Sabtu, 15 Mei 2021

 

Kembali ke Fitrah Kerukunan

Hasibullah Satrawi ;  Warga NU, Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir

KOMPAS, 13 Mei 2021

 

 

                                                           

Hari raya Idul Fitri atau idulfitri berarti kembali ke fitrah. Umat Islam merayakan hari raya ini setelah satu bulan penuh berpuasa; menahan makan-minum, menahan hawa-nafsu, sekaligus memperbanyak amal ibadah-kebajikan. Hari raya Idul Fitri pun dikenal dengan istilah ”Hari Kemenangan”.

 

Di Indonesia, Hari Raya Fitri dikenal juga dengan istilah khas, yaitu halalbihalal yang secara harfiah berarti ”halal” dengan ”halal”. Dalam tradisi Islam, halal berarti yang boleh dilakukan atau kebalikan dari yang diharamkan (tidak boleh dilakukan). Dengan demikian, halal bihalal secara harfiah berarti ”yang boleh dilakukan” dibalas dengan ”yang boleh dilakukan”.

 

Oleh karenanya, secara sosial, halal bihalal dimaknai oleh masyarakat dengan istilah ”kosong-kosong” atau saling memaafkan. Dan inilah yang dilakukan oleh masyarakat Muslim di Indonesia pada hari raya Idul Fitri dengan saling berkunjung di antara tetangga, kolega, dan sanak saudara sembari saling maaf-maafan.

 

Fitrah kerukunan

 

Dalam salah satu karya terbesarnya, Nahwa Fiqhin Jadid (Menuju Fikih Baru), pembaru Islam berkebangsaan Mesir, Jamal al-Banna, mengenalkan istilah albaro’ah al-ashliyah (Kairo, 1995: halaman 11). Penulis menerjemahkan istilah ini dengan ”kebebasan otentik”.

 

Jamal al-Banna yang tak lain adalah adik kandung Hasan Al-Banna menjadikan kebebasan otentik sebagai pembahasan awal dalam tiga jilid bukunya di atas dengan sangat menggebrak. Disebut menggebrak karena melalui pembahasan ini dan bagian-bagian seterusnya, Jamal al-Banna mengalirkan ide-ide pembaruan terkait dengan hukum Islam yang sangat menarik dan memikat.

 

Melalui konsep kebebasan otentik, Jamal al-Banna hendak menjelaskan tentang ”titik putih” sekaligus titik kembali manusia. Pada awalnya manusia (Nabi Adam) diciptakan dalam keadaan suci oleh Allah Swt. Namun karena pengaruh dari godaan-godaan yang ada, Adam tergelincir dari titik putihnya menjadi makhluk pendosa.

 

Namun, yang menjadi perhatian Jamal al-Banna bukan hanya kondisi awal manusia yang suci kemudian menjadi pendosa, melainkan juga proses pertaubatan yang dilakukan hingga membawa Nabi Adam kembali ke surga. Titik inilah yang dimaksud dengan istilah albaro’ah alashliyah (kebebasan otentik) oleh Jamal al-Banna yang juga disebut dengan istilah fitrah.

 

Dalam konteks Lebaran dan ibadah puasa, manusia kurang lebih melalui siklus otentik di atas. Pada awalnya manusia berada di titik putih individual dan sosial; dalam keadaan baik secara sosial dan individual, minimal tidak ada masalah dengan orang lain. Namun, segala macam perkembangan yang ada membawa seseorang keluar dari titik putihnya menjadi bermasalah dengan orang lain, bertengkar, berkonflik atau bahkan malah berperang atas nama apa pun, termasuk atas nama agama.

 

Melalui ibadah puasa selama satu bulan penuh, manusia dituntun untuk menyadari, mengoreksi dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada. Itu sebabnya, bulan Ramadhan juga dikenal dengan istilah bulan penuh ampunan. Melalui koreksi dan perbaikan yang ada, khususnya di bulan Ramadhan, seseorang diharapkan bisa keluar dari titik gelapnya menuju titik putihnya kembali.

 

Kerukunan dan perdamaian merupakan salah satu fitrah manusia. Meminjam istilah yang digunakan oleh Muhammad Imarah dalam salah satu bukunya, karena kerukunan bisa mendorong kehidupan yang berbeda-beda ini untuk terus maju dan berkembang (Al-Islam wat-Ta’addudiyyah, 1997: halaman 21).

 

Kerukunan dan perdamaian adalah keadaan yang didamba oleh manusia, bahkan oleh penjahat sekalipun. Sementara pertengkaran dan peperangan adalah keadaan yang tidak disukai oleh manusia, bahkan oleh seorang jenderal sekalipun.

 

Dengan kata lain, apabila boleh memilih, secara fitrah manusia akan lebih memilih rukun-damai daripada tengkar-perang. Karena ada ketenangan dan ketenteraman dalam rukun-damai. Sementara dalam tengkar-perang hanya ada kekerasan dan keketiran. Itulah sebabnya, Al Quran menyebut perang dengan istilah kurhun yang bermakna ”keadaan yang tidak disukai” (Qs Al-Baqarah: 216). Kalaupun berperang dibolehkan, hal itu harus dilakukan dalam konteks membela diri dan mematuhi segala peraturan yang bersifat ketat.

 

Menyadari kerukunan dan perdamaian sebagai fitrah sangatlah penting, khususnya ketika seseorang tergelincir dari titik fitrahnya, bergelimang salah dan dosa, bahkan larut dalam aneka macam permusuhan, pertengkaran, dan pelbagai macam aksi kekerasan, termasuk aksi kekerasan atas nama agama yang mengorbankan umat beragama itu sendiri.

 

Dalam keadaan tergelincir dari titik fitrahnya sebagaimana di atas, seseorang bisa merasakan semuanya secara terbalik; tengkar-perang sebagai tujuan, daripada rukun-damai. Hingga dengan berperan seseorang merasa mendapatkan kesejatian, bahkan mungkin juga kesejatian iman. Sebaliknya, rukun-damai bisa dianggap sebagai kelemahan, termasuk kelemahan iman. Demikian seterusnya hingga semuanya menjadi terbalik, termasuk terkait dengan hal-hal yang bersifat keagamaan; bahwa beragama tujuannya untuk bertengkar-berperang, daripada untuk kerukunan dan perdamaian.

 

Tantangan kerukunan

 

Dalam hemat penulis, pada tahap tertentu, hal di atas menjadi tantangan di Indonesia dalam beberapa waktu mutakhir, khususnya terkait konteks keberagamaan dalam keberagaman. Secara intra-agama, ada hubungan yang cenderung tidak harmonis di antara kelompok-kelompok yang ada dalam satu agama dengan tingkat keterbukaan yang berbeda-beda. Bahkan hubungan antarkelompok-kelompok dalam satu agama menjadi salah satu tantangan kerukunan yang sangat berat.

 

Mengingat di satu sisi, kondisi ini kurang mendapatkan perhatian serius (dibanding inisiatif lain). Dan di sisi lain, adanya klaim kebenaran dari salah satu pihak berjalan secara lebih kuat dan terbuka dalam hubungan kelompok-kelompok di internal satu agama dibanding dalam hubungan antaragama-agama. Kondisi ini tak jarang menghentikan proses dialog sebagai upaya mencapai kerukunan.

 

Sementara secara antaragama, inisiatif, ataupun forum-forum dialog sejauh ini sudah dilakukan, walaupun masih sangat terbatas. Namun, upaya-upaya yang ada masih jauh dari memadai untuk mencapai kehidupan umat dan masyarakat yang saling memahami antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Hingga terbentuk kehidupan yang saling menghormati dan menjaga kerukunan yang ada.

 

Peran pemerintah sebagai mediator dalam upaya-upaya dialog untuk mewujudkan kerukunan masih menjadi tantangan yang sangat serius. Di satu sisi, pemerintah harus bersikap netral di antara kelompok-kelompok yang ada, khususnya pada batas negara sebagai ruang bersama dan keyakinan sebagai ruang privat keyakinan masyarakat. Namun di sisi lain, pemerintah yang terdiri dari pribadi-pribadi yang secara keagamaan maupun keyakinan menjadi bagian dari ”kelompok-kelompok” yang ada berpihak secara tidak terasa kepada salah satu kelompok yang ada.

 

Di sinilah pentingnya Idul Fitri sebagai cara alami dari masyarakat untuk meleburkan perbedaan-perbedaan yang ada dan merajutnya dalam sebuah kebersamaan melalui semangat saling memaafkan dan menjaga kerukunan. Perbedaan apa pun sudah pasti tidak bisa dihilangkan sampai kapan pun, tetapi semangat Idul Fitri memperlihatkan kepada semua bahwa perbedaan-perbedaan yang ada bisa dilampaui dan ”dipersatukan” dalam luapan ampunan dan saling memaafkan. Hal yang tak kalah penting adalah Idul Fitri mengingatkan masyarakat pada fitrahnya, yaitu fitrah kerukunan dan perdamaian.

 

Sebagai fitrah, kerukunan dan perdamaian tak ubahnya rasi bintang yang bisa memandu orang yang tersesat dalam gelap gulitanya kekerasan, kebencian, permusuhan, atau bahkan peperangan. Dalam semangat fitrah kerukunan dan perdamaian, seseorang harus memiliki keberanian untuk mengakui kesalahan yang ada sekaligus berkomitmen untuk memperbaiki kesalahannya ke depan. Hingga kerukunan dan perdamaian bisa diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Mari kita kembali ke fitrah, mari kita kembali pada kerukunan dan perdamaian. Selamat merayakan hari raya Idul Fitri 1442 H. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar