Dan, karena ia tidak memilki jabatan apapun yang
terkait dengan lembaga negara, Anies, hari ini, hanya rakyat biasa yang tidak
bisa dituduh oleh siapa pun sedang menggunakan fasilitas negara dalam
berkompanye. Kedua, Anies disimbolkan oleh masyarakat sebagai
orang yang kontra dengan penguasa sejak dirinya memenangkan kontestasi di
Pilkada Jakarta. Namun kini, ia mendapat dukungan resmi dari Partai NasDem,
yang notabene sebagai pengusung Ahok di Pilkada Jakarta dan sekaligus sebagai
partai koalisi propemerintah. Ketiga, Anies pun bukan sosok yang diidentifikasi
publik memiliki uang yang berlimpah. Namun hal itu telah dijadikan suatu
bukti oleh Surya Paloh untuk meyakinkan calon konsituennya, bahwa “tagline
politik tanpa mahar”, yang kerap dikumandangkan Partai NasDem bukanlah suatu
isapan jempol semata. Dan empat, setiap kunjungan Anies ke berbagai
daerah mendapatkan sambutan meriah oleh masyarakat pendukungnya, yang bukan
hanya berasal dari Partai NasDem, Demokrat atau PKS saja. Tapi juga
masyarakat umum yang memiliki latar belakang profesi, parpol, suku, bahkan
agama yang beragam. Melihat empat pencapaian tersebut, sungguh suatu
langkah awal yang cukup menggetarkan hati lawan. Hingga wajar, muncul
berbagai manuver yang dicurigai publik sebagai bentuk penjegalan, namun
dengan santai juga publik menyebutnya sebagai "kepanikan" dari kubu
contender karena tahu bahwa Anies memilki electoral tinggi. Lalu pertanyaanya, adakah peluang bagi Anies
Baswedan untuk keluar jadi pemenang? Dalam meraih kemenangan tentu banyak variabel
yang wajib dianalisa. Namun, melalui tulisan ini, saya hanya akan fokus
menakar pengaruh kekuasaan Jokowi, apakah bisa sebesar di Pemilu yang lalu,
jika sekarang digunakan demi mengondisikan kemenangan. Sementara, di kutub yang berbeda, ada
gelombang tuntutan masyarakat yang menginginkan perubahan. Maka, jika kedua
energi ini berhadap-hadapan secara “head to head” siapakah yang berpeluang
menjadi penentu kemenangan? Apakah keinginan masyarakat atau kehendak
kekuasaan? Diawali dari perhatian saya pada seberapa besar
sesungguhnya kekuatan yang pro-Jokowi dan masyarakat yang kontra. Jika berdasar pada hasil Pemilu 2019 yang lalu,
kemenangan Jokowi hanya selisih 10,5% di atas Prabowo, yang mendapatkan
68.650.239 atau 44,50% suara. Jokowi, sebagai kandidat yang notabene memiliki
kekuasaan, uang serta seabrek dukungan, rupanya hanya mendapat selisih
kemenangan jauh di bawah raihan SBY-Boediono sebagai petahana pendahulunya,
yang berhasil meraih suara 60,8% atau berjumlah hampir 22% lebih tinggi
dibanding dua kandidat lain sebagai rival. Sekalipun faktanya lebih tinggi, ternyata selisih
besar kemenangan SBY dibanding rival-rivalnya itu berakhir luluh-lantak
setelah sepuluh tahun ia menjadi presiden, atau tepatnya setelah dua periode
ia berkuasa. Partai Demokrat, yang meraih 150 kursi (26,4%) di DPR RI pun,
kini hanya masuk urutan ketujuh dengan perolehan suara sebanyak 7,77%. Banyak alasan teknis yang menjadi penyebab
pengaruh SBY dan elektoral Partai Demokratnya tiba-tiba menurun. Yang paling
mudah diingat adalah karena berbagai kebijakan tidak populis dari SBY,
khususnya dalam soal ekonomi, ditambah isu lainya dalam penegakan hukum. Sekalipun banyak dari pimpinan Partai Demokrat
dan bahkan ada keluarga SBY yang diseret ke meja hijau, semua itu rupanya
tidak mampu menghapus citra “tebang pilih” dan penegakkan hukum yang sarat
rekayasa. Namun, sesungguhnya ada faktor lain yang jauh
lebih kuat dari pada itu, yaitu dorongan masyarakat yang ingin melakukan
perubahan. Selain sepuluh tahun dianggap sebagai batas waktu
toleransi masyarakat dalam memberikan kesempatan pada penguasa, secara
psikologis masyarakat pada waktu itu sudah merasa muak dan bosan dengan figur
yang ada, yang dinilai begitu feodal dan elitis. Maka, dendam masyarakat pun seolah “gayung
bersambut” dengan munculnya sosok Jokowi yang merakyat, gemar blusukan, dan
bertampang polos, yang menurut perasaan masyarakat pada saat itu dicitrai
sebagai antitesa dari tokoh yang ada dan potensial prowong cilik. Dapat kita simpulkan, bahwa di balik kemenangan
Jokowi pada waktu itu, yang bersanding dengan JK dan memperoleh kemenangan
53,15% suara dalam Pemilu 2014 disebabkan oleh adanya dorongan kekuatan
alamiah, yaitu tuntutan perubahan yang senantiasa ada dalam diri masyarakat
tanpa bisa didikte oleh sorang penguasa siapapun. Kondisi itu hanya merupakan gambaran satu siklus
kekuasaan dalam waktu paling dekat dengan batasan satu dasawarsa. Namun,
sesunggunya yang terjadi, seluruh pergantian kekuasaan dalam bingkai negara
khususnya di Indonesia dari sejak NKRI Ini berdiri siklus itu selalu terjadi
dan silih berganti. Jika menengok ke belakang, setiap tokoh pengganti
yang dipercaya masyarakat untuk melakukan perubahan itu nyatanya selalu orang
yang berada di pihak yang kontra kekuasaan. Namun tanpa sadar namanya menjadi
besar karena terprovokasi oleh ulah para penguasa sebelumnya. Misalnya, Orde Lama yang gagal menciptakan kader
pelanjut namun malah membesarkan nama Soeharto sebagai tokoh Orde Varu yang
notabene adalah lawanya. Megawati dengan tindakan emosional dirinya tanpa
sadar telah membesarkan nama SBY dan begitupun Jokowi namanya besar karena
tidak lepas dari apa yang diperbuat SBY. Sampai di sini, saya akan mengajak kita menjawab
bebrapa pertanyaan sebagai bahan renungan. Apakah kondisi tersebut kini tidak sedang
berulang? Saat ini kondisi terasa semakin berat bahkan dibanding sebelumnya,
lalu masyarakat berharap bisa keluar dengan menuntut suatu perubahan kembali. Dan apakah mungkin jika beratnya suatu tekanan
ekonomi itu hanya dirasakan sebagain masyarakat yang tidak memilih Jokowi
saat pemilu kemarin, sedangkan pengaruh sistemiknya sama sekali tidak
berdampak pada masyarakat yang pro-Jokowi? Saya hanya ingin mempersilahkan kita semua
sebagai manusia yang memiliki akal dan rasa untuk merenungi
pertanyaan-pertanyaan di atas secara jujur dan berdasar pada fakta yang ada! Tantangan Anies Baswedan Sedikitnya ada tiga catatan yang perlu
diperhatikan, tentu dari sekian banyak kelemahan dan tantangan lainya. Pertama, Anies Baswedan sering diposisikan
sebagai lawan oligarki oleh para pendukungnya. Menurut saya, hal itu cukup
berisiko. Para pendukung yang senantiasa menabuh genderang
perang, tidak sadar bahwa oligarki dalam sebuah negara bagaikan serigala yang
wajib ada dalam hutan belantara. Sekalipun Anies adalah harimau Sumatra,
namun ia baru saja lahir, tidak realistis jika sekarang malah terus
dipertentangkan. Dan, saya kira, Anies pun menyadari hal demikian.
Di sisi lain kebencian masyarakat atas kemelaratan dan kesenjangan akibat
ulah para oligarki memang tidak bisa disalahkan. Di lain pihak, masyarakat pun wajib paham dan
bersikap lebih realistis, bahwa keberadaan oligarki adalah konsekuensi yang
pasti terjadi, dari sistem negara di mana pun di seluruh dunia ini. Kedua, soal mengindentifikasi pontensi diri.
Sejujurnya, prestasi Anies saat menjadi gubernur Jakarta adalah hal yang
membanggakan. Namun. perbincangan soal itu menjadi ramai karena memang
sengaja terus diwacanakan di tingkat elite, baik oleh yang pro ataupun yang
kontra. Adapun sikap masyarakat melihat keberhasilan Anies
di Jakarta, sekalipun turut bangga namun tetap proporsional. Masyarakat tahu
bahwa antara Jakarta dan NKRI itu sangatlah berbeda. Tupoksi gubernur dan
presiden itu tidaklah sama. Sementara simpati masyarakat pada Anies itu mulai
tertanam secara alamiah semenjak ia mengikuti kontestasi Pilkada Jakarta.
Jauh-jauh hari sebelum ia mampu membangun trotoar, JIS atau balapan mobil
listrik serta seabrek prestasi lain yang ia torehkan di Jakarta. Diperkuat dengan gaya Anies sebagai sosok yang
dapat tampil secara natural, elegan serta konstitusional. Umumnya masyarakat
mencitrainya sebagai sosok yang cerdas, berakhlak, religius, dan pandai
berorasi. Citra tersebut sama sekali tidak bersifat kamuflase namun murni
merupakan citra yang erat melekat pada dirinya. Dan, yang lebih penting,
umumnya masyarakat memandang Anies Baswedan bukan sosok penjilat yang mudah
tunduk pada keinginan kekuasaan. Dan terakhir, tantangan mencari pendamping atau
wakil presiden. Partai koalisi sebaiknya mampu bertindak bijaksana dan berbesar
hati dalam mengajukan calon wakil presiden untuk Anies Baswedan. Karena itu, pilihlah orang yang mampu menambah
suara kemenangan. Menjadi bagian yang dapat menghentikan potensi kecurangan
dan atau kelicikan, juga dapat menjadi lambang persatuan yang dapat
menghentikan pembelahan atau polarisasi paca Pilpres yang lalu. Jika sedikit menyoal polarisasi atau pembelahan
bangsa, diakui atau tidak, sebenarnya polarisasi mulai semakin menjadi sejak
kontestasi Pilkada Jakarta. Memang bukanlah Anies yang melakukanya, apalagi
jika ia dituduh sebagai pemicunya. Namun, Anies-Sandi merupakan pasangan yang
dengan tidak sengaja telah diuntungkan dan presentase 57,96% suara atau
3.240.987 pemilih. Karena itu, melalui Pilpres 2024 nanti, semua
pihak, apalagi Anies harus memiliki komitmen untuk kembali merajut persatuan.
● Sumber :
https://mediaindonesia.com/opini/540163/anies-baswedan-mungkinkah-jadi-pemenang |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar