Catatan
untuk Partai-partai Baru Firman Noor ; Kepala Pusat Penelitian Politik
LIPI |
KOMPAS, 03 Juni 2021
Saat ini beberapa partai
politik baru bermunculan dan mendeklarasikan diri. Fenomena itu biasa dalam
kehidupan demokrasi. Demokrasi merupakan medium yang paling membuka peluang
bagi kehadiran partai-partai hingga Max Webber (1990) menyebut parpol sebagai
anak kandung demokrasi. Di sisi lain, demokrasi tak dapat hidup dengan baik dan
layak tanpa kehadiran parpol (Schattschneider, 1942). Kehadiran partai-partai
baru dalam kondisi demokrasi kita saat ini patut diapresiasi bahkan
disyukuri. Ini menunjukkan bahwa apatisme politik tak menjangkiti seluruh
kalangan. Masih terdapat kelompok yang memiliki idealisme untuk berbuat
sesuatu bagi kehidupan politik kita. Adanya partai-partai baru dengan
berbagai idealisme dan kepentingannya juga penting mengingat keberadaan
mereka menjadi hal yang memungkinkan masih terjadinya kontrol bagi kekuasaan. Tanpa kehadiran
partai-partai baru, akan muncul semacam stagnasi dalam kehidupan politik
demokrasi, termasuk soal mutu checks and balances. Tantangan
partai baru Setidaknya ada lima hal
yang saling berkelindan atau bertautan yang tak dapat dibaikan untuk bisa
dapat mendeklarasikan diri dan bertahan dalam kehidupan politik di Indonesia. Pertama, partai-partai
baru harus memiliki basis massa riil sebagai modalitas politik. Konkretnya,
konstituen atau basis politik-kultural berdasarkan garis ideologi politik
yang ada di Indonesia. Basis-basis politik, apakah komunitas kalangan
nasionalis, Islam modernis, Islam tradisionalis, atau lainnya, merupakan
basis-basis konstituen yang penting untuk dimiliki, bahkan dikuasai. Hanya
partai yang memiliki basis dukungan nyata yang bisa bertahan dalam percaturan
politik nasional. Pengalaman partai-partai
baru yang tak lolos ambang batas parlemen adalah karena mereka tak memiliki
basis massa memadai. Kebanyakan bergantung pada jaringan terbatas yang hanya
ada di permukaan atau di kota besar. Mereka secara mendasar tak mewakili atau
teridentifikasikan sebagai bagian atau penyalur aspirasi kelompok budaya
politik tertentu. Meski tak jadi jaminan, partai yang memiliki ikatan
kultural tinggi dengan kelompok budaya politik tersebut punya peluang lebih
besar ketimbang yang tak memiliki. Kedua, partai-partai baru
harus mampu bekerja sebagai mesin politik yang hidup dan berjalan secara
efektif di tengah masyarakat. Partai harus menjadi semacam political enabler
yang bergerak secara aktif, terprogram, dan tepat mengarah baik kepada
tokoh-tokoh kunci, basis-basis politik yang berpengaruh, maupun akar rumput. Untuk itu, tak saja perlu
pemahaman yang memadai atas kondisi atau peta politik dan kerja-kerja konkret
membangun jaringan dan simpul-simpul politik di tengah masyarakat. Pengalaman
partai baru yang tak lagi terdengar adalah karena partai tak segera bergerak
secara militan di tengah masyarakat, atau tak cukup efektif mendekati
masyarakat karena minim pemahaman atas konstelasi politik yang ada. Ketiga, visi, misi,
agenda, dan program partai yang relevan, kontekstual, dan mencerahkan. Itu
penting karena pemilih saat ini cenderung kian memperhitungkan ini, seiring
dengan semakin kritis dan pragmatisnya masyarakat. Beberapa hasil survei
mengindikasikan, pilihan politik masyarakat dipengaruhi alasan-alasan
rasional yang tertuang dalam visi, misi, atau agenda partai. Hasil survei
LP3ES (2021), misalnya, menyatakan tiga besar alasan pemilih dalam memilih
partai: (1) loyalitas kepada partai, (2) visi dan misi partai, dan (3)
memihak (peduli) rakyat kecil. Eksistensi partai akan tak
banyak bermakna jika agenda politiknya dipandang tak sejalan dengan
kepentingan masyarakat banyak. Ini logis mengingat partai merupakan media
menyalurkan aspirasi yang tak boleh jadi eksklusif dan terjebak memori atas
kejayaan masa lalu (the glory of the past). Sebagai partai baru, tuntutan
agenda politik yang khas ini juga penting, sebab jika tak ada sesuatu yang
baru untuk ditawarkan, akan dipandang tak ada beda dengan partai yang sudah
ada. Kekuatan
finansial Keempat, kekuatan
finansial juga sangat penting. Konsekuensi paling nyata dalam kehidupan
demokrasi adalah politik berbiaya tinggi. Prosesi meyakinkan banyak orang,
dari mereka yang tak paham menjadi pemilih, jelas membutuhkan dukungan
perangkat yang memungkinkan itu terjadi. Apalagi terdapat pesaing yang
melakukan hal yang sama dalam waktu bersamaan. Tak heran jika penggalangan
dana merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam momen-momen pemilu di
negara-negara demokrasi. Di negara demokrasi maju,
penggalangan dana dikelola secara profesional, melibatkan jaringan partai
atau sukarelawan. Kebutuhan finansial ini jelas tak terbantahkan dalam
kehidupan politik kita. Apalagi beberapa kajian menunjukkan Indonesia
termasuk negara dengan biaya politik amat tinggi, dan juga politik uang
tertinggi di dunia (Aspinall dan Berenschot, 2019). Ini karena transaksi
politik demikian tinggi, melibatkan elite hingga rakyat kebanyakan. Partai yang tak memiliki kekuatan
ini tak mudah bersaing dengan partai lain meskipun tak menjamin bahwa
kekuatan finansial akan berbanding lurus dengan kesuksesan pemilu. Hanya
saja, sebagai debutan, upaya mendongkrak popularitas dan meyakinkan pemilih
jadi lebih berat. Di sini peran kekuatan finansial itu bermakna. Kelima, harus sedapat
mungkin mampu merebut dukungan tokoh-tokoh, baik pada level nasional maupun
lokal. Keberadaan tokoh memiliki nilai praktis yang dampaknya tak sederhana,
yakni secara internal dapat mempersatukan kader dengan beragam latar belakang
dan mengatasi sekat-sekat komunikasi. Ini sangat diperlukan partai-partai
baru yang masih dalam tahap awal formasinya. Tokoh juga bisa memudahkan
dalam meluaskan dukungan ke akar rumput. Ketiadaan tokoh-tokoh yang mumpuni
menjadi penyebab kemunduran partai-partai baru karena kebuntuan dalam
mendapatkan akses politik ke masyarakat. Ketokohan juga dapat membangun rasa
bangga dan memotivasi kader dalam melakukan yang terbaik untuk partai. Berdasarkan beberapa
survei, faktor ketokohan masih diperhitungkan masyarakat saat memilih. Namun,
ketokohan ini harus dijaga proporsinya hingga tak menimbulkan ketergantungan
dan mematikan demokrasi internal. Kelima hal di atas
merupakan batasan minimal yang harus berjalan simultan. Artinya, ada
faktor-faktor lain yang juga turut memengaruhi kesuksesan sebuah partai baru.
● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar