Toeti
Heraty untuk Setiap Perempuan Intan Paramaditha ; Penulis dan Dosen di Macquarie University,
Sydney |
KOMPAS, 15 Juni 2021
Prosa lirik "Calon
Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki" karya Toeti Heraty dibuka
dengan kalimat persembahan: “Untuk setiap perempuan yang meredam kemarahan.”
Di tahun 2000, buku ini dengan cepat diberi cap sebagai “puisi feminis
marah-marah.” Pada saat itu kata ‘feminis’ punya reputasi buruk. Namun buat saya, yang
tumbuh di keluarga patriarkal dan menyimpan banyak pertanyaan sebagai
perempuan, Calon Arang adalah kitab rahasia melawan dunia. Tulisan ini saya
buat sebagai penulis perempuan yang menyampaikan penghormatan untuk penulis
perempuan yang telah menorehkan jejak sebelum saya. Toeti Heraty
Noerhadi-Roosseno, penulis dan Guru Besar Filsafat Universitas Indonesia,
telah meninggalkan kita Minggu, 13 Juni 2021. Tentu saja, Toeti Heraty Sang
Penulis sulit dilepaskan dari peran-peran lainnya. Saya membayangkan beragam
eulogi akan dituliskan dengan bermacam sudut pandang, sebab semasa hidupnya,
Toeti bertualang melintasi sekat-sekat disiplin. Lahir 27 November 1933 di
Bandung, Toeti belajar Kedokteran di UI dan psikologi di Amsterdam. Ia
kemudian belajar filsafat di Leiden hingga akhirnya meraih gelar doktor
filsafat di UI tahun 1979. Toeti bukan hanya akademisi, penulis, aktivis, dan
filsuf, tetapi juga pengusaha dan filantropis yang meretas privilesenya untuk
mendorong berbagai inisiatif dalam gerakan perempuan, seni budaya, dan dunia
akademik. Calon Arang adalah upaya
Toeti menyelami legenda janda penyihir dari Dirah yang marah karena tak ada
yang mau meminang putrinya. Apa penyebab kemarahan itu? Toeti menulis, “Apa
Anda tahu apa artinya menjadi janda?” Marah dianggap sebagai emosi negatif
dan identik dengan irasionalitas perempuan. Akademisi Sara Ahmed menyodorkan
istilah “feminist killjoy,” perempuan yang mengganggu kenyamanan karena
kemarahannya menguak persoalan yang lebih dalam. Seperti Calon Arang yang
terlalu cerdas dan berkuasa, karya-karya Toeti yang bicara tentang
ketidakadilan terhadap perempuan kerap dianggap “killjoy,” tak bisa lihat
orang senang. Bayangkan teror Sang Randa, memuja Batari Durga, membalaskan
dendam bersama “anak buah yang aneh-aneh penampilannya.” Tapi bila kita ingin
membongkar legenda, kita akan lihat janda yang ingin putrinya berbahagia di
satu sisi, dan kuasa patriarki – raja dan pendeta – yang terancam oleh kuasa
Calon Arang di sisi lain. Si Randa bukan cuma janda sakti,
tapi juga guru yang menggerakkan murid-muridnya. Bertahun-tahun kemudian,
kita semua adalah murid-murid Toeti. Begitu banyak aktivis, feminis,
akademisi, dan seniman yang melihatnya sebagai panutan dan mentor. Toeti tak
pernah sendiri. Menelusuri jejaknya berarti mempelajari pemikiran banyak
perempuan sekelilingnya, lintas generasi, termasuk Saparinah Sadli, Herawaty
Diah, Julia Suryakusuma, Melani Budianta, Karlina Supeli, Gadis Arivia, Saras
Dewi, dsb. Jejak
Toeti Heraty Ada jejak Toeti di Institut
Kesenian Jakarta, tempat ia jadi rektor 1990-1995, UI, Suara Ibu Peduli,
Yayasan Jurnal Perempuan, Akademi Jakarta, Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia, dan YLBHI. Ia juga pendiri Cemara 6 Galeri & Museum dan
perusahaan keluarga di bidang HAKI-Biro Oktroi Roosseno. Penghargaan
kebudayaan diperolehnya dari Pemerintah RI, Perancis, dan Belanda. “Dunia ini nyata,” tulis
Toeti dalam puisinya yang lain, dan ia telah bertualang dengan “sepatu merah
yang lepas-lepas kulitnya.” Toeti tak hanya menulis tentang amarah perempuan
sihir. Ia juga menulis tentang norma-norma kelas menengah (“terjebak, gelas
anggur di tangan”), hasrat perempuan setengah baya di losmen murahan, kota
dan ideologi pembangunan dunia ketiga, atau politik global dengan segala
persoalannya: perang, krisis lingkungan, pengungsi. Dalam Manifesto, Toeti
menertawakan para pemimpin dunia yang pamer kuasa: “Kalian telah kehilangan
gengsi/ seperti badut yang tunggang langgang lari, dalam bencana akhirnya
panggil ibu juga.” Puisi-puisinya tak hanya marah tapi juga nakal, jenaka,
menggoda, dengan bahasa terkadang kikuk, jauh dari romantik. Satu hal yang
tetap: ia pembangkang. Perempuan
di dunia sastra Di 1970 dan 1980-an, Toeti
satu dari sedikit perempuan yang dapat pengakuan dalam sastra Indonesia. A
Teeuw dan kritikus lain memuji Toeti dan menyebut tema “citra wanita” di
puisi-puisinya, meski istilah ini tak pernah benar-benar diurai. Posisi Toeti
di ranah sastra memang istimewa, meski ini juga menguak masalah besar dalam
analisis dan pendokumentasian sastra. Di mata para kritikus yang hampir
seluruhnya laki-laki, penulis perempuan umumnya tak dianggap serius karena
fokus pada tema- tema personal dan domestik. Penelitian kolektif Ruang
Perempuan dan Tulisan menunjukkan banyak sekali nama-nama penulis perempuan
yang tak tercatat dalam sejarah. Toeti tampaknya memahami
struktur yang menyingkirkan perempuan di dunia sastra. Ia terus berupaya
mengedepankan suara perempuan, baik dengan membaca, mempresentasikan, maupun
menyunting karya-karya penulis perempuan generasi muda. Salah satu
inisatifnya adalah antologi karya penyair perempuan yang diterjemahkan Harry
Aveling, Rainbow: 18 Indonesian Women poets (Indonesia Tera, 2008). Proyek
ini juga menunjukkan keinginannya untuk terus melampaui batas, termasuk
bahasa dan wilayah geografis. Tahun ini, selain
kehilangan Toeti, kita juga kehilangan tokoh feminis lain: Nawal El Saadawi.
Pemikiran Nawal yang kritis terhadap patriarki, agama, dan imperialisme Barat
telah diterjemahkan dan beredar secara global. Nawal, sebagaimana ditunjuk
aktivis Mona Eltahawy, bukanlah “Simone de Beauvoir milik masyarakat Arab,”
melainkan Nawal El Saadawi milik dunia. Mungkinkah kita mengupayakan hal yang
sama untuk Toeti Heraty? Satu hal kecil yang saya
upayakan adalah menampilkan dua puisi Toeti, diterjemahkan oleh Tiffany Tsao,
untuk buklet Deviant Disciples, bagian dari proyek Translating Feminisms yang
digagas Tilted Axis Press di Inggris. Ini hanya langkah sederhana. Masih
banyak inisiatif lain yang bisa kita lakukan untuk mendorong penyebaran hasil
karya dan pemikiran Toeti, di dalam dan di luar negeri. Di 2005, Calon Arang
menjadi inspirasi saya menulis Sihir Perempuan, kumpulan cerpen tentang
perempuan-perempuan yang dianggap sebagai monster. Sebagian cerpen dalam buku
ini diterjemahkan ke dalam Apple and Knife (2018), sebuah buku yang
mempertemukan saya dengan lebih banyak pembaca dan gagasan, melampaui
batas-batas negara. Dalam perjalanan lintas batas ini, setiap kali ditanya
siapa penulis Indonesia yang memengaruhi saya, saya selalu menyebut Toeti. Ada Toeti Heraty untuk
setiap perempuan. Mengenang Toeti adalah mengingat setiap langkah untuk
memastikan berlangsungnya estafet pengetahuan yang menghargai pemikiran
perempuan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar