Korban
Jiwa Karena Gempa, Sampai Kapan? Gho
Danny Wahyudi : Mahasiswa Pascasarjana National
Taiwan University of Science and Technology |
KOMPAS, 24 November 2022
Indonesia kembali berduka, Pada 21 November 2022,
gempa dengan skala M 5,6 melanda Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, mengakibatkan
setidaknya 268 orang meninggal, 151 orang masih dalam pencarian, 1.083 orang
luka-luka, dan 58.362 orang mengungsi. Yang membuat sedih, semua ini sebenarnya bisa
dihindari. Gempa dengan skala M 5,6 bukanlah suatu gempa besar. Di negara
lain dengan standar bangunan yang baik, gempa dengan skala M 5,6 tak akan
membuat barang jatuh dari meja. Standar desain dan konstruksi bangunan yang
baik dapat menghindarkan mayoritas, atau bahkan semua, korban jiwa dari gempa
21 November lalu. Belajar dari pengalaman Bangsa kita tidak asing dengan gempa. Dalam 20
tahun terakhir ini setidaknya sudah terjadi empat kali gempa besar di
Indonesia. Mulai dari gempa dan tsunami Aceh tahun 2004, gempa Yogyakarta
tahun 2006, gempa Padang tahun 2009, dan gempa Palu tahun 2018. Ingatan dari setiap gempa tersebut tertanam dalam
memori bangsa kita lewat kisah pilu dari keluarga dan teman yang ditinggalkan
para korban jiwa. Namun, pada saat yang sama, pengalaman dari gempa-gempa
tersebut terlupakan. Dari gempa-gempa itu, ditambah lagi pengalaman
yang dibagikan komunitas internasional akan gempa di negara masing-masing,
kita sudah mengerti bagaimana membuat bangunan ”tahan” gempa. Yang dimaksudkan dengan tahan gempa bukanlah
bangunan itu tak dapat hancur karena gempa. Namun, dalam gempa dengan ukuran
moderat, sesuai dengan data dari peta gempa, bangunan itu masih akan layak
fungsi, dan terhadap gempa berat bangunan itu tak akan roboh dan menelan
korban. Ilmu bangunan tahan gempa ini bukanlah suatu ilmu
esoterik yang hanya bisa dilaksanakan oleh guru besar ataupun ilmuwan, tetapi
sudah disarikan dan disederhanakan sehingga semua orang yang mau belajar bisa
menerapkannya. Dr Teddy Boen, salah satu pionir dan mahaguru
bangunan tahan gempa Indonesia, telah menuliskan buku Membangun Rumah
Tembokan Tahan Gempa yang di dalamnya tidak terdapat rumus matematika, tetapi
diisi dengan panduan dan petunjuk berbasis visual sehingga semua dapat
mengerti. Secara dunia perteknikan, masalah gempa ini sudah
bisa relatif diatasi, tetapi solusi perteknikan tidak bisa menyelesaikan
permasalahan sosial. Bukan sekadar soal teknis Beberapa minggu sebelum gempa Cianjur, di Taipei
ada dua konferensi teknik sipil internasional yang penulis hadiri. Dalam
kedua konferensi, pengalaman membangun ketahanan akan gempa dari Meksiko dan
Nepal, secara terpisah, dibagikan ke komunitas internasional. Kedua negara
itu bisa dikatakan mirip dengan Indonesia, rawan gempa dan masih merupakan
negara berkembang. Problematika yang mereka alami pun kurang lebih
sama. Penyebab utama mengapa bangunan tak didesain tahan gempa adalah karena
warga merasa bahwa desain terhadap gempa tidaklah diperlukan, dan faktor
”pengalaman” mengalahkan keilmuan. Mem-parafrasa seminar Dr Ramesh Guragain
dari Nepal, desain tahan gempa tak hanya masalah teknis, tetapi juga masalah
sosial kesadaran gempa dan diseminasi iptek. Secara umum, seharusnya pendidikan desain
bangunan tahan gempa di perguruan tinggi di Indonesia sudah berlangsung
dengan baik. Namun, fokus akan desain bangunan tahan gempa di dalam tembok
kampus saja melupakan realitas bahwa di lapangan, pemilik bangunan dan
pekerja lapanganlah yang memiliki andil penting, bahkan bisa lebih penting
daripada insinyur yang mendesain. Diseminasi teknik konstruksi tahan gempa dan
kesadaran akan bahaya gempa harus menarget kedua pemangku kepentingan itu. Para peneliti dan dosen perlu mengedukasi
teknik-teknik konstruksi tahan gempa kepada pekerja lapangan secara langsung
sehingga dari tingkat pelaksana lapangan ada kesadaran bahwa beberapa teknik
konstruksi yang sekarang dipakai bisa mengakibatkan korban jiwa apabila
terjadi gempa. Pemberian kesadaran ini perlu diikuti juga dengan
pelatihan konstruksi tahan gempa yang sifatnya praktis untuk lapangan. Para pemilik bangunan pun perlu disadarkan bahwa
upaya menghemat waktu ataupun biaya pada konstruksi bisa mengakibatkan
bangunan rentan hancur dan menyebabkan korban jiwa pada saat gempa. Meniru teknik yang sudah diterapkan di Meksiko
ataupun Nepal, pendidikan itu dapat dilakukan lewat iklan layanan publik
dalam bentuk animasi. Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan
bahaya gempa, diharapkan pemilik bangunan masa depan tak akan terlalu memaksa
menghemat, dan mempertimbangkan faktor keamanan bangunan. Membangun masa depan Apabila pendidikan di lapangan sudah dikuatkan
dan bangunan-bangunan di masa depan sudah aman, pertanyaannya adalah
bagaimana dengan bangunan yang sudah ada? Mungkin sudah ada ratusan ribu, bahkan jutaan,
bangunan yang sudah selesai dibangun, dan sangat rawan untuk kolaps ketika
terjadi gempa. Perlu ada evaluasi massal akan kondisi bangunan-bangunan
tersebut dan pelaksanaan penguatan bangunan, jika diperlukan. Untuk melakukan evaluasi tersebut, tentu sumber
daya pemerintah pusat dan daerah tidak lah cukup. Mengatasi hal ini,
mahasiswa dapat turun dari kampus dan melakukan proses evaluasi keamanan
bangunan sebagai tugas kuliah ataupun proyek pengabdian masyarakat. Selain
membantu mengatasi ancaman bencana massal akibat bangunan tak aman, evaluasi
bangunan ini bisa menjadi pelatihan yang baik bagi mahasiswa. Prioritas evaluasi keamanan bangunan harus
diberikan pada bangunan sekolah dan rumah sakit (RS). Di gempa Cianjur, tak
sedikit anak-anak jadi korban jiwa akibat robohnya bangunan sekolah. Di gempa
Sulawesi Barat, sebuah RS roboh. Robohnya fasilitas sekolah dan RS, selain
mengakibatkan korban jiwa bagi anak-anak dan orang sakit yang paling
membutuhkan pelindungan, juga mengakibatkan proses bantuan pascabencana
menjadi lebih rumit. Pascabencana, sekolah bisa menjadi tempat
evakuasi bagi pengungsi dan RS memiliki fungsi penting untuk merawat korban
jiwa. Kedua bangunan ini harus dibuat untuk bisa menghadapi gempa berat
dengan tingkat kerusakan seringan mungkin. Beberapa gempa dengan korban jiwa paling besar di
abad ini terjadi di Indonesia, dan terkecuali dalam beberapa kondisi khusus,
sebagian korban jiwa tersebut dapat dihindari. Mengingat bahwa secara teknik jawaban dari
permasalahan adalah desain bangunan tahan gempa, sampai kapan kita masih mau ”menerima”
berita korban jiwa dengan jumlah besar setiap terjadi gempa? ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/23/korban-jiwa-karena-gempa-sampai-kapan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar