Hukum
Praperadilan di Indonesia
Romli Atmasasmita ; Guru
Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
|
KORAN
SINDO, 04 Februari 2015
Hukum praperadilan di Indonesia mirip dengan pre-trial dalam sistem hukum yang
dianut di Amerika Serikat atau negara penganut sistem common law lainnya. Bahkan hukum praperadilan Indonesia bisa
dikatakan adopsi dari sistem hukum di sana. Momentum bersejarah peralihan
dari sistem hukum acara pidana kolonial ke sistem hukum acara pidana
Indonesia merdeka terletak dari perubahan pandangan terhadap status seseorang
yang terlibat ke dalam sistem peradilan pidana.
Sebelumnya seseorang yang terlibat itu dianggap sebagai
objek, lalu berkembang dipandang sebagai subjek yang wajib memperoleh
perlindungan hukum tanpa melihat latar belakang sosial, ekonomi, politik dll.
Filosofi hukum acara pidana Indonesia yang baru dalam bentuk UU RI Nomor
8/1981 juga telah sejalan dengan UU RI Nomor 12/1995 tentang Pengesahan
ICCPR.
Di dalamnya antara lain ditegaskan mengenai perlindungan
minimum (minimum gurarantees)
terhadap setiap orang yang telah diduga melakukan tindak pidana (Pasal 14
angka 3 huruf b) dan jaminan upaya pemulihan dari negara terhadap setiap
orang dari perlakuan aparatur hukum sekalipun di dalam melaksanakan
jabatannya (Pasal 2 angka 3 huruf a dan b).
Hukum praperadilan mengatur hak tersangka/terdakwa
mengajukan keberatan terhadap perlakuan aparatur hukum dalam empat hal:
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan.
Dalam praktik hukum, sering terjadi bahwa ketentuan UU
tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata
merupakan pelanggaran hak asasi seseorang sehingga yang bersangkutan tidak
memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari negara.
Peristiwa ini pernah terjadi dalam kasus Sengkon dan Karta
atas kekeliruan mengenai orang (error
in persona) yang baru ditemukan setelah kedua orang ini menjalani hukuman
sehingga diakui kemudian dibolehkan pengajuan permohonan peninjauan kembali
(PK) dalam perkara pidana. Lalu muncullah pengakuan alat bukti elektronik
dalam beberapa undang-undang pidana khusus yang semula tidak diakui dalam
KUHAP.
Yang terkini lahir beberapa putusan mengenai sah tidaknya
penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah
kewenangan praperadilan. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam
kenyataan masyarakat menurut pendapat saya bukanlah sesuatu hal yang mustahil
terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem
hukum common law, yang telah
merupakan bagian dari sistem hukum yang bersangkutan.
Peristiwa hukum yang terjadi sekalipun tidak diatur dalam
suatu UU (hukum tertulis) menurut penulis merupakan bagian dari dinamika
kehidupan masyarakat dalam mencari, memperoleh, dan menemukan keadilan
sebagai salah satu tujuan hukum di samping kepastian hukum dan kemanfaatan.
Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto
Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough)
atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja
merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai
keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara
pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan
nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek
normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis
aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
Jika hukum diperlakukan secara konservatif atau hanya
mempertahankan statusquo, akan dihasilkan hukum yang tidak aspiratif terhadap
perkembangan kehidupan masyarakat atau bukan hukum yang baik. Di sinilah
makna perkembangan hukum yang sesungguhnya dalam pandangan aliran sociological jurisprudence yang
berbeda atau bertentangan dengan pandangan aliran positivisme hukum yang
memandang hukum sebagai suatu sistem norma dan logika (system of norms and logic).
Cara pandang pertama telah diwujudkan dalam ketentuan
Pasal 5 UU RI Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu ”Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.” Aturan tersebut sudah tentu merupakan pedoman
dan rujukan para hakim di Indonesia dalam penanganan setiap perkara, termasuk
perkara praperadilan.
Setiap tindakan hukum oleh aparatur hukum dalam sistem
peradilan pidana Indonesia merupakan hasil dari suatu proses panjang sejak
penyelidikan sampai pemeriksaan di pengadilan; bukan suatu tindakan hukum
yang serta-merta dan tergesa-gesa karena tindakan hukum tersebut
bersinggungan dengan hak-hak asasi seseorang.
Kulminasi dari serangkaian tindakan hukum tersebut
seharusnya dapat mencerminkan ketelitian dan kepastian yang dapat
dipertanggungjawabkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum pidana yaitu
kebenaran material. Atas dasar itu, setiap tindakan hukum sejak penyelidikan
sampai penuntutan harus memenuhi asas akuntabilitas, profesionalitas, dan
integritas serta transparansi, terlebih tindakan hukum dimaksud telah
ditentukan di dalam KUHAP.
Dalam membaca dan memahami hukum praperadilan berdasarkan
KUHAP, terpenting adalah tidak melihat dan memahaminya hanya sebagai suatu
norma kewenangan penegak hukum, termasuk KPK, melainkan harus dipandang juga
sebagai wujud perlindungan hak asasi seseorang tersangka sebagaimana telah
diamanatkan di dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945: ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di muka hukum.”
Wujud perlindungan hak asasi dimaksud juga telah diatur di
dalam KUHAP yang merupakan ketentuan tentang tata cara penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Berdasarkan uraian ini, tidaklah aneh dan tidak mustahil
jika wilayah hukum praperadilan tidak hanya mempersoalkan kebenaran langkah
hukum dalam keempat hal sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 KUHAP, melainkan
juga termasuk tindakan hukum lain yang bersinggungan dengan perlindungan hak
asasi setiap tersangka.
Peristiwa penetapan tersangka yang dilanjutkan pada
penangkapan dan penahanan merupakan conditio
sine qua non, bukan merupakan conditio
cum qua non dari proses penyelidikan danpenyidikan. Maka jika dalam kedua
prosedur tersebut terjadi perbuatan melawan hukum, proses penetapan tersangka
juga termasuk penangkapan dan penahanannya adalah cacat hukum dan dapat
dibatalkan (vernietegbaar). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar