Salah
Menggunakan Kata ”Kalau” Nur Adji ; Penyelaras Bahasa Kompas |
KOMPAS, 12 Juni 2021
Bahasa jurnalistik
termasuk ragam semiformal. Kira-kira demikian pernyataan Bu Felicia Utorodewo
saat membekali calon wartawan di kelas diklat. Disebut semiformal karena
pilihan kata dan gaya bahasanya berbeda, misalnya, dengan pilihan kata dan
gaya bahasa akademis yang formal. Meskipun demikian, menurut
pengarang buku Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah itu,
pemilihan kata dalam tulisan jurnalistik tetap harus diperhatikan. Tidak
boleh sembarang menempatkan kata yang tidak sesuai dengan makna, peruntukan,
atau bangun kalimatnya. Penempatan kata yang tidak
sesuai dengan maknanya, atau peruntukannya, atau bangun kalimatnya memang
masih kerap ditemukan dalam tulisan-tulisan jurnalistik, juga tulisan
akademis. Salah satunya, penggunaan kata kalau dalam kalimat. Kata kalau berkategori
kata hubung (antarklausa) dan digunakan di depan klausa yang menandai syarat
(kondisional). Isinya menyatakan sesuatu yang mungkin, tetapi bisa juga
sesuatu yang tidak mungkin, dilaksanakan atau mungkin tercapai. Kata ini juga
menandakan pengandaian. Kita lihat contoh kalimat
sederhana berikut. ”Kalau tidak cedera, Sergio Ramos pasti akan memperkuat
Spanyol di Piala Eropa”. Contoh lain: ”Kalau dia menjadi presiden, saya akan
menjadi menterinya”. Kalimat pertama
menunjukkan adanya syarat yang harus dipenuhi Ramos agar bisa memperkuat
Spanyol di Piala Eropa, yakni tidak cedera. Hal itu mungkin terjadi apabila
Ramos betul-betul tidak cedera. Namun, kenyataan membuktikan Ramos tidak
memperkuat Spanyol karena cedera. Adapun kalimat kedua
menunjukkan bahwa syarat agar saya menjadi menteri adalah apabila dia menjadi
presiden. Hal itu rasanya tidak mungkin terjadi atau tidak mungkin tercapai
mengingat belum tentu jika dia terpilih menjadi presiden, lalu memilih saya
sebagai menterinya. Klausa yang mengandung
makna syarat pada contoh di atas adalah klausa yang didahului kata kalau
(kalau tidak cedera dan kalau dia menjadi presiden). Keduanya digolongkan
sebagai klausa terikat, klausa yang tidak bisa berdiri sendiri. Dalam tataran
kalimat disebut anak kalimat. Adapun klausa yang
mendampinginya adalah klausa bebas, klausa yang bisa berdiri sendiri. Dalam
tataran kalimat disebut induk kalimat. Masing-masing adalah Sergio Ramos
pasti akan memperkuat Spanyol di Piala Eropa dan saya akan menjadi
menterinya. Dari segi tata bahasa,
kedua kalimat itu tidak bermasalah. Kedua kalimat itu juga benar-benar baik
sebagai kesatuan. Kedua kalimat itu dikatakan bermasalah jika klausa bebasnya
(induk kalimatnya) tidak dicantumkan. Kalimat tersebut menjadi menggantung.
Tidak tuntas. Jadi, jika sebuah klausa
menggunakan kata kalau, dapat dipastikan klausa tersebut adalah klausa
terikat (anak kalimat). Maka, klausa pasangannya harus berupa klausa
bebas/induk kalimat. Jika tidak, kalimat tersebut akan menggantung. Maknanya
tercekat di kerongkongan. Tidak
tepat Lalu, bagaimana dengan
pemakaian kalau (juga jika dan apabila) pada contoh berikut, yang hingga hari
ini dapat kita temukan dalam penggunaan bahasa sehari-hari? 1. Komisaris
Peter Taylor, salah satu polisi yang menangani insiden Hillsborough,
menyatakan kalau tribun berdiri sudah seharusnya diubah menjadi tribun duduk. 2. Mensos
mengatakan jika bantuan yang disalurkan pada bulan April tersebut adalah
bantuan bencana alam dan bukan bantuan PKH seperti yang disebutkan Bupati
Alor. 3. Ia
mengatakan apabila stok beras yang ada saat ini meresahkan dirinya. Ketiga contoh tersebut
memperlihatkan penggunaan kalau, jika, dan apabila yang tidak sesuai dengan
peruntukannya. Kalimat dengan kata hubung tersebut sepertinya kalimat
sempurna, padahal tidak. Ketidaksempurnaan itu disebabkan ketidaktepatan
penggunaan kalau, jika, dan apabila yang menyebabkan kalimat mengambang. Pada contoh pertama,
misalnya, penggunaan kalau menyebabkan kalimat menggantung (… menyatakan
kalau tribun berdiri sudah seharusnya diubah menjadi tribun duduk). Kalimat tersebut dianggap
belum selesai karena penulis menggunakan kata kalau. Kalau dibaca,
intonasinya belum turun ketika kita membaca. Hal itu membuktikan bahwa
kalimat itu belum selesai dan seharusnya tidak boleh diberi tanda titik.
Bagian kalimat dari kata kalau sampai duduk berisi syarat. Ketika membaca kalimat
tersebut, mestinya kita akan bertanya, lalu kenapa kalau tribun berdiri sudah
seharusnya diubah menjadi tribun duduk? Kalimat dianggap selesai
jika kita mengganti kalau dengan kata hubung yang dipergunakan untuk
menyatakan isi atau uraian bagian kalimat yang berada di depan, yakni bahwa.
Kata bahwa juga menandakan bahwa klausa yang mengikutinya merupakan
pernyataan, bukan pengandaian. Dengan demikian, perbaikan
terhadap ketiga kalimat contoh di atas adalah sebagai berikut. 1. Komisaris
Peter Taylor, salah satu polisi yang menangani insiden Hillsborough,
menyatakan bahwa tribun berdiri sudah seharusnya diubah menjadi tribun duduk. 2. Mensos
mengatakan bahwa bantuan yang disalurkan pada bulan April tersebut adalah
bantuan bencana alam dan bukan bantuan PKH seperti yang disebutkan Bupati
Alor. 3. Ia
mengatakan bahwa stok beras yang ada saat ini meresahkan dirinya. Di beberapa media, kata
bahwa dalam kalimat tersebut malah bisa diganti dengan tanda koma, atau tidak
diberi tanda sama sekali. Salah satu contoh di atas, umpamanya saja, bisa
diubah menjadi ”Komisaris Peter Taylor, salah satu polisi yang menangani
insiden Hillsborough, menyatakan, tribun berdiri sudah seharusnya diubah
menjadi tribun duduk”. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar