Bukan Gempa, Rumahlah
Pembunuh Utama Djwantoro Hardjito : Rektor UK Petra Surabaya dan Profesor di
Prodi Teknik Sipil Universitas Kristen Petra Surabaya |
JAWA POS, 24 November 2022
KEMBALI kita
dikejutkan gempa tektonik yang memakan ratusan korban jiwa. Kali ini terjadi
di Cianjur, Jawa Barat, pada Senin (21/11/2022) pukul 13.20 WIB. Gempa
Cianjur ini berkekuatan 5,6 pada skala Richter dengan pusat gempa atau
hiposenter di kedalaman 10 km. Hingga Selasa (22/11) malam, jumlah korban
tewas yang dilaporkan berbagai media tercatat 268 orang. Korban luka-luka
lebih dari seribu orang. Sedangkan ribuan penduduk harus mengungsi.
Angka-angka itu masih mungkin bertambah karena belum semua evakuasi berhasil. Menurut skala
Mercalli atau Modified Mercalli Intensity (MMI), yang digunakan untuk
mengukur skala kerusakan akibat gempa, gempa Cianjur ini tercatat antara V–VI
MMI. Artinya, gempa dirasakan semua penduduk, kebanyakan terkejut dan lari
keluar. Skala Mercalli ini terentang antara I–XII, skala XII merupakan skala
kerusakan tertinggi. Dengan
kedalaman hiposenter 10 km, gempa Cianjur tergolong gempa bumi dangkal.
Diperkirakan, gempa tersebut merupakan hasil aktivitas sesar Cimandiri, yang
tercatat sebagai salah satu sesar gempa aktif. Sesar itu terbentang dari
Pelabuhan Ratu hingga Kabupaten Bandung Barat. Sesar tersebut merupakan
sumber gempa bumi di darat. Gempa Moderat, Mengapa Banyak Korban? Sesuai info
dari berbagai media, korban didominasi anak-anak, wanita, dan orang tua.
Kebanyakan menderita patah tulang dan umumnya akibat tertimpa reruntuhan atap
dan dinding rumah. Mayoritas korban sedang beraktivitas di rumah ketika gempa
terjadi di tengah hari itu. Fenomena seperti ini jamak terjadi dalam berbagai
kejadian gempa di tanah air, seperti pada gempa Palu (2018), gempa Lombok
(2018), gempa Jogja (2006), dan gempa Flores (1992). Memang gempa
Cianjur tergolong gempa dangkal, disebabkan pergerakan sesar Cimandiri,
dengan episenter (proyeksi pusat gempa di permukaan bumi) di sekitar Cianjur
itu sendiri, atau dengan kata lain pusat gempa terletak tepat di bawah
Cianjur. Dengan intensitas 5,6 skala Richter, gempa tersebut tergolong
moderat. Skala kerusakannya tergolong moderat juga, dalam kisaran V–VI MMI.
Pertanyaannya, mengapa jumlah korban dan kerusakan yang terjadi begitu masif? Setidaknya ada
dua kemungkinan. Pertama, bila kondisi tanahnya lunak, gelombang gempa akan
mengalami amplifikasi alias pembesaran. Kedua, yang tampaknya lebih sesuai
dengan kondisi gempa Cianjur adalah kualitas bangunan yang tidak disesuaikan
dengan karakter daerah yang berisiko gempa tinggi. Hal itu
diperkuat dengan realita masifnya kerusakan bangunan yang didominasi rumah
tinggal. Dihimpun dari berbagai media, mayoritas bangunan yang rusak tersebut
merupakan bangunan berdinding bata, sebagian dengan rangka beton bertulang,
dengan penutup atap genting. Harus diakui,
rumah tembok kelihatan lebih kokoh, lebih bagus, dan lebih mencerminkan
status ekonomi menengah ke atas. Masalahnya, rumah-rumah tinggal seperti itu
umumnya dibangun sendiri (non-engineered structures), tanpa pemahaman yang
benar terhadap karakteristik materialnya. Padahal, tembok dan beton itu
tergolong material yang getas, mudah retak, karena kemampuannya yang rendah
ketika menerima beban tarik. Bangunan
semacam itu cukup kuat ketika hanya memikul beban gravitasi yang sifatnya
statis. Lain ceritanya ketika terjadi gempa. Arah gaya gempa yang dinamis
mengakibatkan bangunan tidak dapat menghindar dari gaya-gaya yang bisa
menyebabkan terjadinya gaya tarik, yang tidak dapat dipikul material yang
getas. Hal itulah
yang menjadi penyebab utama banyaknya bangunan tembok runtuh diterjang gempa.
Menimpa para penghuni yang berteduh di dalamnya. Mengakibatkan banyaknya
korban dengan kondisi patah tulang. Bahkan kehilangan nyawa. Kondisi tersebut
diperparah dengan penggunaan atap genting yang juga berat. Benarlah pepatah,
gempa itu sendiri umumnya tidak membunuh, tetapi kualitas bangunan yang buruklah
yang membunuh! Hidup Berdampingan dengan Gempa Mengingat
negara kita terletak di jalur gempa yang sangat aktif, sering disebut sebagai
ring of fire, gempa tidak dapat dihindari. Termasuk di sekitar Cianjur yang
sudah sangat sering mengalami gempa. Meski demikian, jatuhnya korban dan
kerusakan yang ditimbulkan bisa diminimalkan atau dimitigasi. Kaitannya
dengan bangunan, salah satu alternatif mitigasinya adalah membuat
bangunan-bangunan lebih ramah terhadap gempa, dibangun dengan memperhitungkan
karakteristik beban gempa. Nenek moyang kita telah berhasil mengembangkan
kearifannya, berbekal proses belajar mandiri turun-temurun, selama ratusan
tahun. Karena itu, bangunan-bangunan tradisional, yang umumnya berbahan kayu
atau bambu, terbukti tetap berdiri kokoh ketika gempa terjadi. Sayangnya,
tukang-tukang bangunan kita saat ini belum cukup memiliki kesempatan
mempelajari karakteristik material-material dan struktur bangunan ’’modern’’,
yang lebih dipilih masyarakat, dalam hal ini tembok dan beton. Bangunan
tembok dan beton bisa dibuat lebih tahan terhadap gempa. Kualitas material
dan pengerjaannya harus sangat baik. Konfigurasi atau denah bangunan dan
sambungan-sambungannya harus benar-benar diperhatikan, sesuai dengan kaidah
teknis terkait karakter material getas yang digunakan. Teknologinya sudah
tersedia lama, tergolong sederhana. Ada tambahan biaya, tapi tergolong
rendah, apalagi kalau dibandingkan dengan potensi jatuhnya korban dan
kerusakan bangunan yang terjadi. Sekali lagi, kejadian gempa tak dapat
dihindari, namun jatuhnya korban dan kerugian bisa dimitigasi. Secara garis
besar, mitigasi terkait bangunan ini bisa dilaksanakan dengan regulasi
membangun dan tentunya pelaksanaannya yang konsisten. Dari sisi masyarakat,
termasuk para tukang bangunan dan pemilik rumah, mereka sangat memerlukan
edukasi teknis membangun yang lebih ’’ramah’’ terhadap gempa. Buku-buku
pedoman teknisnya sudah tersedia lama, tidak memerlukan teknologi yang rumit,
dan bahkan sudah diwujudkan dalam bentuk Standar Nasional Indonesia (SNI). Dari sisi
perilaku, kita semua perlu secara periodik berlatih, agar berperilaku tepat,
manakala gempa terjadi, karena kita semua manusia yang mudah lupa. Usai tahap
tanggap darurat, ketika masyarakat sudah mulai tenang dan menata kembali
hidupnya, proses edukasi ini mulai dapat dilaksanakan, dibarengi penerapan
kebijakan dan regulasinya. Semoga kejadian memilukan di
Cianjur ini membuat kita semua –termasuk para pengambil keputusan– lebih arif
dan bisa hidup serasi berdampingan dengan gempa, seperti telah dibuktikan
nenek moyang kita. Kalau mau, kita bisa! ● Sumber
: https://www.jawapos.com/opini/24/11/2022/bukan-gempa-rumahlah-pembunuh-utama/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar