Bagaimana Seharusnya
Memilih Panglima TNI Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 27
November 2022
SEBAGAI alat pertahanan
negara, Tentara Nasional Indonesia harus setia kepada konstitusi. Maka sudah
sepantasnya calon Panglima TNI adalah sosok yang mampu menjaga konstitusi.
Kesetiaan Panglima TNI adalah kepada negara, bukan pemerintah apalagi partai
politik. Kepada Dewan Perwakilan
Rakyat, Presiden Joko Widodo akan mengusulkan Kepala Staf Angkatan
Laut Laksamana Yudo Margono sebagai calon Panglima TNI. Yudo akan
menggantikan Jenderal Andika Perkasa yang segera memasuki masa pensiun. Penunjukan Yudo bukan
tanpa argumen. Sudah menjadi kelaziman Panglima TNI dijabat bergantian di
antara tiga kepala staf mewakili tiga matra: darat, laut, dan udara. Andika
adalah jenderal Angkatan Darat. Sebelumnya Panglima TNI dijabat wakil dari
Angkatan Udara. Tak dapat ditolak, ada
pula preferensi berdasarkan kedekatan calon dengan Presiden dan DPR. Yudo
ditengarai dekat dengan Istana. Ia juga pernah menemui Ketua Umum Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri—langkah yang bisa
dibaca sebagai permintaan dukungan. Yudo bukan tanpa pesaing.
Sebelumnya, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurachman, beserta
pendukungnya, berusaha “merapat” ke sejumlah pemimpin partai. Tapi pintu
Dudung tertutup karena ia pernah mengerahkan pasukan untuk memprotes anggota
Komisi I DPR, Effendi Simbolon, yang mengungkap hubungan jelek Andika dan
Dudung dalam rapat dengar pendapat DPR. Lepas dari soal rotasi
antar-angkatan, Yudo dan Dudung boleh-boleh saja bermanuver untuk merengkuh
tongkat tertinggi TNI. Namun hendaknya yang mereka ajukan adalah gagasan
untuk memperbaiki institusi, bukan beradu kesempatan untuk
menyenang-nyenangkan pemerintah dan DPR lewat langkah politik jangka pendek. Sebagai Panglima Tertinggi
TNI dan Kepolisian RI, Jokowi berwenang penuh menentukan pilihan. Tapi
wewenang itu hendaknya dipakai bukan untuk menjaga posisi politik Presiden,
melainkan untuk memastikan TNI berada pada rel yang benar. Ia harus meyakini
kandidat Panglima TNI kompeten dan berintegritas serta tidak membiarkan TNI
terseret ke ranah politik yang bisa merusak demokrasi. Kesalahan penunjukan Gatot
Nurmantyo sebagai panglima mesti jadi pelajaran. Diangkat menggantikan
Jenderal Moeldoko, Gatot menunjukkan sikap tidak netral dalam Pemilihan Umum
2019. Saat itu ia mendekati kelompok Islam politik yang tengah “membara”
tersebab ketegangan mereka dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama. Pengganti Gatot, Marsekal Hadi Tjahjanto, ditengarai membiarkan TNI
mendukung calon tertentu dalam pemilu dan sejumlah pemilihan daerah. Sebelum
menjadi Panglima TNI, Hadi adalah sekretaris militer Presiden Jokowi. Sama seperti Hadi,
Jenderal Andika Perkasa terpilih karena posisi politiknya. Ia dipromosikan
mertuanya, Abdullah Mahmud Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen
Negara. Selain dekat dengan Megawati, Hendro pendukung Jokowi dalam pemilihan
presiden lalu. Andika diangkat 13 bulan sebelum pensiun. Yudo hanya akan bertugas
hingga November 2023. Dengan masa dinas singkat, sulit membayangkan ia bisa
menuntaskan pekerjaan rumah TNI, dari memperbaiki kesejahteraan prajurit
hingga meningkatkan kualitas tentara. Ada pula soal hak asasi manusia dan
operasi keamanan di Papua. Tanpa sikap yang jelas dari pemerintah pusat,
sulit menduga ia bisa mengonkretkan perdamaian di Papua dengan mengedepankan
komunikasi sosial ketimbang operasi keamanan. Sistem rotasi sebenarnya
punya tujuan mulia. Sesuai dengan Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004,
dengan dipimpin secara bergiliran, TNI tidak didominasi oleh satu matra
seperti halnya terjadi di era Orde Baru. Dengan begitu, profesionalisme dan
imparsialitas TNI bisa dijaga. Masalahnya, pilihan
presiden sangat terbatas. Kerumitan ini muncul karena jenjang karier
berdasarkan sistem merit tidak menjadi acuan. Kepentingan politik dan
preferensi pada perwira tertentu sering kali menyingkirkan sistem merit di
dalam TNI. Akibatnya terjadi
penumpukan perwira di level menengah hingga jenderal bintang satu. Sebagai
jalan keluar, pemerintah memberikan pekerjaan dan posisi yang semestinya
diampu personel sipil kepada mereka. Langkah ini diyakini dapat pelan-pelan
menarik kembali TNI ke ranah sipil. Dalam tradisi militer yang
profesional di era demokrasi, pemilihan Panglima TNI hendaknya bukan
merupakan bagian dari negosiasi elite politik. Loyalitas Panglima TNI kepada
individu atau partai politik hanya akan menjadikan TNI sebagai pesuruh yang
terombang-ambing kepentingan politik jangka pendek. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/167503/bagaimana-seharusnya-memilih-panglima-tni |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar