Sabtu, 15 Mei 2021

 

Kultur Mudik Virtual

Samsul Bahri ;  Alumnus Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

KOMPAS, 12 Mei 2021

 

 

                                                           

Hantaman virus Covid-19 mengubah banyak hal dari kebiasaan sehari-hari kita. Termasuk kebiasaan ritus tahunan berlebaran, kegiatan yang ditandai dengan pergerakan dan mobilisasi manusia dalam jumlah sangat besar, dari satu tempat ke tempat lain. Ongkos materi yang dikeluarkan untuk kegiatan berlebaran ini tidak sedikit. Namun, orang tetap rela mengeluarkan ongkos besar itu demi dapat berlebaran. Berkumpul bersama sanak famili. Menumpahkan kerinduan yang lama pada kampung halaman.

 

Kita telah lewati dua tahun masa pandemi. Dua Ramadhan dan dua Lebaran di masa pandemi. Keadaan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Keadaan ini memaksa kita harus mengurungkan niat, mencegah keinginan pulang kampung. Mengikhlaskan diri tidak berkumpul bersama untuk sementara waktu di hari-hari Lebaran, hari-hari penuh kegembiraan yang kerap membawa kita memutar kenangan-kenangan lama.

 

Momen perjumpaan fisik itulah inti dari tradisi berlebaran di Indonesia. Orang merasa belum berlebaran jika belum bertemu, bersitatap, bersalaman, bermaaf-maafan, saling berbagi kesan, cerita dan pengalaman dengan orang-orang yang lama tidak dijumpai.

 

Namun, di masa pandemi, perjumpaan fisik itu sesuatu yang mengandung risiko. Dalam pandangan medis, virus itu hanya akan menular dari hasil perjumpaan fisik (kontak langsung). Itulah mengapa lalu dibuat aturan untuk ”menjaga jarak” fisik demi menghindari kemungkinan penularan virus.

 

Dari sinilah ”ketegangan” keadaan itu bermula. Satu sisi, berlebaran mendorong setiap orang melakukan perjumpaan fisik. Di sisi lain, pandemi mencegahnya. Alhasil, lahir cara baru, jika boleh disebut, kultur baru, bagaimana menjembatani ketegangan keadaan semacam itu. Yakni, bagaimana kegiatan berlebaran itu tetap jalan, tanpa harus melakukan perjumpaan fisik.

 

Perentangan jarak

 

Abad ini pemenuhan kebutuhan manusia telah dilengkapi dengan kemajuan teknologi digital yang memungkinkan makin mengurangi kegiatan jumpa fisik. Orang yang hendak berbelanja kebutuhan Lebaran, misalnya, kini tak perlu datang langsung ke mal, gerai-gerai, supermarket, dan pasar. Belanja on-line (daring) tengah jadi tren. Orang dapat memenuhi keperluan Lebaran tanpa harus mendatangi tempat-tempat yang menjadi pusat kerumunan. Cukup hanya memainkan gawai, dari layar telepon pintar (smartphone), transaksi guna memenuhi kebutuhan itu dapat tercapai.

 

Kita telah betul-betul memasuki fase keadaan ”perentangan jarak” dan ”pemadatan waktu” dalam arti yang sebenarnya. Jauh hari, di Inggris, sewaktu Giddens mengemukakan tentang ”perentangan jarak ruang” dan ”pemadatan waktu” sebagai ciri modernitas (B Herry Priyono, 2002), kita belum sepenuhnya mengalami keadaan itu. Pengguna alat komunikasi masih terbatas.

 

Kini, saat hampir setiap orang memegang gawai, kenyataan akan ”perentangan jarak ruang” dan ”pemadatan waktu” sangat terasa.

 

”Perentangan jarak ruang” itu artinya seseorang dapat melakukan interaksi, jual beli, misalnya, tanpa harus bertemu fisik antara penjual dan pembeli. Sementara ”pemadatan waktu” berarti transaksi itu dapat dilakukan seketika, melalui alat komunikasi, gawai. Tak perlu berjam-jam berjalan, berpindah dari satu tempat belanja ke tempat belanja lain untuk mendapatkan barang yang kita inginkan. Semua bisa dilakukan seketika melalui gawai.

 

Lebaran virtual

 

Setiap orang mungkin merasa berlebaran terasa belum berlebaran jika tanpa perjumpaan fisik. Hal ini wajar saja. Sebab, tradisi berlebaran mensyaratkan perjumpaan fisik. Dari sudut pandang agama sendiri, perjumpaan fisik dengan orang-orang yang kita kenal (kerabat) atau yang disebut ”silaturrahim” (bukan silaturrahmi) adalah kegiatan bermuatan pahala, bernilai kebaikan di dalamnya. Bahkan, di dalam satu riwayat hadits disebutkan bahwa ”salah satu yang dapat memperpanjang keberkahan usia seseorang adalah dengan bersilaturrahim” yang dalam sisi bahasanya berarti ”menyambung tali kasih sayang”.

 

Betapa pun besar hikmah dan kandungan pahala dari kegiatan perjumpaan fisik (silaturrahim) itu, dalam situasi saat ini, perlu dipertimbangkan ulang bahwa bersilaturrahim dengan bertemu fisik rentan menjadi jalan persebaran virus Covid-19. Ini adalah satu maslahat lain yang tidak kalah pentingnya, menyelamatkan jiwa.

 

Jika ada dua hal yang tampak sama-sama besar nilai kebaikannya, perlu mempertimbangkan mengambil salah satu dari keduanya yang lebih sedikit kemungkinan risikonya. Berlebaran, bersilaturrahim dengan bertemu fisik itu penting. Tetapi, menjaga kemungkinan penularan virus dengan menjauhi pertemuan fisik, juga satu hal yang jauh lebih penting lagi, demi menyelamatkan jiwa (hifzunnafs).

 

Karena itu, tepatlah aturan pemerintah yang melarang mudik pada 6-17 Mei tahun ini. Keputusan ini tentu didasarkan atas pertimbangan mencegah kemungkinan penularan virus, bertujuan menyelamatkan jiwa, yang juga menjadi salah satu tujuan dari hukum syara’ (maqasid al-syari’ah) itu sendiri, yaitu hifzunnafs.

 

Tersisa cara lain untuk tetap bisa menggelar kegiatan berlebaran bersama keluarga. Berbekal gawai dengan segenap fasilitas canggihnya, video conference misalnya, kita tetap bisa berlebaran bersama, dengan ”merentangkan jarak ruang” dan ”memadatkan waktu”. Inilah kultur baru kita, berlebaran virtual. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar