Kamis, 15 Oktober 2015

Membatasi Usia KPK

Membatasi Usia KPK

Suyatno  ;  Peneliti pada FISIP Universitas Terbuka
                                             MEDIA INDONESIA, 13 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KPK seolah tak putus dirundung malang. Setelah sejumlah kasus hukum menimpa sebagian pimpinan KPK, kini KPK kembali menghadapi deraan inisiatif perubahan Undang-Undang KPK yang beredar di kalangan media. Salah satu pasal draf perubahan UU itu menyebutkan bahwa usia KPK hanya dikehendaki 12 tahun sejak undang-undang itu diberlakukan. Bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan, demikian bunyi Pasal 5. Konon tujuan perubahan ialah untuk memperkuat kinerja KPK.

Dasar draf yang membatasi usia KPK konon untuk menguatkan lembaga KPK. Dalih penguatan KPK berbasis pembatasan itu juga diikuti tiga perubahan lain yang akan signifikan berpengaruh pada KPK.Ketiganya yakni jumlah nominal korupsi yang ditangani KPK menjadi Rp50 miliar, hak penyadapan yang memerlukan izin dan pembentukan dewan eksekutif KPK. Padahal, menurut salah satu Ketua KPK, teknis pencegahan dan penindakan dalam UU No 30 Tahun 2002 Tentang KPK sudah baik. Evaluasi yang dibutuhkan menyangkut manajemen struktural.

Dasar pemikiran perubahan itu KPK tidak lagi dibutuhkan bila alat penegak hukum lain sudah bisa menjalankan pemberantasan korupsi lebih baik ketimbang KPK. Konon pe rubahan itu akan diikuti juga perubahan undang-undang tentang penegak hukum lain untuk memperbaiki kinerja mereka. Berarti akan dilakukan revisi terhadap UU Polri, Kejaksaan, dan juga lembaga peradilan. Dalam kondisi apa sebenarnya KPK tidak dibutuhkan lagi? Bagaimana jika KPK waktu 12 tahun ternyata belum cukup?

Tujuh dampak

Sebenarnya KPK tidak dibutuhkan lagi bila negara ini bebas dan bersih dari korupsi, saat indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia sudah di atas 90, setara dengan negara paling bersih dari korupsi seperti Denmark dan Selandia Baru. Kepercayaan publik terhadap kinerja pemberantasan korupsi oleh kepolisian, kejaksaan, dan lembaga pengadilan sudah sangat tinggi. Angka kebocoran anggaran kurang dari 0,1%. Demikian juga para penilap uang rakyat tidak akan bisa tidur karena hukuman yang sangat berat mengancam mereka. Saat itulah, layak melambaikan tangan perpisahan kepada KPK tanpa cara prematur.

Adanya pembatasan usia KPK hanya 12 tahun setidaknya akan memunculkan tujuh hal. Pertama, ketidakjelasan efektivitas lembaga pemberantasan korupsi. Tujuan perubahan Undang-Undang KPK dikatakan untuk memperkuat KPK. Namun, perubahan yang dilakukan mengandung logika yang kontradiktif. Dengan kewenangan besar selama ini saja KPK masih menjumpai sejumlah hambatan, apalagi bila KPK dibatasi. Pembatasan berarti memperkecil peluang, waktu, dan kewenangan KPK.

Kedua, akan terjadi pembusukan waktu. Kinerja KPK hanya mempertahankan kondisi yang ada menuju habisnya waktu 12 tahun. Tekanan psikologis akan menerpa segenap unsur di KPK. Belum lagi pemikiran akan masa depan para personel di dalamnya pasca-KPK telah genap berusia 12 tahun.

Ketiga, hilangnya semangat pemberantasan korupsi pada diri KPK menuju sisa waktu menjelang pensiun. Pengaruh post power syndrome akan segera membayangi segenap unsur KPK. Sebagaimana dialami pegawai menghadapi pensiun sudah merasakan penurunan semangat kerja yang cukup signifikan.

Keempat, menjadikan KPK hanya sebagai simbol (pa jangan). Perubahan nominal jumlah korupsi yang menjadi wilayah KPK dari Rp1 menjadi Rp50 miliar akan menjadikan KPK hanya sebagai pajangan. KPK akan sangat jarang menangani kasus korupsi akibat tidak mencapai jumlah nominal yang menjadi syarat. Lambat laun KPK akan menganggur dan ditinggalkan.

Kelima, kondisi pemberantasan korupsi mengalami kemunduran. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada alat penegak hukum selain KPK, sebelum hasil perubahan peningkatan kinerja terlihat, kemunduran akan menimpa.Jika alat penegak hukum masih belum bisa melebihi peran KPK dalam pemberantasan korupsi, membubarkan lembaga antirasywah itu berarti menciptakan kemunduran.

Keenam, KPK bukan lagi lembaga antikorupsi istimewa. Sejumlah pembatasan telah mendegradasi lembaga itu menjadi biasa-biasa saja. Efek jera pada kebiasaan korupsi menjadi kian lemah seiring berkurangnya kewenangan KPK. Rasa takut terhadap pengawasan KPK akan terjadinya korupsi akan semakin tipis.

Ketujuh, menjadi preseden bagi lembaga komisi negara lainnya. Pembatasan terhadap KPK dilandasi pemikiran bahwa KPK ialah lembaga ad hoc. Bila ide perubahan undang-undang itu menjadi kenyataan, akan menjadi semacam yurisprudensi bagi sejumlah komisi negara yang lain akan mengalami hal yang senasib. Taruhlah lembaga ad hoc memang akan bubar, tapi dampak dan hasil kinerjalah yang menjadi tolok ukur keberadaannya, bukan sengaja dibatasi angka usianya melalui produk aturan yang ada.Bila dibiarkan berkembang, depresiasi nilai dan peran akan meluas.

Cara bijak

Akan lebih bijaksana bila DPR memperjuangkan terlebih dahulu pembenahan terhadap para penegak hukum di negeri ini selain KPK. Revisi terhadap UU alat penegak hukum bisa dilakukan tanpa buru-buru membonsai KPK terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai tolok ukur kinerja dan niat baik DPR dalam upaya peningkatan fungsi dan peran penegak hukum. Jika itu tidak dibuktikan terlebih dahulu, dugaan ada nya upaya pelemahan KPK akan sulit dihindarkan.

Diperlukan upaya memastikan terlebih dahulu bahwa semua penegak hukum telah menjalankan fungsi mereka dengan optimal dalam track yang benar. Justru orientasi lebih diupayakan bagi kepastian itu. Penguatan dilakukan pada pihak yang justru membutuhkan tanpa harus mematikan yang lain. Di sini letak kedewasaan para anggota legislatif dipertaruhkan dalam mengelola negeri ini. 
Sebagaimana dalam keluarga patut dihindari mengatasi sebuah persoalan dengan mengorbankan peran salah satu anggotanya yang sudah berkiprah dengan baik.

Jika Polri, kejaksaan, maupun lembaga peradilan sudah menjalankan tugas mereka dengan baik, baru KPK boleh ditiadakan. Itu pun akan lebih baik bila terjadi secara fungsional. Peran KPK akan purna karena memang sudah berhasil mewujudkan pendelegasian kewenangan pemberantasan korupsi kepada lembaga lain. Bukan mati karena pelemahan yang disengaja akibat alasan yang tidak bisa diterima publik.

Upaya menunjukkan hasil terlebih dahulu bahwa lembaga penegak hukum mampu melaksanakan penegakan hukum dengan baik merupakan kebutuhan yang lebih mendesak. Melemahkan peran KPK sebelum adanya perubahan peran dan fungsi lembaga penegak hukum lain akan sangat berisiko. Alih-alih meningkatkan kinerja, justru peran lembaga yang sudah ada dilemahkan dan kian meluas kembali ke titik nadir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar