Asal-usul Kata
Blantika Tendy K. Somantri : Pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra
Unpas Bandung |
MAJALAH TEMPO, 27
November 2022
DALAM gelar wicara
literasi di stasiun radio K-Lite, Bandung, jurnalis senior Adi Raksanegara
menyebutkan bahwa majalah lawas Aktuil pernah mempopulerkan kata “blantika”.
Saya tidak tahu dari bahasa apa kata tersebut dipungut. Setahu saya, kata
“blantika” bermakna dunia atau jagat dan biasanya digunakan di kalangan
musik, misalnya pada frasa blantika musik Indonesia. Sayang, Kang Adi pun
tidak tahu asal kata tersebut. Yang jelas, pada gelar wicara Komunitas Bilik
Literasi (Bee-Lit) itu, dua narasumber—Adi Raksanegara dan Kin
Sanubary—menceritakan kreativitas pers baheula. Seusai gelar wicara itu,
masih ada yang mengganjal dalam pikiran saya. Dari manakah kata “blantika”
berasal? Apakah dari bahasa asing? Belanda? Inggris? Italia? Rasa penasaran
itu saya sampaikan kepada Kin Sanubary, sang kolektor media lawas dan
pemerhati media. Di media sosial Facebook, Kin punya banyak teman artis
ataupun jurnalis senior, termasuk di antaranya Kang Odang Danaatmadja, salah
seorang penggawa Aktuil. Kebetulan Kang Odang
mengomentari ulasan Kin tentang acara gelar wicara di akun Facebook-nya.
Inilah kesempatan bagi saya untuk menanyakan asal kata “blantika” itu. Saya
coba tanya secara langsung, apakah ada hubungan kata “blantika” dengan
“balantik” dari bahasa Sunda? Kang Odang menjawab, ya! Memang, kata
“blantika” merupakan hasil modifikasi Kang Sonny Suriaatmadja (jurnalis
senior Aktuil) dari kata “balantik” (bahasa Sunda) yang berarti rajin usaha
atau berniaga. Blantika dibuat sebagai padanan kata asing showbiz (show
business) atau bisnis pertunjukan. Jadi sebenarnya “blantika musik Indonesia”
berarti bisnis (pertunjukan) musik Indonesia, bukan dunia atau jagat seperti
yang tertera di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai istilah musik. Kita tidak bisa
menyalahkan KBBI yang disusun berdasarkan data di masyarakat. Sebelum
mendapat keterangan dari Kang Odang, saya pun sepemahaman dengan KBBI. Makna
sebuah kata memang bisa melebar atau menyempit di masyarakat, bahkan bisa
berubah sama sekali. Misalnya, kata acuh yang artinya peduli, di masyarakat
bisa berubah menjadi kebalikannya—tidak peduli. Pada kasus acuh ini terjadi
proses penghilangan karena bentuk asalnya, acuh tak acuh, dipandang
bertele-tele. Terlepas dari perubahan
makna itu, saya terkesan oleh kreativitas jurnalis tempo dulu dalam
menciptakan istilah. Seolah-olah mereka tidak pernah puas terhadap apa yang
ada dan ingin beda dengan yang lain. Contoh kreativitas jurnalis senior yang
membahana hingga kini adalah kata “dangdut” ciptaan Putu Wijaya ketika
menjadi jurnalis majalah Tempo (Siniar Celetuk Bahasa Tempo, “Dangdut dan
Amerika”). Selain dua kata itu, masih banyak kata yang dipopulerkan melalui
media massa, seperti Anda, asyik, sekira, dan petahana. Sayang, kreativitas
berbahasa sebagian jurnalis kini melempem, seakan-akan terberangus saat media
memasuki era digital. Para jurnalis seolah-olah menjadi hamba sistem optimasi
mesin pencari di media daring dan hanya mengikuti tren. Misalnya, pada saat
tren bentuk terikat pasca-, bermunculan judul berita ber-pasca secara
serampangan. Ada yang menulisnya dengan cara terpisah seperti pasca
perceraian dan pasca pelatihan. Ada juga yang menulisnya menjadi paska karena
menganggap kata tersebut berasal dari bahasa Inggris. Begitu pun saat tren kata
usai menggantikan pasca-, berjajarlah judul berita ber-usai secara serampangan
juga. Saya katakan secara serampangan karena mereka menggunakan kata usai
tanpa mengindahkan fungsi dan makna. Kata usai sebagai verba memang
bersinonim dengan selesai, tapi hanya pada kondisi tertentu, yakni dari suatu
kondisi atau peristiwa yang tertata, seperti usai rapat, usai pertunjukan,
dan usai upacara. Pada makna selesai yang lain—teratur rapi; tidak kusut
(tentang rambut), di KBBI—kata usai malah menjadi antonim. Yang lebih parah,
kebanyakan jurnalis menulis usai sebagai sinonim kata setelah yang berkelas
kata adjektiva, misalnya pada judul berita “Respons ‘Dewan Kolonel’ Usai
Disebut DPP PDIP Kreatif Cari Muka” atau “Usai Ditahan Polisi, Bambang Tri
Cabut Gugatan Ijazah Palsu Jokowi”. Jadi, jangankan berusaha
menciptakan istilah atau kata baru, sekadar menggunakan kosakata yang sudah
ada pun mereka abai. Pada saat seperti ini, saya jadi teringat mendiang
Profesor Sudjoko dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi
Bandung. “Terus terang saja–yang miskin itu bahasa…, atau akal?” katanya
dalam makalah yang disampaikan dalam diskusi bahasa Forum Bahasa Media Massa,
Januari 2003. Kalimat itu disampaikannya sebagai ungkapan rasa kesal karena
masyarakat malas mencari padanan kata asing dan menuduh bahasa Nusantara
sebagai bahasa yang miskin. Andai saja Prof. Sudjoko
melihat kondisi media massa saat ini, khususnya media massa daring, tentu
makin masygul hatinya. Media massa yang diharapkannya dapat menggali dan
mencipta kata-kata baru untuk dijadikan padanan malah membuat gaya yang sangat
seragam demi mengejar cuan. Muncul kekhawatiran, bagaimana nasib bahasa
Indonesia dalam blantika pers Indonesia mendatang? ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/bahasa/167488/asal-usul-kata-blantika
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar