Gotong Royong Menegakkan Pancasila
Muhammadun ; Analis Studi Politik pada Program
Pascasarjana UIN Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Oktober 2015
TANGGAL 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian
Pancasila. Nilai-nilai Pancasila yang digelorakan Bung Karno sejak 1 Juni
1945 sekarang ini berada di persimpangan jalan. Jalan politik pragmatis masih
menjadi panglima yang kasatmata. Kekayaan bisa dipamerkan dengan gagah,
program politik dijalankan dengan menghamburkan uang, sedangkan rakyat masih
berada di dalam kepungan asap yang sangat berbahaya.
Pengabdian kepada rakyat bukanlah mandat sederhana, butuh
totalitas, profesionalitas, intelektualitas, dan spiritualitas yang
utuh.Kalau sampai bergeser menjadi mengabdi untuk keluarga dan diri sendiri,
selesai sudah mandat itu.Harus dicabut, dikembalikan kembali kepada rakyat.
Akan tetapi, kalau dijalankan dengan sepenuh khidmat, rakyat berada di
belakang untuk memberikan dukungan baik materi maupun nonmateri. Rakyat tidak
akan menghitung materi dalam memberikan mandat, karena rakyat ingin kehidupan
bangsa ini berjalan lebih baik dan maju.
Sayangnya, para penyelenggara selama ini bukan lagi
memaknai jabatan sebagai pengabdian. Jabatan dan kursi di lembaga negara
dimaknai sebagai lembaran kekuasaan, yang ketika mendapatkan proyek,
digunakan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, dan kelompoknya. Daftar
koruptor yang mengisi daftar panggil KPK dan pengadilan tipikor menjadi bukti
nyata bahwa penyelenggara negara justru mengkhianati mandat rakyat. Berbagai
survei juga mengabarkan bahwa para penyelenggara negara selama ini berada di
rangking atas dalam praktek korupsi.
Ultrademokrasi
Fenomena aktivis dan fungsionaris politik sebagai jalan
pekerjaan ini menjadi indikasi kuat bahwa proses demokratisasi yang
berkembang pascareformasi terjebak dalam kubangan ultrademokrasi. Bung Hatta
melalui tulisan Demokrasi Kita (1960) sudah memberikan warning lahirnya demokrasi yang dipenuhi onak dan duri, sehingga
kebebasan diberikan tanpa dibarengi tanggung jawab. Jatuh bangunnya kabinet
pada masa Orde Lama merupakan bukti lahirnya ultrademokrasi, yaitu setiap
kabinet hanya dipenuhi kepentingan tanpa tanggung jawab.
Senada dengan Bung Hatta, Syafi'i Ma'arif (2006) menilai
banyaknya orang yang memanfaatkan politik hanya sebagai pekerjaan membuat
banyak lahir partai politik yang asal-asalan. Dalam pelaksanaan pemilu, meski
sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari, partai-partai politik itu hanya
mendapatkan peraihan nol koma persen.
Bagi Buya Syafi'i, kondisi orang yang menempatkan bidang
politik sebagai pekerjaan itu menunjukkan bahwa lapangan kerja di Tanah Air
sangat minim hingga mereka menempatkan politik sebagai mata pencaharian
mereka. Tragisnya, mata pencaharian dalam politik lagi-lagi tanpa dipenuhi
tanggung jawab.
Ultrademokrasi juga melahirkan politik coba-coba. Apa pun
gerak yang dilakukan sebatas coba-coba, tanpa melakukan permenungan dan
pencarian intelektual. Proses coba-coba itu sekadar mencari keuntungan, bukan
sebagai proses demokrasi. Jebakan politik kepentingan dan cara instan
serba-'coba-coba' itu melahirkan ultrademokrasi tidak hanya miskin tanggung
jawab, tapi juga praktik koruptif untuk menopang cara instan yang digunakan.
Praktik koruptif menjadi bagian intim setiap perilaku politik, karena alam kebebasan
hanya diselami tanpa hati nurani berpolitik.
Kalau jebakan ultrademokrasi terus berlangsung dengan
dosis tinggi, menurut KH Hasyim Muzadi (2012), kehidupan berbangsa dan
bernegara ini akan semakin terpuruk. Tanggung jawab yang hilang dan semangat
korupsi yang makin menggila hanya menjadikan Indonesia sulit untuk bangkit
dari keterpurukan, walaupun Indonesia tidak boleh menyerah untuk bangkit.
Hasyim Muzadi juga melihat ultra demokrasi telah merusak
kepemimpinan, baik perorangan maupun kelompok, menjadi lemah dan selalu
bermasalah. Kepemimpinan yang lemah dan bermasalah membuat roda pemerintah
dan negara makin kacau balau. Ini tentu sangat berbahaya untuk masa depan
demokratisasi.
Gotong royong untuk Pancasila
Semangat gotong royong harus kembali digelorakan untuk
melaksanakan Pancasila. Ini sesuai dengan tema Hari Kesaktian Pancasila tahun
2015 ini. Dengan gotong royong, semua elemen bangsa bersinergi untuk
membangun bangsa tercinta ini. Gotong royong bisa mengembalikan dan hati
nurani kaum elite untuk mengabdi kepada Indonesia.
Sudah tidak berlaku lagi politisi yang hanya bermodal
`wajah' tanpa gotong royong. Masyarakat sekarang sudah cerdas. Kalau politisi
masih berada dalam jebakan `pekerjaan', segeralah kembali kepada jalur
demokrasi Pancasila.
Sudah saatnya semangat Pancasila menjadi ruh para
penyelenggara negara ini.
Bung Hatta sudah memberikan pesan kepada generasi bangsa
ini. “Tetapi sejarah memberikan
pelajaran juga kepada manusia. Suatu barang yang bernilai seperti demokrasi
baru dihargai, apabila hilang sementara waktu. Asal bangsa kita mau belajar
dari kesalahannya dan berpegang kembali kepada ideologi negara dengan jiwa
murni, demokrasi yang tertidur sementara akan bangun kembali.“
Tegas sekali Bung Hatta menyatakan bahwa kaum elite yang masih
menganggap parlemen sebagai pekerjaan harus segera belajar dari kesalahan
mereka. Dengan jiwa murni, kaum elite harus kembali kepada ideologi negara.
Kalau itu terpatri, demokrasi berkualitas yang diimpi kan bersama akan segera
terwujud dalam pilkada serentak. Pesimisme rakyat terhadap pesta demokrasi
harus dijawab dengan gerakan kembali kepada Pancasila melalui program nyata,
kerja keras, dan gotong royong untuk Indonesia.
Di samping itu, bangsa ini juga harus paham secara detail
terkait dengan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila. Di antaranya negara ini
adalah negara hukum, keputusan berdasarkan musyawarah mufakat, menjunjung
tinggi tujuan dan cita-cita nasional, pelaksanaan kebebasan yang bertanggung
jawab secara moral kepada Tuhan YME, diri sendiri, serta masyarakat dan
negara. Keseimbangan antara hak dan kewajiban, kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945, adanya pemilihan umum, adanya
partai politik dan organisasi politik yang berfungsi menyalurkan aspirasi
rakyat, peradilan yang merdeka, dan perlindungan terhadap HAM.
“Pembangunan demokrasi pun telantar karena percekcokan
politik senantiasa. Indonesia yang adil yang ditunggu-tunggu masih jauh
saja.“ Demikian Bung Hatta kembali memperingatkan agar generasi bangsa ini
membangun politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar