Indikasi
Perubahan Iklim Indonesia Paulus Agus Winarso ; Praktisi
Cuaca, Iklim, dan Lingkungan |
KOMPAS, 03 Juni 2021
Belakangan terjadi
perkembangan kondisi cuaca dan iklim yang marak dengan badai lokal atau local
storm. Kondisi ini umumnya dipicu kehadiran awan badai (cloud storm) yang
umumnya dari awan kumulonimbus, disingkat Cb. Awan Cb banyak berdampak pada
bencana hidrometeorologi, terutama pada lingkungan yang sudah jadi hutan ”beton”
atau kawasan minim pohon-pohon besar. Hasil pengamatan data
meteorologi dan klimatologi sebelum 2000 menunjukkan perkembangan awan badai
atau awan Cb masih terbatas, umumnya belum marak dan segiat sekarang. Awan Cb
belum banyak terjadi pada periode 1970-1990. Panas
jadi stimulus Saat saya menjadi analis
dan prakirawan cuaca, kala itu pada peta hasil pengamatan cuaca dan iklim
masih jarang ditemukan pertumbuhan awan badai atau Cb. Yang ada hanya awan
kumulus dan towering cumulus. Awan kumulus dan towering cumulus akan jadi
awan badai atau Cb jika ada dukungan unsur termal dan mekanis/dinamis yang
cukup. Karena pada 1970-1980
kondisi hutan dan lahan di Indonesia masih rimbun, belum banyak pengusahaan
atau eksploitasi kawasan hijau, kondisi cuaca dan iklim mantap dengan pola
angin musim dan cuaca yang beraturan. Ini yang dijelaskan dalam pelajaran
Geografi pada tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah. Perkembangan awan
penghasil badai, dampaknya dalam bentuk hujan badai, angin kencang/badai, dan
petir bersahut-sahutan/badai petir, baru mulai memasuki pasca-1990. Kondisi ini bersamaan
dengan indikasi atmosfer Bumi bagian bawah yang kian hangat dengan lahirnya
gejala alam El Nino. Terkuat untuk pertama kalinya tahun 1982/1983 yang
diikuti dengan bencana kebakaran lahan dan hutan yang pertama kali di tahun
1982. Sepertinya atmosfer Bumi
masih berlanjut dengan giatnya periode hangat muka laut di kawasan
ekuator/tropis Samudra Pasifik atau dikenal gejala El Nino kian giat dan
sering terjadi, seperti 1987/1988, 1990-1994, 1997/1998. Umumnya bencana
kebakaran lahan dan hutan mengikuti El Nino, bahkan swasembada beras
terganggu setelah dapat penghargaan internasional tahun 1985. Awan Cb mulai terjadi dan
giat dengan dampak lingkungan saat giat badai tropis di selatan Jawa awal
1993 dengan gugusan atau barisan awan Cb. Badai terjadi di sepanjang pantai
utara Pulau Jawa, tetapi kala itu dampak bencana hidrometeorologinya tidak
terlalu parah. Baru awal Februari 1996,
seiring adanya dorongan udara dingin daratan Asia (seruak dingin/cold surge)
yang umumnya masuk golongan proses adveksi bagian dari proses termal terkait
dengan proses konveksi yang berpadu dengan adanya konvergensi sebagai proses
mekanis dan dinamis—lahirlah suatu awan Cb yang masuk dalam kriteria
gugusan/sekumpulan awan Cb. Ini disebut sistem awan konveksi kompleks,
istilah kerennya di dunia meteorologi adalah MCC (mesoscale convective
complex) atau MCS (mesoscale convective system) cloud. Masuk
MCC Kegiatan awan Cb yang
masuk kriteria MCC atau MCS adalah hujan badai lebih dari satu jam dengan
kawasan yang cukup luas. Di kawasan Jabodetabek pada 8 Mei 2021 sepertinya
terjadi awan Cb dari jenis MCC atau MCS karena curah hujan lebat mendekati
sangat lebat 50-100 milimeter/ hari dan kegiatan awan mencakup luas separuh
kawasan Jabodetabek. Dampaknya muncul genangan lokal dan sesaat. Kehadiran awan Cb jenis
MCC atau MCS di Jabodetabek 2021 ini berbeda dengan 1996 awal. Saat itu,
Februari 1996, awan badai jenis MCC dan MCS menimbulkan curah hujan sangat
lebat hingga ekstrem (kriteria BMKG) dengan kisaran 100-350 mm/hari
konsentrasi di Jakarta. Hari kedua atau berikutnya diikuti hujan lebat hingga
sangat lebat 50-150 mm/hari konsentrasi di Bogor. Terjadilah banjir besar
dan meluas di DKI untuk pertama kali sejak 1970. Situasi ini masih berlanjut
dengan marak dan sering awan badai yang terjadi dan berkembang awal 2002
sepertinya awan Cb. Kegiatan badai meluas
tidak hanya di Jabodetabek, tapi juga di seluruh Indonesia dan seluruh
penjuru dunia. Seperti Amerika, baik Utara maupun Selatan, Eropa dengan
Inggris dan beberapa negara Eropa Timur. Awan badai terjadi diikuti hujan es
atau hail storm. Australia, bahkan negara yang semula bergurun pasir, juga
mengalami hujan badai dari awan Cb. Misalnya Arab Saudi, bahkan Pakistan yang
terkenal kering. Semua itu menggambarkan
betapa awan Cb atau awan badai, yang dahulu mudah untuk ditebak dan berpola,
kini dalam perkembangannya menunjukan situasi yang berbeda. Pemerintah Arab Saudi
serius menanggapi perkembangan ini dengan mengundang pakar cuaca dan iklim
untuk membantu menyikapi serius. Bagaimana dengan Indonesia? Apa kita cukup memantau,
menganalisis, lalu menginformasikan kepada publik? Awan Cb sepertinya belum
jadi kajian komprehensif. Perkembangan kejadian awan Cb yang marak dan meluas
berdampak pada bencana hidrometeorologi yang meluas dari barat hingga timur
benua maritim Indonesia. Karena itu, sudah selayaknya awan Cb dan pemicunya
dikaji dan dicermati lebih dalam. Hujan
ekstrem Tren atau kecenderungan
hujan ekstrem umumnya terjadi awal tahun. Di Jakarta mula-mula 1996, lalu
antara 2000 dan 2019 dengan satu sampai beberapa kali hujan lebat hingga
sangat lebat, dengan curah hujan 50-150 mm/hari. Kejadian hujan sangat lebat
meningkat awal 2020 dengan dua kali kejadian hujan sangat lebat-ekstrem. Pada
2021 terjadi satu kali hujan sangat lebat hingga ekstrem, dan 2–3 kali hujan
lebat hingga sangat lebat. Kondisi di atas menandakan
adanya kecenderungan kenaikan kejadian awan badai seperti yang telah terjadi.
Hal ini berdampak tidak hanya pada kawasan Jabodetabek, tetapi juga kawasan
lain di Indonesia. Awan badai atau Cb terbentuk dari proses konveksi dan
proses lain yang ada di atmosfer. Hujan awan Cb di darat umumnya berlangsung
siang hingga sore. Jika malam sepertinya
bukan akibat proses konveksi, mungkin sudah menyatu dengan proses fisis dan
dinamis sistem gangguan cuaca tropis mulai gelombang tropis, pemindahan massa
udara maritim yang hangat dan basah, serta pengaruh dinamika dan gerak lain
yang memicu terbentuknya awan Cb. Peningkatan kapasitas
untuk meninjau lebih lanjut perilaku dan tabiat awan badai akan sangat
membantu memprakirakan kehadiran bencana hidrometeorologi dan mengantisipasi.
Dengan demikian, kerugian bisa diminimalkan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar