Polemik
Pasal HAM Berat di RKUHP, Buat Apa UU
Pengadilan HAM? Fatimatuz
Zahra : Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 20 November 2022
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (KontraS) mengkritik draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (RKUHP) terbaru. Poin yang disorot terkait pengaturan tindak pidana
yang berat terhadap HAM yaitu genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan
yang diatur dalam Bab Tindak Pidana Khusus yaitu pada Pasal 600 dan Pasal 601
RKUHP. Pokok permasalahan yang disampaikan KontraS,
salah satunya adalah terkait pengurangan masa hukuman maksimal bagi pelaku
pelanggaran HAM berat. Pasal dalam RKUHP justru lebih rendah dibandingkan UU
Pengadilan HAM. “Jika UU Pengadilan HAM mengatur ancaman pidana
maksimal 25 tahun bagi pelanggaran HAM berat, maka RKUHP hanya memberikan
ancaman pidana maksimal 20 tahun bagi tindak pidana yang berat terhadap HAM,”
kata Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti dalam keterangan tertulis, Rabu
(16/11/2022). Ketentuan tersebut, kata Fatia, turut
mendegradasi kekhususan dari pelanggaran HAM berat sebagai tindak pidana
paling keji karena menyamakan ancaman hukumannya dengan tindak pidana lain. “Pembunuhan, pemusnahan, pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan
kebebasan fisik lain yang melanggar aturan dasar hukum internasional, atau
kejahatan apartheid, dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun,” demikian bunyi Pasal 601 a RKUHP sebagaimana dilihat Tirto, Kamis
(17/11/2022). Sementara itu, kata Fatia, masukan-masukan
terkait pasal pelanggaran HAM berat yang telah ia sampaikan kepada DPR nyaris
tak mendapat respons. DPR, kata Fatia, hanya menyebut penyusunan RKUHP
merupakan upaya rekodifikasi atau pengumpulan ulang hukum-hukum di berbagai
wilayah untuk menghasilkan kitab undang-undang. “Satu-satunya respons terhadap catatan kritis
KontraS tersebut adalah ketika anggota Komisi III menyatakan bahwa pengaturan
terkait ancaman hukuman maksimal pada tindak pidana yang berat terhadap HAM
dilakukan untuk semangat 'rekodifikasi' hukum pidana," ujar Fatia. Padahal, ia menilai tak ada kaitan antara
semangat rekodifikasi yang disebutkan dengan dimasukkannya tindak pidana yang
berat terhadap HAM ke dalam RKUHP. Kemunduran Penegakan HAM di Indonesia? Kritik senada dilontarkan Ketua Perhimpunan
Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani. Ia menyebut, langkah
pemerintah dan DPR memasukkan pengaturan tindak pidana HAM berat ke dalam
RKUHP adalah sebuah kemunduran penegakan HAM di Indonesia. Salah satu indikasinya adalah pengurangan ancaman
hukuman pidana bagi pelaku pelanggaran HAM berat menjadi 20 tahun, padahal
berdasarkan UU Pengadilan HAM dapat diancam hukuman pidana hingga 25 tahun.
Menurut Julius, pelanggaran HAM berat adalah perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan oleh negara. “Ketika dia dinyatakan terjadi pelanggaran HAM
berat, maka pelaku utamanya adalah negara, sarananya instansi negara,
peralatannya adalah personil-personil dari negara. Dari situ kita memandang
bahwa perbedaannya adalah meringankan ancaman hukuman bagi tindak pidana yang
ada negaranya sebagai pelaku,” kata Julius kepada reporter Tirto pada 17
November 2022. Julius menambahkan, “Ternyata di situ doang
perbedaannya. Intinya dia justru tujuannya melonggarkan ancaman terhadap
pelaku pelanggaran HAM berat.” Selain itu, kata Julius, ada permasalahan lain
dalam upaya perancang RKUHP memasukkan pengaturan pelanggaran HAM berat ke
dalam RKUHP. Julius menyebut asas legalitas pelanggaran HAM berat berbeda
dengan asas legalitas tindak pidana biasa. “Perbedaannya adalah di asas legalitasnya. Jadi
itulah kenapa kemudian dia tidak bisa dijadikan satu rumpun. Asas legalitas
terhadap pelanggaran HAM berat itu berlaku surut, dia boleh kejahatan sebelum
UUD diamandemen, itu amat sangat diperbolehkan. Sedangkan untuk tindak pidana
umum dia tidak berlaku surut asas legalitasnya,” kata Julius. Alih-alih mendegradasi pelanggaran HAM berat
dengan memasukkannya ke dalam RKUHP, kata dia, pemerintah dan DPR semestinya
dapat meng-upgrade sejumlah instrumen penegakan HAM mulai dari Undang-Undang
HAM, Undang-Undang Pengadilan HAM hingga mengakomodir komponen pelanggaran
HAM di era digital seperti buzzer. “Negara-negara dunia sudah ke sana, kita malah mundur
memangkas ancaman hukuman,” kata Julius Komnas HAM Pernah Memperingatkan Pada Juli 2022, Komnas HAM sempat menyinggung
persoalan campur baur pidana umum dan pidana khusus dalam RKUHP yang sedang
dibahas pemerintah dan DPR, termasuk terkait pengaturan pelanggaran HAM
berat. Munafrizal Manan yang saat itu masih menjabat
Wakil Ketua Internal Komnas HAM menyebut, idealnya KUHP melingkupi pidana
umum yang mengatur norma-norma secara umum. Sedangkan RUU KUHP terbaru
ternyata menggabungkan pembahasan pidana umum dan pidana khusus. Konsekuensinya, kata dia, terdapat sejumlah
undang-undang terdampak dengan penggabungan ini, yang menyebabkan beberapa
muatan materinya dicabut dan tidak berlaku. “Kalau ini disahkan dengan hal-hal di atas
[penggabungan pidana umum dan khusus], maka kita harus bersiap untuk
menghadapi kekaburan pidana umum dan pidana khusus,” kata Munafrizal
sebagaimana dilansir dari laman resmi Komnas HAM. Munafrizal menyebut, RUU KUHP mengubah penyebutan
pelanggaran HAM berat menjadi Tindak Pidana Berat Terhadap Hak Asasi Manusia.
Meskipun perubahan penyebutan tersebut secara teknis tidak bermasalah, tapi
ada konsekuensi normatif yuridis bila ini disahkan, yakni perubahan UU No. 26
tahun 2000. Ada beberapa ketentuan UU 26/2000 yang dicabut
menurut RUU KUHP ini. Di antaranya Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 36 sampai
Pasal 41. Pasal 8 UU 26/2000 yang mengatur tentang kejahatan genosida
kemudian dialihkan dalam Pasal 602 RUU KUHP. Pasal 9 UU 26/2000 yang mengatur
tentang kejahatan terhadap kemanusiaan kemudian dialihkan dalam Pasal 603 RUU
KUHP. “Dengan dicabut dan tidak berlakunya ketentuan
Pasal 8 dan Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000, dua jenis pelanggaran HAM yang
berat dalam UU No. 26 Tahun 2000 menjadi tidak ada lagi, harus merujuk pada
KUHP,” kata Munafrizal. Selain itu, RUU KUHP ini juga mengubah ketentuan
pidana dengan penurunan maksimal pemidanaan dan penurunan minum pemidanaan.
“Hal ini berpotensi mereduksi tindak pidana berat terhadap HAM sebagai the most
serious crime,” kata Munafrizal. Upaya Rekodifikasi dan Konsolidasi Hukum Pidana Redaksi Tirto telah berupaya menghubungi anggota
Komisi III DPR RI, yaitu Arsul Sani dan Santoso untuk meminta penjelasan
terkait kritik KontraS di atas. Sementara Humas Kemenkumham, Tubagus Erif
menyarankan agar menghubungi Koordinator Penyusunan RKUHP dari Kemenkumham,
Oswald. Namun, hingga artikel ini dirilis, belum ada respons. Sementara Chairul Huda, ahli hukum pidana cum
anggota Tim Penyusun RKUHP, menyebut masuknya delik pelanggaran Ham berat ke
dalam RKUHP merupakan salah satu bentuk upaya konsolidasi menghimpun hukum
pidana menjadi satu sistem. “Salah satu legal policy yang diambil dalam
perumusan RKUHP adalah konsolidasi, yaitu menempatkan seluruh ketentuan pidana
dalam satu sistem. Termasuk pelanggaran berat diintegrasikan dalam RKUHP.
Akibatnya pasal-pasal delik pelanggaran HAM berat dalam UU Peradilan HAM akan
dihapus,” kata Chairul melalui pesan singkat, Kamis, 17 November 2022. Dosen hukum pidana Universitas Muhammadiyah
Jakarta (UMJ) ini menyebut, UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
memiliki kejanggalan karena turut mengatur hukum pidana materiilnya. “Lagi pula aneh, UU-nya bernama UU Peradilan HAM,
yang seharusnya hanya memuat hukum pidana formil, lho kok ada hukum pidana
materiilnya (deliknya)," kata Chairul. Untuk itu, pengaturan pelanggaran
HAM berat masuk di RKUHP untuk mengatur proses perkara pidananya. Sedangkan
untuk peradilannya tetap mengacu pada UU Nomor 26 Tahun 2006 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia. “(Dalam implementasinya) tidak perlu penyesuaian
apa pun. Yang khusus kan pengadilannya, nah pasal tentang proses
pengadilannya tetap berlaku. Namanya UU Peradilan HAM, nah isinya tentang
proses perkara pidananya,” tandasnya. ● Sumber :
https://tirto.id/polemik-pasal-ham-berat-di-rkuhp-buat-apa-uu-pengadilan-ham-gyLx |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar