Tafsir
Islam Progresif Ideologi Pancasila Zuly Qodir ; Sosiolog; Direktur Program Doktor
Politik Islam UMY |
KOMPAS, 01 Juni 2021
Sejarawan Kuntowijoyo
mengingatkan, dalam era industrialisasi dan informasi seperti saat ini, kita
tidak bisa lagi menjadikan Pancasila hanya sebagai mitos. Pancasila harus
menjadi ideologi. Pancasila karena itu harus rasional. Kita harus
memasyarakatkan Pancasila dalam dimensi sejarah, bukan magis pada masyarakat
(Kuntowijoyo, 1997). Sangat menarik apa yang
dikemukakan sejarawan ternama tersebut. Hal ini berkaitan dengan adanya
semangat baru masyarakat Indonesia untuk menjadikan Pancasila sebagai
”pedoman hidup” bangsa dan negara dalam konteks kekinian. Konteks masyarakat
yang sangat deras dibanjiri pelbagai macam arus ideologi dunia, seperti
liberalisme, sosialisme, individualisme, dan kapitalisme global. Pertarungan
ideologi yang oleh Francis Fukuyama sebagai episode the end of Ideology,
ternyata semakin deraslah persoalan ideologi menguat ke permukaan. Membudayakan
Pancasila Menjadikan Pancasila
sebagai ideologi rasional oleh karena itu kita harus mengembalikan Pancasila
benar-benar menjadi ”dasar pijakan” berbangsa dan bernegara. Dia sudah taken
for granted, tidak meragukan lagi Pancasila sebagai pedoman hidup bernegara
warga masyarakat Indonesia. Oleh karena itu,
diperlukan pendekatan baru untuk memasyarakatkan Pancasila agar tidak menjadi
mitos yang bersifat magis. Saat ini, ketika anak-anak bangsa saling berkelahi
karena urusan politik kepentingan, saatnya mengembalikan pembudayaan
Pancasila dalam kehidupan kaum elite. Pancasila sebagai ideologi
rasional karena itu harus dimasyarakatkan, khususnya kaum elitenya. Pancasila
akan menjadi bagian dari masyarakat jika terlihat jelas dalam praktik-praktik
berpolitik, beragama, bermasyarakat, serta individual. Orang yang mengamalkan
ideologi Pancasila adalah orang yang perilakunya tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Jika dia Islam, maka bertuhan dengan rasional. Bertuhan yang
berkebudayaan, yakni tidak memaksakan kehendak, tidak membenci yang berbeda,
tidak menjelek-jelekkan pihak lain yang berbeda, serta memberikan rasa empati
pada sesama makhluk Tuhan. Teladan dari para elite tentang Pancasila inilah
yang dinantikan, bukan khotbah. Oleh sebab itulah,
Pancasila sebagai ideologi rasional harus menjadi ”saksi di muka bumi
Indonesia”, bahwa para pelaku politik, ekonomi, kebudayaan, dan agama harus
mencerminkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Jika kita seorang politikus, maka kita harus berjiwa besar menerima kekalahan
jika dalam bertarung kalah. Jika kita seorang agamawan maka kita harus jujur
dan berkata yang benar dalam berkata-kata dan bertindak. Demikian seterusnya.
Inilah yang kita maksudkan dengan Pancasila harus menjadi saksi dalam hidup. Pancasila oleh sebab itu
tidak bisa dihadirkan di masyarakat dengan metode yang ”membunuh partisipasi”
warga negara. Pancasila dihadirkan pada masyarakat tidak dengan cara-cara
pemaksaan di bawah todongan bedil atau meriam. Bahkan, Pancasila tidak boleh
dihadirkan di masyarakat dengan cara untuk menghukum masyarakat. Manusia pancasilais adalah
manusia yang taat hukum. Karena itu, Pancasila sebenarnya adalah ”arah
pembuatan hukum” di Indonesia. Inilah yang kita maksudkan dengan membudayakan
Pancasila. Pancasila bukan sebagai mitos yang mengerikan, tidak bisa
didiskusikan nilainya. Kita diskusikan bukan untuk ”menghukum Pancasila”,
tetapi untuk mencari inspirasi baru dari nilai-nilai Pancasila yang dapat
dipraktikkan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara secara bersama
menuju negara yang aman, damai, sejahtera, dan makmur. Imperatif
Islam Banyak tulisan menyatakan
bahwa Pancasila tidak ada satu pun nilainya yang bertentangan dengan Islam.
Ahmad Syafii Maarif, Cak Nur, Abdurrahman Wahid, ataupun Azyumardi Azra
menyatakan bahwa Pancasila itu bisa dikatakan sebagai obyektivikasi Islam.
Inilah Pancasila dalam praktik kehidupan Muslim Indonesia. Oleh sebab itu,
dapat dikatakan bahwa Islam merupakan imperasi atas nilai-nilai Pancasila. Dengan pandangan demikian,
sebenarnya tidak perlu lagi umat Islam mempersoalkan nilai-nilai Pancasila
yang kemudian dijadikan dasar negara. Tetapi, pada kenyataannya ada
sekelompok anggota masyarakat Indonesia yang terus mempertanyakan Pancasila
sebagai dasar negara Indonesia. Tidak perlu lagi umat
Islam mempersoalkan nilai-nilai Pancasila yang kemudian dijadikan dasar
negara. Pancasila oleh kelompok
kecil ini dianggap sebagai thagut. Oleh sebab itu, negara yang berdasarkan
thagut pantas untuk diperangi dan dasarnya harus diganti menjadi dasar negara
yang diridai Tuhan, yakni bukan Pancasila. Bukan hanya dasar negara yang
harus diubah, bentuk negara pun harus diubah sehingga negara Indonesia harus
diubah menjadi negara Islam (islamic state) atau khilafah Islamiyah. Ada kelompok yang
menginginkan perubahan dasar negara dan bentuk negara. Mereka telah
dibubarkan, tetapi sering meminta suaka politik pada Muhammadiyah dan NU
sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia. Pancasila yang
nilai-nilainya oleh para sarjana Muslim dianggap sebagai imperasi Islam atas
dasar negara Indonesia ternyata pada realitasnya sering dipertentangkan
dengan adanya pelbagai perilaku anak-anak bangsa yang kita anggap kurang
pancasilais. Perilaku korupsi, ingin menang sendiri, membenci pihak lain,
serta memonopoli kebutuhan ekonomi menjadi hal yang tidak bisa kita mungkiri
adanya. Oleh karena itu, mereka yang tidak setuju dengan Pancasila sebagai
dasar negara kemudian mengajukan dasar negara yang lain untuk Indonesia. Hal yang berbahaya jika
ada pertentangan yang cukup kuat di kalangan masyarakat antara ideologi
Pancasila dan Islam. Pancasila diperhadap-hadapkan dengan Islam. Pancasila
dituduh sebagai dasar negara sekuler. Sementara Islam adalah dasar negara
bertuhan. Bahkan, Pancasila kemudian diperhadap-hadapkan, seakan-akan
posisinya akan menggantikan kitab suci agama (Islam) dalam menjalankan ritual
keislaman. Tentu saja Pancasila dan
Islam adalah suatu yang berbeda tidak bisa dimungkiri. Islam adalah agama
yang mengajarkan kepada umatnya untuk ”masuk surga”. Sementara itu, Pancasila
adalah ideologi negara untuk bermasyarakat dan bernegara. Kita juga sering
mendengar bahwa Islam itu sekaligus sebagai ideologi. Sementara Pancasila itu
bukan sebagai ”pedoman orang beragama”, hanya ideologi, sehingga posisinya lebih
rendah daripada Islam yang dianut oleh mayoritas umat beragama di Indonesia. Pembelahan
sosial Didasarkan adanya argumen
semacam itu, tidak heran jika masyarakat kita terbelah menjadi dua aliran
besar. Pertama, aliran keras pendukung ideologi Pancasila dan kedua aliran
keras pendukung ideologi Islam. Kubu yang pertama sebagai ultranasionalis
sering kali memosisikan mereka yang berada pada garis keras keagamaan merusak
bangsa dan negara dengan gagasan Islam ideologis. Sementara aliran keras
keislamanan menuduh para ”pembela ideologi Pancasila” sebagai pemuja thagut
yang akan melakukan deislamisasi di Indonesia. Perdebatan dua kubu ini
semakin keras ketika pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
berdasarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas. HTI kemudian berupaya
mencari simpati umat Islam yang jumlahnya mayoritas dengan menyatakan bahwa
negara ini otoriter, tidak demokratis, serta ingin memberangus umat Islam. Pertanyaannya, Pancasila
yang lahir 1 Juni 1945, sebagaimana pidato Bung Karno waktu itu, ternyata
tidak menjadi tanggal 1 Juni 1945 untuk mengadakan ritual peribadatan seperti
ritual-ritual hari kelahiran Nabi, Isra Miraj, dan seterusnya. Bahkan, ketika
terjadi debat tentang Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila 2020, demikian
keras pembelahan yang muncul. Meski demikian, fakta
sejarah telah terjadi bahwa Pancasila yang disahkan oleh BPUPKI pada 18
Agustus 1945 itulah yang saat ini telah resmi menjadi dasar negara Republik
Indonesia. Bukan pula Pancasila hasil penggalian Soekarno 1 Juni 1945 sebagai
dasar negara RI. Bukan pula Pancasila 22 Juni 1945 yang menjadi dasar negara. Dengan demikian, Pancasila
inilah yang menjadi dasar ideologi kebangsaan, bukan dasar Islam atau islamic
state. Inilah ijtihad dan ijmak para pendiri bangsa yang sudah seharusnya
dihargai dan dihormati, yang tidak menjadikan negara Indonesia sebagai negara
agama (Islam) ataupun negara sekuler. Indonesia adalah negara yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan fakta sejarah,
Indonesia dihuni oleh mayoritas umat Islam. Kita telah membaca banyak karya
bahwa tidak satu pun sila Pancasila yang bertentangan dengan Islam. Tetapi,
sampai saat ini masih ada saja kelompok yang menolak Pancasila. Oleh sebab itu, ada
pertanyaan penting yang harus diajukan, yakni apa yang salah dengan
Pancasila? Inilah yang saat ini perlu dijernihkan sehingga anak-anak bangsa
ini tidak terus disibukkan dengan simbol-simbol yang hendak dijadikan sebagai
pengganti dasar negara Indonesia. Sebagai sebuah ideologi,
nilai-nilai Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Islam pun tidak
bertentangan dengan Pancasila, tetapi sering terjadi pertentangan disebabkan
karena adanya kepentingan-kepentingan politik dari anak-anak bangsa di
Indonesia. Kita perlu melakukan tafsir progresif tentang Pancasila sebagai
ideologi bangsa sehingga sesuai dengan denyut nadi bangsa. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar