Konsiderasi
Penamaan Rupabumi Jalan MBZ Sheikh Mohamed bin Zayed Multamia RMT Lauder ; Guru Besar
Geolinguistik Universitas Indonesia dan Ketua Komunitas Toponimi Indonesia
(Kotisia) |
KOMPAS, 15 Mei 2021
Penamaan rupabumi
merupakan bagian dari Toponimi di bawah payung Linguistik Historis yang fokus
pada Onomastika. Kajian Onomastika membahas nama diri berdasarkan ilmu
Antroponimi dan nama tempat berdasarkan ilmu Toponimi. Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) menganggap nama tempat sangat penting untuk mengelola masalah sosial
dan ekonomi. Karena itu, dibentuklah The United Nation Group of Experts on
Geographical Names (UNGEGN) pada 1967 sebagai salah satu kelompok pakar di bawah
naungan The United Nations Economic and Social Council (UNECOSOC). Nama tempat juga dikenal
sebagai toponim, nama rupabumi, atau nama geografis. Toponim mencakup
nama-nama unsur alami, seperti gunung, danau, selat, dan pulau serta
nama-nama unsur buatan manusia, antara lain jembatan, bendungan, bandara,
jalan, dan perkantoran. Pakar Toponimi dari setiap
negara tergabung dalam divisi berdasarkan pembagian geografis atau
linguistik. Indonesia berada di dalam UNGEGN Asia South-East Division (UNGEGN
ASED) bersama Bhutan, Brunei Darussalam, Filipina, Kamboja, Laos, Malaysia,
Myanmar, Singapura, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam. Salah satu resolusi UNGEGN
adalah mewajibkan semua anggota PBB melakukan pengelolaan dan pembakuan
toponim (nama tempat) berdasarkan bahasa lokal, sejarah, dan budaya di negara
masing-masing. Selain itu, setiap negara disarankan membentuk National Name
Authority (NNA). Resolusi UNGEGN dibuat
dengan mempertimbangkan bahwa toponim dari bahasa lokal memberikan berbagai
informasi mengenai sejarah permukiman, kondisi alam, vegetasi, dan kegiatan
penduduk. Dengan demikian, hal itu dapat mempreservasi sejarah dan budaya
setempat termasuk jejak informasi migrasi penduduk pada masa lampau. Badan Informasi Geospasial
(BIG) bertugas memimpin NNA di Indonesia. Pengelolaan toponim di Indonesia
melibatkan berbagai kementerian dan lembaga karena luasnya cakupan kegiatan
sosial ekonomi yang memerlukan informasi nama tempat. Kementerian dan lembaga
tersebut meliputi Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; Direktorat
Toponimi dan Batas Wilayah, Kementerian Dalam Negeri; Pusat Pemetaan Rupabumi
dan Toponim, Badan Informasi Geospasial; Bidang Pemetaan dan Toponimi,
Kedeputian Koordinasi Kedaulatan Maritim, Kementerian Koordinasi Bidang
Kemaritiman dan Investasi; Direktorat Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan
dan Perikanan; Direktorat Hukum Perjanjian Internasional, Kementerian Luar
Negeri. Selain itu juga Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan); Pusat Hidrografi dan Oseanografi
TNI Angkatan Laut; serta Direktorat Topografi TNI Angkatan Darat. Koordinasi antara semua
kementerian dan lembaga terkait senantiasa mengacu ke berbagai aturan dan
undang-undang yang berlaku, antara lain
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan. Undang-undang ini, antara lain, mengatur
penggunaan bahasa Indonesia dalam nama geografi, atau bahasa daerah atau
bahasa asing apabila memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau
keagamaan. Selain itu, juga mengacu
pada Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama
Rupabumi. Peraturan pemerintah ini, antara lain, mengatur bahwa nama rupabumi
menghindari penggunaan nama orang yang masih hidup dan dapat menggunakan nama
orang yang sudah meninggal paling singkat lima tahun terhitung sejak yang
bersangkutan meninggal. Selain itu, nama rupabumi menghindari penggunaan nama
yang bertentangan dengan kepentingan nasional dan/atau daerah; dan memenuhi
kaidah penulisan nama rupabumi dan kaidah spasial. Pemberian toponim
seharusnya mematuhi UU No 24/2009 serta PP No 2/2021 yang berakar pada bahasa
Indonesia atau bahasa daerah. Namun, ada kalanya, penamaan yang menggunakan
nama asing diperbolehkan apabila memiliki nilai budaya dan sejarah. Pada masa
penjajahan Belanda, dibangun 459 benteng di Indonesia. Ini beberapa contoh
nama benteng di Nusantara: Fort Rotterdam (1545) di Ujung Pandang; Fort
Belgica (1611) di Pulau Banda; Fort Vastenberg (1745) di Solo; dan Fort Du
Bus (1828) di Papua. Nama-nama asing tersebut diperbolehkan untuk
dipertahankan karena memiliki nilai sejarah. Kasus pengusulan nama
asing, misalnya, untuk penamaan bandara di Kabupaten Tambrauw sebagai Bandara
Douglas McArthur. Menteri Dalam Negeri melalui Surat Nomor 553.2/799/SJ,
tertanggal 6 Februari 2018, meminta Gubernur Papua Barat membatalkan
pemberian nama tersebut dan mengganti dengan nama lokal agar mematuhi
Permendagri No 39/2008 serta UU No 24/2009. Nama asing dapat saja diusulkan
apabila yang bersangkutan telah wafat sekurang-kurangnya lima tahun, berjasa
luar biasa bagi Indonesia, serta memiliki nilai sejarah, budaya, adat
istiadat, dan/atau keagamaan. Akhirnya setelah dikaji ulang oleh pemda
setempat, bandara tersebut diberi nama Bandara Werur. Jati
diri bangsa Indonesia merupakan negara
hukum, dengan demikian harus tunduk dan patuh pada undang-undang serta
peraturan yang berlaku. Toponim sangat terkait dengan upaya menjaga identitas
dan jati diri bangsa, menyimpan memori kolektif bangsa, memelihara kearifan
lokal, melestarikan keanekaragaman bahasa dan budaya bangsa, termasuk menjaga
batas negara serta kedaulatan bangsa. Berikut ini contoh kasus
batas negara dan kedaulatan bangsa. Pertama, kekalahan Indonesia di Mahkamah
Internasional, yaitu The UN International Court of Justice, dalam
mempertahankan Pulau Sipadan dan Ligitan karena Malaysia dianggap memiliki
kelengkapan dokumentasi administrasi serta mengelola kedua pulau tersebut
dibandingkan Indonesia sehingga pada 17 Desember 2002 Pulau Sipadan dan
Ligitan di kawasan Kalimantan Timur diserahkan ke Malaysia. Harus diakui secara jujur
bahwa sebelum 2002 Indonesia cenderung lalai dalam penataan nama rupabumi.
Bahkan, pada saat itu, terdapat sekitar 8.000 pulau tak bernama. Kasus ini
merupakan penggugah bahwa nama rupabumi perlu diperhatikan agar terwujud
tertib administrasi kekayaan bangsa dan tidak terjadi lagi pencaplokan di
masa mendatang. Kedua, Indonesia memiliki
batas laut dengan sejumlah negara tetangga, yaitu India, Malaysia, Singapura,
Thailand, Vietnam, Filipina, Papua Niugini, Timor Leste, dan Australia.
Namun, Indonesia tidak bertetangga dengan China sehingga tidak memiliki batas
laut dengan China. Tindakan Indonesia memberi nama Laut Natuna Utara justru
memperlihatkan tanggung jawab untuk melindungi daerah tersebut dari
penangkapan ikan ilegal dan dari segala ancaman terhadap eksplorasi minyak
dan gas bumi. Pihak China berkeberatan, tetapi
Indonesia mendasarkan diri pada konvensi PBB tentang hukum laut, yaitu The
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Setiap negara
berkewajiban dan berhak mengelola sumber daya laut di wilayah Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) masing-masing yang luasnya 200 mil laut dari garis dasar
pantai. Penetapan nama Laut Natuna Utara dan bukan Laut China Selatan sangat
terkait dengan batas wilayah kedaulatan NKRI. Mencermati beberapa kasus
penamaan, dapat dipahami mengapa PBB membentuk UNGEGN untuk mengelola
pembakuan toponim di seluruh dunia. Pembakuan itu tertuang dalam Manual for
the National Standardization of Geographical Names yang mencakup pemberian,
pengubahan, penghapusan, dan penggabungan nama. Nama berkontribusi besar
serta merupakan bagian yang penting dan berguna dalam kehidupan kita
sehari-hari. Nama menjadi elemen dari sebuah geolocational system yang sangat
efisien, termasuk untuk menemukan tempat yang belum pernah dikunjungi
sebelumnya. Pada masa pandemi ini,
hampir semua layanan daring (dalam jaringan) sangat membutuhkan nama tempat
yang tepat dan akurat. Oleh karena itu, melakukan kajian toponimi bukanlah
pekerjaan sepele, justru merupakan pekerjaan besar berskala nasional dan
internasional demi ketertiban dan kenyamanan sosial ekonomi. Kini saatnya membahas
konsiderasi penamaan rupabumi buatan manusia berupa nama jalan yang biasa
disebut sebagai odonim. Dari sudut pandang toponimi, nama tempat atau toponim
adalah artefak budaya. Pertama, toponim
memberikan informasi tentang kondisi alam dan budaya pada saat nama itu
diciptakan yang mewakili memori kolektif mengenai tempat itu sehingga
berfungsi sebagai dokumentasi sejarah. Kedua, toponim merupakan bagian dari
bahasa dan sejarah lokal yang perlu dilestarikan. Ketiga, toponim
mencerminkan hubungan antara komunitas setempat dan lingkungannya. Dengan demikian, dapat
dipahami mengapa resolusi UNGEGN mendasarkan diri pada nama dan bahasa lokal.
Dari sudut pandang lanskap linguistik, penggunaan nama dan bahasa di ruang
publik memperlihatkan identitas, jati diri, serta relasi kuasa. Penghargaan
dan penghormatan Bermula dari penghargaan
dan penghormatan Pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) kepada Indonesia berupa
penggantian nama Al Maarid Street menjadi President Joko Widodo Street, yang
membelah Abu Dhabi National Exhibition Center dengan Embassy Area. Peresmian
dilakukan pada 19 Oktober 2020 oleh Sheikh Khalid bin Mohammed bin Zayed Al
Nahyan, Chairman Abu Dhabi Executive Office. Hal serupa juga pernah
dilakukan oleh Pemerintah UEA pada 23 September 2019 ketika meresmikan King
Salman bin Abdulaziz Al Saud Street sebagai bentuk penghormatan bagi Raja
Salman. Niat baik Pemerintah UEA ternyata bertentangan dengan Resolusi VIII/2
UNGEGN mengenai Commemorative Naming Practice for Geographical Features yang
justru mencegah pemberian nama rupabumi dengan nama orang yang masih hidup
sebagai salah satu upaya menghindari kultus individu. Penamaan jalan itu
terjadi, kemungkinan besar karena Pemerintah UEA belum membentuk National
Names Authority (NNA) sebagaimana disarankan oleh UNGEGN. Karena itu UEA
belum memiliki undang-undang atau aturan yang mencakup pemberian, pengubahan,
penghapusan, dan penggabungan nama sebagaimana tertuang dalam Manual for the
National Standardization of Geographical Names yang disepakati oleh semua
anggota PBB. Selanjutnya, pada 12 April
2021, ruas elevated sepanjang 36,4 kilometer diganti namanya menjadi Jalan
Tol Layang MBZ Sheikh Mohamed bin Zayed. Peresmian penggantian nama itu
dihadiri oleh Menteri Sekretaris Negara, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat (PUPR), Duta Besar RI untuk UEA, serta Duta Besar UEA untuk Indonesia. Niat baik ini tampaknya
bertujuan membalas tindakan UEA meresmikan President Joko Widodo Street
sekaligus memperkuat hubungan diplomatik antara Indonesia dan UEA yang telah
terjalin sejak 1976. Dari sudut pandang hubungan diplomatik tentu saja
tindakan itu dapat dipahami. Namun, tidak selaras dengan kesepakatan
internasional, terlebih lagi tidak sejalan dengan prinsip penamaan unsur rupabumi
yang tertera di UU No 24/2009 dan PP No 2/2021 yang keduanya ditandatangani
oleh Presiden RI. Mengapa pemberian nama
jalan ini terkesan mendadak serta tidak melalui prosedur yang seharusnya? Apa
yang menyebabkan Menteri Sekretaris Negara dan Menteri PUPR tidak sempat
berkoordinasi dengan BIG? Mengingat tugas pokok dan fungsi BIG berdasarkan PP
No 2/2021 melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penataan dan pembakuan
nama rupabumi di seluruh Indonesia. Selain itu, menurut
pendapat saya, selayaknyalah BIG sebagai NNA di Indonesia bersama Direktorat
Toponimi dan Batas Wilayah, Kementerian Dalam Negeri lebih aktif melakukan
sosialisasi mengenai aturan penamaan rupabumi di Indonesia kepada semua
kementerian dan lembaga pemerintah dan juga kepada masyarakat agar gotong
royong menjaga indentitas budaya bangsa. Sehubungan dengan hal itu,
konsiderasi yang dapat saya berikan adalah merekomendasikan agar pemerintah
segera melakukan langkah pengubahan nama sebagaimana tertera di aturan UNGEGN
dan juga agar mematuhi UU No 24/2009 serta PP No 2/2021. Hal ini tidak mudah karena
menyangkut hubungan bilateral dengan negara sahabat. Namun, apabila hal ini
dilaksanakan dengan niat baik dan hati yang tulus, saya percaya bahwa
Pemerintah UEA akan memahami dan mendukung Indonesia berdiri tegak sebagai
sebuah negara hukum. Selain itu, kiranya dapat mempertimbangkan hal itu
bersama Kementerian Luar Negeri yang memahami seluk beluk diplomasi
internasional, agar penghargaan dan penghormatan antara negara sahabat dapat
diwujudkan dalam berbagai bentuk sehingga tidak harus dalam bentuk nama jalan
yang melanggar UU dan PP. Semoga
Allah memberi kemudahan dan solusi yang elegan untuk menyelesaikan
masalah ini sehingga hubungan bilateral antara Indonesia dan Pemerintah UEA
tetap harmonis dan bahkan semakin kokoh. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar