Transformasi
IAIN ke UIN M Zainuddin ; Guru Besar dan Wakil Rektor Bidang Akademik
UIN Maliki Malang |
KOMPAS, 12 Juni 2021
Presiden Joko Widodo telah
menetapkan enam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam
Negeri (UIN) pada 11 Mei 2021 dengan diterbitkannya peraturan presiden
tentang perubahan status keenam Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri
(PTKIN) tersebut. Enam PTKIN tersebut meliputi UIN Sayid Ali Rahmatullah
Tulungagung, UIN Prof KH Saifuddin Zuhri Purwokerto, UIN Raden Mas Said
Surakarta, UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda, UIN KH Ahmad Shiddiq
Jember, dan UIN Fatmawati Soekarno Bengkulu. Dengan demikian, UIN di
Indonesia menjadi 23 buah. Transformasi kelembagaan
di atas dilatarbelakangi oleh ekspektasi masyarakat seiring dengan
perkembangan ilmu dan teknologi serta tuntutan era modernitas yang semakin
kompleks dan harus tetap berbasis pada nilai-nilai Islam atau integrasi
keilmuan. Maka, kehadiran UIN menuntut adanya pembukaan program studi umum
seperti universitas-universitas pada umumnya. Selama ini kehadiran IAIN
yang ada belum dianggap cukup memadai untuk pengembangan ilmu. Itulah yang
kemudian melahirkan ide para pengambil keputusan bahwa IAIN tidak saja
terbatas mengembangkan fakultas yang ada selama ini (ushuluddin, syariah,
tarbiyah, adab, dan dakwah). Sesuai dengan sifat universalitas ajaran Islam,
IAIN juga seharusnya membuka diri mengembangkan ilmu-ilmu lain yang justru
diyakini akan memperluas pemahaman terhadap nilai dan petunjuk-petunjuk yang
diisyaratkan lewat kitab suci Al Quran maupun sunah Nabi. Pemikiran tersebut juga
muncul sebagai konsekuensi terhadap pemahaman Islam yang semakin berkembang.
Islam tidak saja dipahami sebagai agama dalam pengertian sempit dan terbatas,
yang hanya menyangkut tuntunan spiritual, melainkan juga bersifat universal
menyangkut berbagai aspek kehidupan, sehingga pemikiran tersebut mampu
mendorong pengembangan kajian Islam dalam lingkup yang lebih luas. Sementara
itu, kehadiran IAIN juga dianggap belum cukup memadai untuk pengembangan ilmu
yang dipandang utuh—yang tidak memisahkan antara ilmu agama dan
umum—melainkan harus sesuai dengan sifat universalitas ajaran Islam yang
inklusif. Dalam perspektif historis,
juga dikenal sejumlah figur intelektual Muslim yang menguasai dua disiplin
ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Sebut saja misalnya Al-Kindi,
Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn-Rusyd, Ibn-Thufail. Mereka adalah para figur
intelektual Muslim yang memiliki kontribusi besar terhadap kemajuan dunia
Barat modern sekarang ini. Jika pada awalnya
kajian-kajian keislaman hanya terpusat pada Al Quran, al-hadis, kalam, fikih,
dan bahasa, maka pada periode berikutnya, setelah kemenangan Islam di
berbagai wilayah, kajian tersebut berkembang dalam berbagai disiplin ilmu,
yaitu fisika, kimia, kedokteran astronomi, dan ilmu-ilmu sosial. Kenyataan
ini bisa dibuktikan pada masa kegemilangannya antara abad ke-8-12, dari
Dinasti Abbasiyah (750-1258) hingga jatuhnya Granada tahun 1492. Integrasi
keilmuan Transformasi IAIN menjadi
UIN memang tidak lepas dari pro dan kontra. Sebagian kelompok beranggapan
bahwa jika IAIN menjadi universitas, fakultas agama akan didominasi oleh
fakultas umum seperti yang terjadi selama ini di beberapa universitas Islam
di Indonesia. Bahkan kesan ini juga
terjadi pada seorang pakar Islam seperti Nurcholish Madjid saat awal
kemunculan UIN. Madjid, misalnya, melihat kasus di Universitas Al-Azhar yang
animo fakultas agamanya sangat rendah. Di sinilah yang harus diantisipasi
terkait dengan kehadiran UIN di Indonesia, dan mampukah UIN memadukan ilmu
dan agama dalam konteks teoretis maupun praktis? Sains dan teknologi dari
waktu ke waktu terus mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat, seiring dengan
tingkat berpikir manusia. Dari tahapan yang paling mitis, pemikiran manusia
terus berkembang hingga sampai pada yang supra-rasional. Atau kalau meminjam
terminologi Peursen, dari yang mitis, ontologis, hingga fungsional. Sementara
menurut Comte, dari yang teologis, metafisik, hingga positif. Demikian pula perkembangan
industri di abad ke-18 hingga revolusi digital 4.0 saat ini yang telah
menimbulkan berbagai implikasi sosial dan politik telah melahirkan berbagai
cabang ilmu. Penggunaan senjata nuklir sebagaimana pada abad ke-20 telah
melahirkan ilmu baru yang disebut dengan polemologi dan seterusnya entah apa
lagi nanti namanya. Secara konseptual
sebetulnya bagi orang Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan
hal yang baru—apalagi asing—melainkan merupakan bagian yang paling dasar dari
kemajuan dan dan pandangan dunianya (world-view). Oleh sebab itu, tidaklah
mengherankan jika ilmu memiliki arti yang sedemikian penting bagi kaum
Muslimin pada masa awalnya, sehingga tidak terhitung banyaknya pemikir Islam
yang larut dalam upaya mengungkap konsep ini. Konseptualisasi ilmu yang
mereka lakukan tampak dalam upaya mendefinisikan ilmu yang tiada
habis-habisnya. Ini dilakukan dengan kepercayaan bahwa ilmu tak lebih dari
perwujudan ”memahami tanda-tanda kekuasaan Tuhan”, seperti juga membangun
sebuah peradaban yang membutuhkan suatu pencarian pengetahuan yang
komprehensif. Dahulu, tepatnya pada abad
ke-8 hingga dengan abad ke-12, umat Islam berada pada zaman kejayaannya,
zaman di mana ilmu pengetahuan dan peradaban Islam berkembang pesat mencapai
puncaknya. Pada saat itu, umat Islam menjadi pemimpin dunia karena
pergumulannya dengan ilmu dan filsafat yang mereka tekuni, terutama ilmu-ilmu
murni (natural sciences). Pada masa ini, muncul
tokoh-tokoh dan ilmuwan yang sangat aktif dan andal, sebut saja Al-Kindi,
Al-Khawarizmi, Al-Razi, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Biruni, Al-Ghazali. Para
ilmuwan tersebut oleh Sayyed Hossein Nasr (1970) disebut sebagai figur-figur
universal ilmu pengetahuan Islam. Lebih dari itu, dalam era
modern dan globalisasi ini, kita perlu mengembangkan ilmu agama Islam pada
wilayah praksis. Bagaimana ilmu-ilmu yang dikembangkan tersebut mampu memberi
kontribusi yang paling berharga bagi kepentingan kemanusiaan sebagaimana yang
pernah dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim sebelumnya. Berpadunya aspek idealisme
dan realisme atau rasionalisme dan empirisme dalam paradigma keilmuan Islam
perlu dikembangkan. Pola pengajaran maintenance learning yang selama ini
dipandang terlalu bersifat adaptif dan pasif harus segera ditinggalkan.
Dengan begitu, lembaga pendidikan Islam setiap saat dituntut untuk selalu
melakukan rekonstruksi pemikiran kependidikan dalam rangka mengantisipasi
setiap perubahan yang terjadi. Dengan kebijakan
pemerintah tersebut, UIN memiliki peluang untuk mencetak sarjana Muslim yang
memiliki dua keunggulan, yaitu keunggulan di bidang sains dan teknologi,
sekaligus keunggulan di bidang wawasan keislaman. Lebih dari itu, yang perlu
diantisipasi untuk menghindari dikotomi maka setiap tenaga pengajar harus
mampu mengaitkan setiap materi kuliahnya dengan roh dan pesan-pesan Islam. Di
sinilah maka lembaga pendidikan tinggi ini dituntut untuk memiliki dosen yang
profesional. Dalam konteks pengembangan
pendidikan, konsep George Count, salah seorang eksponen rekonstruksionisme,
masih relevan untuk dikemukakan di sini bahwa dosen hendaknya meningkatkan
status dan perannya secara profesional. Selain menjadi pendidik, hendaknya
dosen juga turut mengamati masalah-masalah yang timbul dalam institusi
sosial, yang merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu,
pengetahuan yang diberikan tidak hanya yang bersifat normatif-repetitif,
tetapi harus berkaitan dengan persoalan-persoalan yang timbul dalam
masyarakat. Materi geografi, misalnya, dapat dikaitkan dengan problem
kepadatan penduduk, urbanisasi, dan seterusnya. Materi fisika dapat dikaitkan
dengan pertanyaan etis mengenai gejala perlombaan senjata nuklir dan
dijelaskan beberapa dampak negatifnya untuk kemudian diarahkan pada kesadaran
akan perdamaian manusia. Pada materi agama
hendaknya dosen mampu menjelaskan makna agama secara transformatif dan
inovatif, menanamkan nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari,
seperti kejujuran, amanah, tanggung jawab, dan menanamkan kehidupan umat
beragama yang harmonis. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar