Analisis
Budaya: Kisah Hari Tua Idi Subandy Ibrahim ; Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi |
KOMPAS, 12 Juni 2021
Setiap orang akan melewati
kisah hari tua dalam hidupnya, kecuali bagi yang meninggal lebih awal. Namun,
sebagian besar tidak bisa memastikan apa yang akan dialaminya di sisa-sisa
hidupnya. Meski bagi yang optimistis, hari tua dianggap sebagai buah dari apa
yang telah dipupuk di usia muda. Oleh karena itu, setiap orang merasa perlu
menyiapkan hari tuanya. Pandangan yang mengatakan
hari tua adalah hasil dari apa yang dipupuk di usia muda mengabaikan
kenyataan bahwa setiap orang menjalani sejarah sosial dan budaya yang
berbeda. Kisah hari tua tidak selalu indah untuk setiap orang. Bukankah
anggota masyarakat melewati masa-masa kehidupan mereka secara individu atau
perseorangan. Ada yang beruntung, ada yang kurang beruntung. Ada yang kaya,
biasa-biasa, dan ada yang miskin. Ada yang berpensiun besar, ada yang biasa,
dan ada yang tidak. Ada yang sehat dan ada yang sakit-sakitan. Ini, antara
lain, digambarkan oleh Paul Cann dan Malcolm Dean (2009) dalam Unequal
Ageing: The Untold Story of Exclusion in Old Age. Dalam bahasa politik
kebijakan dan ekonomi politik, usia tua sering disebut ”lansia” (lanjut
usia), ”manula” (manusia lanjut usia), dan kadang-kadang ”jompo”. Bahasa ini
adalah label untuk memosisikan usia tua yang membentuk kesadaran tentang apa
arti menjadi tua dalam sebuah masyarakat dan budaya. Usia tua sering hanya dilihat
sebagai kategori angka statistik,
jumlah dan umur, untuk obyek intervensi kebijakan bantuan pemerintah. Untuk
dicarikan solusi secara kuantitatif terhadap permasalahan dengan angka yang
sangat berdimensi ekonomistik sehingga kurang dimensi humanistiknya. Ini, misalnya, terlihat
jelas dalam produk konstitusi kita, di mana usia tua identik dengan umur dan
produktivitas. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998, ”lanjut usia”
adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Lanjut
usia potensial adalah lanjut usia yang masih mampu melakukan pekerjaan
dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan/atau jasa. Lanjut usia
tidak potensial adalah lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga
hidupnya bergantung kepada bantuan orang lain. Sebagai kenyataan pasti
bagi yang sedang mengalaminya dan kenyataan yang tak pasti bagi yang belum
mengalaminya, membuat kisah hari tua seperti medan kecemasan dan harapan bagi
setiap manusia. Jika kecemasaan adalah gambaran kerapuhan manusia, harapan
adalah gambaran kekuatannya. Harapan itu berubah menjadi kecemasan apabila
usia tua hanya dianggap sebagai urusan pribadi. Bukan masalah lebih besar,
misalnya, sejauh mana negara hadir ketika kelompok usia tua mengalami
marjinalisasi dan eksklusi dalam berbagai bentuk di masyarakatnya. Awal abad ke-21
menyaksikan peningkatan dramatis jumlah usia tua (usia di atas 60 tahun atau
65 tahun) di sejumlah negara di dunia, di mana populasi usia tua mencapai
seperempat atau seperlima dari jumlah penduduk di banyak negara. Bahkan, di
seluruh dunia jumlahnya kini hampir mencapai 1 miliar jiwa. Peningkatan
kesejahteraan ekonomi dan kesehatan dianggap faktor penting bagi perbaikan
harapan hidup sehingga umur manusia menjadi lebih panjang. Hal itu tidak hanya
terjadi di negara-negara maju, tetapi juga di negara-negara berkembang. Peningkatan jumlah
penduduk usia tua menimbulkan tantangan bagi banyak negara, termasuk
Indonesia, bagaimana membuat mereka berdaya, mandiri, merasa berguna, dan
berharga di tengah masyarakat. Tanpa menjadi penghalang bagi generasi lebih
muda untuk melakukan alih generasi, misalnya, dalam berbagai bidang
kehidupan, jenjang jabatan dan profesi. Tanpa menjadi penjaga budaya
feodalisme dan konservatisme yang menghalangi kaum muda untuk maju ke depan. Tantangan itu begitu
besar, yaitu, di satu sisi, bagaimana menjamin kebutuhan ekonomi, sosial, dan
kesehatan mereka, dan di sisi lain, bagaimana menyediakan ruang bagi
kebutuhan kultural dan psikologis bagi kelompok umur yang secara stereotip
sering digeneralisasikan sebagai ”generasi pascaproduktif” ini. Meski sudah
tentu tidak sedikit juga di antara mereka yang karena berbagai kondisi dan
profesi masih bisa terus produktif walau sudah di atas 60 tahun atau 65
tahun. Dehumanisasi Usia tua jarang dilihat
sebagai kategori kultural sehingga dimensi kemanusiaan dari hari tua tak
jarang luput dari perhatian. Bagi kelas menengah atas, hari tua sekian lama
diidentikkan dengan industri kenangan atau bisnis memori, seperti mengisi
waktu luang dengan wisata dan komunitas-komunitas eksklusif atau menulis
memori atau biografi untuk mengabadikan masa lalu. Bagi kelas menengah bawah,
hari tua menjadi sasaran industri kecemasan dengan menjanjikan jaminan hari
tua yang tak pasti. Seperti dengan maraknya industri asuransi, yang hanya
bersemangat saat menagih pembayaran premi tetapi lesu darah ketika diminta
komplain. Jauh sebelum pandemi
Covid-19, kisah hari tua adalah kisah lain pertumbuhan industri budaya. Di
satu sisi, hari tua telah lama menjadi sasaran komodifikasi gaya hidup
penuaan, iklan obat, dan asuransi kematian. Di sisi lain, landasan psikologi
mereka terus diserang dengan pesona ”kemudaan” sebagai primadona dalam ruang
publik dan landasan industri budaya populer. Paras dan gaya hidup muda nan
ganteng dan cantik menjadi kriteria kesuksesan dalam bisnis hiburan, hiasan
industri gosip, serta bintang dalam acara bincang di layar televisi dan
Youtube. Dalam berbagai bentuknya
yang kasatmata, dehumanisasi hari tua masih berlangsung dalam ruang publik.
Apa yang disebut para ahli arsitektur kritis, sebagai budaya kota yang
melukai, benar-benar terus melukai kisah hari tua. ”Taman lansia” dan jalur
pejalan kaki memang sudah muncul di beberapa kota, tetapi kesadaran umum
arsitektur jalan, kota, dan ruang kota belum sepenuhnya ramah usia tua.
Fasilitas transportasi publik dan tata ruang publik belum menyediakan ruang
khusus yang ramah untuk mereka. Dalam budaya antrean, kesadaran untuk
menghargai orang lebih tua belum mendarah daging dalam laku anak bangsa. Tak heran, semakin tua,
semakin di bawah posisinya dalam strata sosial, gejala keterasingan dan
kesepian kian menghinggapi kaum tua. Tak hanya keterasingan di tengah
kemiskinan, tetapi juga kesepian di tengah kelimpahan kekayaaan. Seperti
kisah kesepian orang supersukses yang hidup sendirian di tengah rumah mewah
dengan berbagai fasilitas dan koleksi kendaraan supermewah. Namun, di
sisa-sisa usianya yang makin senja, tak kuasa menahan air mata. Menyesali
saat teringat ketika masih muda pernah menawar harga beberapa potong pisang
goreng kepada pedagang kaki lima tua. ”Kenapa itu saya lakukan?” kata hati
kecilnya. Rupanya kisah hari tua
juga bisa menjadi gambaran lain bagaimana kecemasan dan penyesalan masih
selalu ada meski mungkin apa yang disebut harapan itu sudah ada dalam
genggaman seseorang. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar