Transendensi
Sakit dan Religiositas Rendra Purnawan
Andra : bekerja di Direktorat
Pengembangan & Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek |
KOMPAS, 20 November 2022
Tanggal 7 November adalah tanggal lahir sastrawan
besar Rendra. Lahir di Surakarta tahun 1935, seniman bernama asli Willibrodus
Surendra Broto ini meninggal 6 Agustus 2009 di Depok, Jawa Barat. Jika masih
hidup, ia baru saja berulang tahun ke-87. Rendra adalah sebuah paket lengkap kesenimanan.
Ia seorang pemain dan sutradara teater handal. Bersama kelompoknya Bengkel
Teater, Rendra menjadi tonggak teater modern Indonesia. Ia menerjemahkan
karya-karya besar dunia seperti Oedipus, Hamlet, Macbeth, selain menghasilkan
karya besar seperti Panembahan Reso dan Kisah Perjuangan Suku Naga. Buku
Mempertimbangkan Tradisi serta Penyair dan Kritik Sosial membuktikan
pemikirannya yang luas, tajam dan mendalam. Rendra adalah penulis dan pembaca puisi yang
baik, suatu hal yang sulit didapat saat ini. Karya-karyanya merangkum hasrat
artistik menjelajah beragam spektrum mulai dari problem sosial, humanisme,
hingga nasionalisme kebangsaan, dan religiositas. Rendra adalah catatan
capaian artistik yang luar biasa. Hingga menjelang akhir hayatnya, dalam sakitnya,
ia menuliskan puisi tak berjudul: Aku lemas Tapi berdaya Aku tidak sambat rasa sakit atau gatal Aku pengin makan tajin Aku tidak pernah sesak nafas Tapi tubuhku tidak memuaskan untuk punya posisi yang ideal dan wajar Aku pengin membersihkan tubuhku dari racun kimiawi Aku ingin kembali pada jalan alam Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah Tuhan, aku cinta padamu Sakit memang kerap membawa kita pada suasana
batin dan konflik yang mengarah pada persoalan-persoalan transenden. Sakit
membawa pada perenungan akan keilahian, takdir, dan keajaiban kehidupan. Kita
seperti dibawa dalam narasi dan dialog yang mempertanyakan nasib manusia di
hadapan Tuhan, dengan segala keterbatasan dan kelebihannya. Sakit sebagai sebuah kondisi spiritual telah
menempatkan kita dalam lintasan-lintasan peristiwa yang menguak penyingkapan
makna akan nilai. Sehat-sakit, bahagia-sedih, surga-neraka menjadi perjalanan
manusia untuk melakukan dialektika peran di hadapan Tuhan. Sakit mempertajam
pandangan spiritualitas, dengan kekuatan mata batin untuk merefleksi
peristiwa. Puisi tersebut bersuasanakan pergolakan batin,
seperti ruang ambang, ruang antara manunggaling kawula-Gusti. Rendra berada
dalam narasi tarik-menarik antara menerima peristiwa keilahian dan
mempertanyakannya; menyadari keterbatasan sebagai manusia sekaligus memaknai
kekuatan adikodrati; meratapi nasib sekaligus bersyukur atas karunia yang
diterimanya. Antara estetika bahasa, humanisme rasa, dan ekspresifitas
suasana, ia merepresentasikan religiositas Rendra. Religiositas memang bukan masalah agama belaka. Menurut
Paul Tillich, religiositas adalah sebuah ‘dimensi kedalaman’, pengembaraan
pencarian jawaban kerinduan manusia tentang eksistensinya. Emha Ainun Nadjib
menambahkan religiositas sebagai rasa ingin berada bersama sesuatu yang
abstrak, yang berada di luar penguasaan ruang pikiran, rasa, dan hati. Ia
abstrak, tapi ada secara riil sehingga justru terasa paling konkret. Dalam buku Sastra dan Religiositas, Y.B.
Mangunwijaya menyatakan bahwa, pada awal mula, segala sastra adalah religius.
Sastra hadir sebagai “ruang-ruang kesadaran” dalam memandang hidup dan
kehidupan manusia, melihat diri sendiri, yang tidak bisa dilepaskan dari
kemisteriannya. Religiositas sendiri berasal dari kata religio
(relego: Latin), yang berarti memeriksa lagi, menimbang, merenungkan
keberatan hati nurani, seperti menegaskan bahwa religiositas mengisyaratkan
“pertemuan” dimensi batin dan dimensi rasional yang berlangsung terus-menerus
bersama pengalaman hidup sehari-hari. Religiositas lebih melihat aspek yang hidup “di
dalam lubuk”, getaran hati nurani. Religiositas adalah “agama yang hidup”
pada diri seseorang, penghayatan manusia terhadap imannya (Sumbawi, 2021). Melalui puisi tersebut, krisis psikologi, problem
pribadi dan konflik spiritualtas disajikan dengan latar sakit. Rendra
menjadikan kondisi sakit sebagai motif, struktur narasi yang mengalir untuk
mencapai keutuhan nilai. Ia menyingkap kesadaran kemanusiaan saat hidup
dihadapkan pada kondisi sakit. Ia melihat celah-celah peristiwa krisis
personal dari sudut pandang humanis, untuk dihadirkan pada pembaca sebagai
kisah yang reflektif. Membaca puisi itu, kita dihadapkan pada persoalan
humanisme, menyentuh empati, untuk mencapai kearifan. Katarsis yang tercipta
pada puisi tersebut merujuk pada persoalan religiostitas, pada upaya
”penyucian diri”: pembaruan rohani, pelepasan diri dari ketegangan dan segala
aktivitas duniawi yang melenakan. Ketajaman spiritualitas Rendra menyingkap masalah
hidup, dengan kekuatan intuisi, imaji, dan diksi. Pengembaraan metafor dan
eksplorasi tanda yang dilakukannya (tajin, racun kimiawi) menjadi permainan
estetis nan satir yang disusupkannya dalam latar hingga mencipta pondasi
narasi dan kisah yang kompleks dalam penafsiran dan pemaknaan. Berkembanglah kompleksitas tafsir yang
masing-masing memiliki lapis eksotismenya sendiri. Kita dibuat tertegun
karena kekuatan style Rendra merefleksikan batin terdalam dan mengembangkan
cita rasa estetika yang memberi pengalaman spiritual pembaca mengenai hidup
dan kehidupan. Seturut Gilles Gun (dalam Emiyati, 2021), lewat
karya sastra, religiositas diubah menjadi bentuk yang tidak hanya dapat kita
‘lihat’ lebih konkret, juga dapat kita lihat dengan perasaan (feelingly).
Sastra membantu kita untuk ‘tahu apa yang kita rasakan’. Rendra menghadirkan transendensi narasi manusia
yang sakit lewat pondasi spiritualitas reflektif untuk memberi sugesti akan
daya hidup yang lebih subtil, yaitu religiositas. Ia mencipta ruang dan makna
konstektual untuk menyingkap hakikat kebenaran yang kini semakin terselubung
kedok kepalsuan duniawi. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/17/transendensi-sakit-dan-religiositas-rendra |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar