Memahami
Kerja Otak dan Risiko Bunuh Diri pada Remaja MN
Yunita : Kontributor Tirto.id |
TIRTO.ID, 24 November 2022
Lima puluh tahun yang lalu, menurut John Coleman,
penulis buku The Teacher and The Teenage Brain, remaja di sekolah tidak
memiliki akses untuk mengetahui tentang pubertas mereka. Remaja seakan
dibiarkan sendiri mengatasi kebingungan masa muda. Tidak heran, remaja sering
merasa terasing. Sebaliknya, orang tua juga merasa tidak mengerti keinginan
anak remaja mereka. Baru 20 sampai 30 tahun kemudian, apa yang di
pikiran dan otak remaja, kemudian menjadi penting dan dicari tahu. Masa remaja dipenuhi dengan perubahan suasana
hati yang sulit dikendalikan, krisis identitas dan hasrat akan persetujuan
sosial, berani menanggung risiko dan mengalami petualangan, sekaligus
ketidakmampuan memikirkan dampak masa depan. Studi otak menunjukkan, bahwa wilayah otak remaja
yang terkait dengan hadiah atau penghargaan, umumnya berkembang lebih cepat
daripada yang terkait dengan penghambatan dan pengendalian diri. Remaja juga rata-rata memiliki aktivitas yang
lebih besar dalam pensinyalan dopamin - neurotransmitter yang terkait dengan
kesenangan dan keingintahuan - dibandingkan dengan orang dewasa dan anak-anak
yang lebih muda. Tidak heran jika remaja lebih cenderung tergoda
untuk mencoba pengalaman baru. Menurut Coleman, interaksi proses fisiologis dan
psikologis pada remaja juga belum matang. Banyak remaja menurutnya, memiliki
fluktuasi neurotransmiter dan hormon yang lebih besar seperti serotonin,
GABA, dan kortisol – yang semuanya dapat mengubah suasana hati mereka. Hal
inilah yang menyebabkan suasana hati remaja sering tidak menentu. Artikel "The biggest myths of the teenage
brain" yang ditulis David Robson menuliskan, remaja juga mengalami
peningkatan aktivitas di korteks prefrontal medial, yang terlibat dalam
pemrosesan dan respons terhadap orang lain. Penelitian juga menunjukkan bahwa aktivitas di
area otak yang berkaitan dengan evaluasi diri cenderung memuncak pada
pertengahan masa remaja, terutama untuk informasi yang berkaitan dengan
status. Kemampuan untuk memahami interaksi dan jaringan
sosial ini sangat penting dalam pembentukan persahabatan remaja. Hal ini
berarti, remaja sangat peka terhadap penghinaan dan tanda-tanda permusuhan,
sehingga meningkatkan kerentanan mereka terhadap kecemasan sosial. Usia remaja menurut Dr.dr. Fransiska Kaligis,
SpKJ (K) merupakan fase yang penuh dengan perubahan untuk menuju ke
kedewasaan, mulai neurobiologis, hormononal, pksikososial.
Perubahan-perubahan itu membawa tantangan tersendiri bagi para remaja,
sementara di sisi lain mereka belum siap untuk menghadapinya. "Perubahan-perubahan itu terkadang
mengakibatkan masalah kesehatan jiwa, yang terbanyak di alami adalah depresi
dan cemas," katanya. American Academy of Child and Adolescent
Psychiatry membagi fase remaja menjadi tiga yakni Early Adolescence (11-13
tahun), Middle Adolescence (14-18 tahun) dan Late Adolescence (19-24 tahun). Fase Middle Adolescence disebut sebagai fase yang
rentan karena pada periode itu remaja berpikir abstrak, tetapi juga mempunyai
keyakinan tentang keabadian (immortality), dan kedigdayaan (omnipotence),
yang membuat mendorong mereka berperilaku mengambil risiko atau risk-taking. Risiko
Bunuh Diri pada Remaja Studi yang dilakukan oleh Dr.dr Nova Riyanti
Yusuf, SpKJ atau akrab disapa Noriyu, membeberkan fakta bahwa sebanyak 5
persen dari total 910 pelajar SMAN dan SMKN akreditasi A di DKI Jakarta
memiliki ide untuk melakukan bunuh diri. Pada studi yang kemudian dibukukan dengan judul
Cegah Bunuh Diri Remaja: Yuk Deteksi!, ini Noriyu lantas menemukan ada
beberapa faktor risiko ide bunuh diri pada remaja, antara lain pola pikir
abstrak yang menimbulkan perilaku mengambil risiko, transmisi genetik yang
bisa menimbulkan sifat agresif dan impulsif, memiliki riwayat gangguan jiwa
lain, lingkungan sosial yang tak mendukung, dan penyalahgunaan akses internet Temuan penelitian berjudul ‘Deteksi Dini Faktor
Risiko Ide Bunuh Diri Remaja di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/Sederajat di
DKI Jakarta’ sama dengan data yang diungkapkan Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO). Dalam penjelasan mengenai kesehatan mental
remaja, WHO menyebut secara global satu dari tujuh anak berusia 10-19 tahun
mengalami gangguan mental. Sementara itu fakta lain mengungkapkan pula bunuh
diri merupakan penyebab kematian keempat di antara usia 15-29 tahun. Masalah kesehatan mental yang berkaitan dengan
ide bunuh diri pada remaja pun tak bisa dianggap sebelah mata. Menurut Noriyu
ini menjadi hal serius dan membutuhkan penanganan sesegera mungkin. Salah
satu pencegahan yang bisa dilakukan dengan isu ini adalah dengan deteksi
dini. Hal ini bertujuan untuk menemukan faktor risiko penyebab bunuh diri
pada remaja. Penelitian Noriyu yang dilakukan pada 2018
mengungkapkan bahwa pelajar yang terdeteksi berisiko bunuh diri memiliki
risiko 5,39 kali lebih besar untuk mempunyai ide bunuh diri, dibandingkan
pelajar yang tak terdeteksi berisiko bunuh diri. Kesimpulan itu diambil setelah dilakukan kontrol
terhadap kovariat yang meliputi umur, sekolah, gender, pendidikan ayah,
pekerjaan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, status cerai orang tua, etnis,
keberadaan ayah, keberadaan ibu, kepercayaan agama, depresi, dan stresor. "Perlu mengidentifikasi remaja yang paling
berisiko sebelum perilaku menjadi serius yang seharusnya dapat mengurangi
angka kejadian bunuh diri," papar Noriyu dalam acara Kuliah Tamu &
Bedah Buku Cegah Bunuh Diri Remaja: Yuk Deteksi!, yang diadakan di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Hasil penelitian Noriyo sendiri menemukan empat
faktor signifikan untuk deteksi dini faktor risiko bunuh diri yang meliputi
perasaan kesepian, perasaan hilang harapan, perasaan ingin menjadi sesuatu
yang bermakna, dan perasaan menjadi beban. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Jiwa telah mengatur mengenai upaya pencegahan bunuh diri remaja. Bentuk upaya di lembaga pendidikan ini misalnya,
berupaya menciptakan suasana belajar-mengajar yang kondusif bagi pertumbuhan
dan perkembangan jiwa. Selain itu juga membekali keterampilan hidup terkait
kesehatan jiwa peserta didik sesuai dengan tahap perkembangannya. Tetapi implementasinya memang tidak mudah. Yang
terjadi di lingkungan sekolah misalnya, seorang anak yang mendatangi guru
Bimbingan Konseling (BK) tak jarang mendapatkan stigma negatif. Di satu sisi
Noriyu menyebut fungsi guru BK masih belum maksimal, karena mereka beberapa
lebih berorientasi membimbing siswa untuk mendapatkan universitas. Mischka Aoki dan Devon Kei Enzo, kakak-beradik
pemenang Olimpiade Matematika & Sains Internasional yang saat ini masih
berusia 13 tahun dan 12 tahun berharap, makin banyak berbagai acara yang
mempromosikan kesehatan mental dan pencegahan bunuh diri. Mereka berharap penanggulangan atas isu ini
jangan hanya sekedar tes atau screening, tetapi juga bagaimana follow-up dari
hasil tersebut supaya permasalah bisa teratasi. "Beberapa orang secara terang-terangan
mengirimkan pesan ke akun sosial media kami dan mengungkapkan keinginannya
untuk bunuh diri," kata Mischka. Sebagai remaja, Devon berpendapat pemicu
pemikiran bunuh diri ini bisa muncul dari diri sendiri misalnya karena adanya
pengharapan tinggi terhadap sesuatu, membandingkan diri dengan orang
lain--yang biasanya dengan melihat sosial media, hingga ujung-ujungnya
menekan hidup seseorang. Tetapi ide bunuh diri juga bisa terbersit karena
lingkungan sekitar, seperti sekolah. Seseorang yang mengalami perundungan
atau kompetisi tidak sehat menjadi orang yang rentan. "Edukasi kesehatan mental perlu interaksi
langsung dan dilakukan secara rutin supaya remaja punya akses dan mereka
lebih terbuka untuk bercerita," kata Mischka. Dengan bekal pengetahuan yang cukup mengenai
kesehatan mental ini, remaja bisa beradaptasi dan juga memiliki resiliensi
atau kemampuan kembali ke kondisi semula saat menghadapi masalah. Peran
Orang tua Memahami Remaja Menurut Fransiska, saat anak memiliki krisis
diri, hal utama yang bisa dilakukan orang tua adalah dengan selalu ada dan
hadir untuk remaja. Remaja memerlukan pendengar yang baik untuk mendengarkan
masalahnya tanpa merasa dihakimi. "Remaja sangat waspada terhadap pesan
emosional sehingga mereka tidak dapat mendengar logika apa pun yang
disampaikan," ujar Apter, penulis buku The Teen Interpreter: A Guide to
the Challenges and Joys of Raising Adolescents. Mengingat peningkatan aktivitas dopamin di
sirkuit hadiah remaja, menurut Coleman, pujian dan umpan balik positif juga
akan membantu, terutama jika diberikan dengan segera pada saat anak berhak
mendapatkan pujian tersebut. Orang tua yang dapat mengungkapkan minat yang
tulus pada apa yang dirasakan remaja, dan membantu mereka memahami alasan
tantangan yang mereka hadapi, akan lebih memberikan dampak positif yang besar
pada remaja. Dengan dukungan yang tepat, ledakan mental remaja
- yang mungkin dramatis - dapat ditanggulangi tanpa mengarah ke tendensi
risiko bunuh diri. ● Sumber :
https://tirto.id/memahami-kerja-otak-dan-risiko-bunuh-diri-pada-remaja-gyWB
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar