Minggu, 06 Juni 2021

 

Tafsir Islam Progresif Ideologi Pancasila

Zuly Qodir ; Sosiolog; Direktur Program Doktor Politik Islam UMY

KOMPAS, 01 Juni 2021

 

 

                                                           

Sejarawan Kuntowijoyo mengingatkan, dalam era industrialisasi dan informasi seperti saat ini, kita tidak bisa lagi menjadikan Pancasila hanya sebagai mitos. Pancasila harus menjadi ideologi. Pancasila karena itu harus rasional. Kita harus memasyarakatkan Pancasila dalam dimensi sejarah, bukan magis pada masyarakat (Kuntowijoyo, 1997).

 

Sangat menarik apa yang dikemukakan sejarawan ternama tersebut. Hal ini berkaitan dengan adanya semangat baru masyarakat Indonesia untuk menjadikan Pancasila sebagai ”pedoman hidup” bangsa dan negara dalam konteks kekinian. Konteks masyarakat yang sangat deras dibanjiri pelbagai macam arus ideologi dunia, seperti liberalisme, sosialisme, individualisme, dan kapitalisme global. Pertarungan ideologi yang oleh Francis Fukuyama sebagai episode the end of Ideology, ternyata semakin deraslah persoalan ideologi menguat ke permukaan.

 

Membudayakan Pancasila

 

Menjadikan Pancasila sebagai ideologi rasional oleh karena itu kita harus mengembalikan Pancasila benar-benar menjadi ”dasar pijakan” berbangsa dan bernegara. Dia sudah taken for granted, tidak meragukan lagi Pancasila sebagai pedoman hidup bernegara warga masyarakat Indonesia.

 

Oleh karena itu, diperlukan pendekatan baru untuk memasyarakatkan Pancasila agar tidak menjadi mitos yang bersifat magis. Saat ini, ketika anak-anak bangsa saling berkelahi karena urusan politik kepentingan, saatnya mengembalikan pembudayaan Pancasila dalam kehidupan kaum elite.

 

Pancasila sebagai ideologi rasional karena itu harus dimasyarakatkan, khususnya kaum elitenya. Pancasila akan menjadi bagian dari masyarakat jika terlihat jelas dalam praktik-praktik berpolitik, beragama, bermasyarakat, serta individual.

 

Orang yang mengamalkan ideologi Pancasila adalah orang yang perilakunya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Jika dia Islam, maka bertuhan dengan rasional. Bertuhan yang berkebudayaan, yakni tidak memaksakan kehendak, tidak membenci yang berbeda, tidak menjelek-jelekkan pihak lain yang berbeda, serta memberikan rasa empati pada sesama makhluk Tuhan. Teladan dari para elite tentang Pancasila inilah yang dinantikan, bukan khotbah.

 

Oleh sebab itulah, Pancasila sebagai ideologi rasional harus menjadi ”saksi di muka bumi Indonesia”, bahwa para pelaku politik, ekonomi, kebudayaan, dan agama harus mencerminkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Jika kita seorang politikus, maka kita harus berjiwa besar menerima kekalahan jika dalam bertarung kalah. Jika kita seorang agamawan maka kita harus jujur dan berkata yang benar dalam berkata-kata dan bertindak. Demikian seterusnya. Inilah yang kita maksudkan dengan Pancasila harus menjadi saksi dalam hidup.

 

Pancasila oleh sebab itu tidak bisa dihadirkan di masyarakat dengan metode yang ”membunuh partisipasi” warga negara. Pancasila dihadirkan pada masyarakat tidak dengan cara-cara pemaksaan di bawah todongan bedil atau meriam. Bahkan, Pancasila tidak boleh dihadirkan di masyarakat dengan cara untuk menghukum masyarakat.

 

Manusia pancasilais adalah manusia yang taat hukum. Karena itu, Pancasila sebenarnya adalah ”arah pembuatan hukum” di Indonesia. Inilah yang kita maksudkan dengan membudayakan Pancasila. Pancasila bukan sebagai mitos yang mengerikan, tidak bisa didiskusikan nilainya. Kita diskusikan bukan untuk ”menghukum Pancasila”, tetapi untuk mencari inspirasi baru dari nilai-nilai Pancasila yang dapat dipraktikkan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara secara bersama menuju negara yang aman, damai, sejahtera, dan makmur.

 

Imperatif Islam

 

Banyak tulisan menyatakan bahwa Pancasila tidak ada satu pun nilainya yang bertentangan dengan Islam. Ahmad Syafii Maarif, Cak Nur, Abdurrahman Wahid, ataupun Azyumardi Azra menyatakan bahwa Pancasila itu bisa dikatakan sebagai obyektivikasi Islam. Inilah Pancasila dalam praktik kehidupan Muslim Indonesia. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa Islam merupakan imperasi atas nilai-nilai Pancasila.

 

Dengan pandangan demikian, sebenarnya tidak perlu lagi umat Islam mempersoalkan nilai-nilai Pancasila yang kemudian dijadikan dasar negara. Tetapi, pada kenyataannya ada sekelompok anggota masyarakat Indonesia yang terus mempertanyakan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

 

Tidak perlu lagi umat Islam mempersoalkan nilai-nilai Pancasila yang kemudian dijadikan dasar negara.

 

Pancasila oleh kelompok kecil ini dianggap sebagai thagut. Oleh sebab itu, negara yang berdasarkan thagut pantas untuk diperangi dan dasarnya harus diganti menjadi dasar negara yang diridai Tuhan, yakni bukan Pancasila. Bukan hanya dasar negara yang harus diubah, bentuk negara pun harus diubah sehingga negara Indonesia harus diubah menjadi negara Islam (islamic state) atau khilafah Islamiyah.

 

Ada kelompok yang menginginkan perubahan dasar negara dan bentuk negara. Mereka telah dibubarkan, tetapi sering meminta suaka politik pada Muhammadiyah dan NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia.

 

Pancasila yang nilai-nilainya oleh para sarjana Muslim dianggap sebagai imperasi Islam atas dasar negara Indonesia ternyata pada realitasnya sering dipertentangkan dengan adanya pelbagai perilaku anak-anak bangsa yang kita anggap kurang pancasilais. Perilaku korupsi, ingin menang sendiri, membenci pihak lain, serta memonopoli kebutuhan ekonomi menjadi hal yang tidak bisa kita mungkiri adanya. Oleh karena itu, mereka yang tidak setuju dengan Pancasila sebagai dasar negara kemudian mengajukan dasar negara yang lain untuk Indonesia.

 

Hal yang berbahaya jika ada pertentangan yang cukup kuat di kalangan masyarakat antara ideologi Pancasila dan Islam. Pancasila diperhadap-hadapkan dengan Islam. Pancasila dituduh sebagai dasar negara sekuler. Sementara Islam adalah dasar negara bertuhan. Bahkan, Pancasila kemudian diperhadap-hadapkan, seakan-akan posisinya akan menggantikan kitab suci agama (Islam) dalam menjalankan ritual keislaman.

 

Tentu saja Pancasila dan Islam adalah suatu yang berbeda tidak bisa dimungkiri. Islam adalah agama yang mengajarkan kepada umatnya untuk ”masuk surga”. Sementara itu, Pancasila adalah ideologi negara untuk bermasyarakat dan bernegara. Kita juga sering mendengar bahwa Islam itu sekaligus sebagai ideologi. Sementara Pancasila itu bukan sebagai ”pedoman orang beragama”, hanya ideologi, sehingga posisinya lebih rendah daripada Islam yang dianut oleh mayoritas umat beragama di Indonesia.

 

Pembelahan sosial

 

Didasarkan adanya argumen semacam itu, tidak heran jika masyarakat kita terbelah menjadi dua aliran besar. Pertama, aliran keras pendukung ideologi Pancasila dan kedua aliran keras pendukung ideologi Islam. Kubu yang pertama sebagai ultranasionalis sering kali memosisikan mereka yang berada pada garis keras keagamaan merusak bangsa dan negara dengan gagasan Islam ideologis. Sementara aliran keras keislamanan menuduh para ”pembela ideologi Pancasila” sebagai pemuja thagut yang akan melakukan deislamisasi di Indonesia.

 

Perdebatan dua kubu ini semakin keras ketika pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berdasarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas. HTI kemudian berupaya mencari simpati umat Islam yang jumlahnya mayoritas dengan menyatakan bahwa negara ini otoriter, tidak demokratis, serta ingin memberangus umat Islam.

 

Pertanyaannya, Pancasila yang lahir 1 Juni 1945, sebagaimana pidato Bung Karno waktu itu, ternyata tidak menjadi tanggal 1 Juni 1945 untuk mengadakan ritual peribadatan seperti ritual-ritual hari kelahiran Nabi, Isra Miraj, dan seterusnya. Bahkan, ketika terjadi debat tentang Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila 2020, demikian keras pembelahan yang muncul.

 

Meski demikian, fakta sejarah telah terjadi bahwa Pancasila yang disahkan oleh BPUPKI pada 18 Agustus 1945 itulah yang saat ini telah resmi menjadi dasar negara Republik Indonesia. Bukan pula Pancasila hasil penggalian Soekarno 1 Juni 1945 sebagai dasar negara RI. Bukan pula Pancasila 22 Juni 1945 yang menjadi dasar negara.

 

Dengan demikian, Pancasila inilah yang menjadi dasar ideologi kebangsaan, bukan dasar Islam atau islamic state. Inilah ijtihad dan ijmak para pendiri bangsa yang sudah seharusnya dihargai dan dihormati, yang tidak menjadikan negara Indonesia sebagai negara agama (Islam) ataupun negara sekuler. Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

 

Berdasarkan fakta sejarah, Indonesia dihuni oleh mayoritas umat Islam. Kita telah membaca banyak karya bahwa tidak satu pun sila Pancasila yang bertentangan dengan Islam. Tetapi, sampai saat ini masih ada saja kelompok yang menolak Pancasila.

 

Oleh sebab itu, ada pertanyaan penting yang harus diajukan, yakni apa yang salah dengan Pancasila? Inilah yang saat ini perlu dijernihkan sehingga anak-anak bangsa ini tidak terus disibukkan dengan simbol-simbol yang hendak dijadikan sebagai pengganti dasar negara Indonesia.

 

Sebagai sebuah ideologi, nilai-nilai Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Islam pun tidak bertentangan dengan Pancasila, tetapi sering terjadi pertentangan disebabkan karena adanya kepentingan-kepentingan politik dari anak-anak bangsa di Indonesia. Kita perlu melakukan tafsir progresif tentang Pancasila sebagai ideologi bangsa sehingga sesuai dengan denyut nadi bangsa. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar